Menilik Politik Figur di Timor Tengah Selatan
Dinamika kontestasi di ajang Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur, tahun ini diperkirakan berlangsung ketat. Kekuatan partai politik pengusung masing-masing pasangan calon tersebar merata. Siapa yang bakal menjadi pemenang lebih banyak ditentukan kekuatan sosok atau figur pasangan calon itu sendiri. Sedikit banyak juga dipengaruhi identitas budaya dari tiga batu tungku.
Pada 12 Februari 2018, Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) resmi menetapkan empat pasangan calon yang akan bertarung memperebutkan jabatan bupati dan wakil bupati TTS periode 2018-2023. Semua pasangan diusung koalisi partai politik dan tidak ada yang maju dari jalur perseorangan.
Siapa yang bakal jadi pemenang juga dipengaruhi identitas budaya dari tiga batu tungku.
Obed Naitboho, petahana wakil bupati, kembali maju bertarung dengan posisi sebagai calon bupati berpasangan dengan Alexander Kase yang merupakan Wakil Ketua DPRD Kabupaten TTS. Pasangan ini diusung Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), serta Partai Nasdem, yang ketiganya menguasai 12 kursi (30 persen) di DPRD Kabupaten TTS. Partai Nasdem merupakan partai pemenang Pemilu 2014 di Kabupaten TTS.
Pasangan calon lainnya adalah Johanis Lakapu-Yefta Ambrosius Lodowijk Mella yang diusung Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa yang menguasai 10 kursi (25 persen) di DPRD. Johanis Lakapu adalah seorang PNS, sementara Yefta AL Mella berlatar belakang swasta.
Pasangan Ampera Seke Selan-Yaan Mazrich Jermias Tanaem diusung Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat yang memiliki 9 kursi (22,5 persen) di DPRD. Ampera Seke Selan adalah seorang anggota DPRD Provinsi NTT, sedangkan Yaan MJ Tanaem seorang PNS (Bappeda Provinsi NTT).
Pasangan calon terakhir, Egusem Piether Tahun-Johny Army Konay, diusung Partai Golongan Karya dan Partai Hanura yang memiliki 9 kursi (22,5 persen) di DPRD. Egusem P Tahun adalah seorang PNS, sedangkan Johny A Konay adalah anggota DPRD Provinsi NTT.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di pilkada serentak TTS kali ini tidak mengusung calon. Ketua KPU Kabupaten TTS Ayub Patris Magang menyebutkan, PDI-P tidak bisa mengusung calon pada 2018 ini oleh karena pada periode 2014-2019 tidak mendapat jatah kursi di DPRD TTS. PDI-P saat 2014 didiskualifikasi dari pemilu. Penyebabnya, partai pemenang di tingkat nasional ini tidak menyampaikan laporan dana kampanye.
Geopolitik
Kabupaten TTS berada di Pulau Timor yang berjarak sekitar 90 kilometer dari ibu kota Provinsi NTT. Kondisi demografi TTS akan diperhitungkan dalam peta politik tingkat provinsi. Dengan wilayah seluas 3.955,36 kilometer persegi (8,34 persen dari luas seluruh NTT), TTS memiliki jumlah penduduk terbanyak di NTT, yaitu (475.373 jiwa, 2017).
Dengan variabel jumlah penduduk, jumlah pemilih di TTS pun menjadi yang terbesar di NTT sehingga TTS menjadi penentu pada Pemilihan Gubernur NTT 2018 ini. Menguasai TTS bisa menjadi tiket untuk memenangkan pilgub. Jumlah pemilih di TTS sekitar 282.000 jiwa, di mana menjelang hari pemilihan jumlah ini akan meningkat seiring bertambahnya pemilih pemula yang akan memenuhi syarat untuk memilih.
Dengan luas wilayah yang merupakan ketiga terluas di NTT dan jumlah penduduk terbesar, TTS menghadapi persoalan yang tidak berbeda dengan daerah lain di NTT. Kemiskinan masih menjadi persoalan utama di TTS.
Angka kemiskinan mencapai 29,4 persen yang meliputi sekitar 136.000 jiwa. Setidaknya, satu dari empat penduduk TTS adalah penduduk miskin. Kondisi kemiskinan ini masih dipengaruhi masalah infrastruktur yang minim. Masih banyak daerah yang belum bisa dijangkau. Kondisi ini membawa konsekuensi terhadap layanan kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat. Angka kematian ibu dan anak tinggi. Angka putus sekolah juga tinggi.
Kondisi kemiskinan ini ditandai pula dengan rumah penduduk yang tidak layak huni dengan sanitasi yang buruk. Masyarakat masih kesulitan mendapatkan air bersih dan memperoleh penerangan listrik. Elektrifikasi di TTS belum mencapai 50 persen.
”Kepala daerah yang baru harus cepat mengentaskan rakyat dari kemiskinan dengan mempercepat penyediaan rumah layak huni, listrik, dan air bersih,” kata Kepala Bappeda Kabupaten TTS I Gede Witadarma.
Tantangan mengentaskan rakyat dari kemiskinan di sini cukup berat karena pemerintah daerah memiliki keterbatasan keuangan daerah. Pemerintah daerah memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap transfer dana dari pusat. Pendapatan daerah Kabupaten TTS masih didominasi alokasi dana perimbangan yang besarnya di atas 75 persen dari total pendapatan. Pendapatan asli daerah hanya menyumbang 5-6 persen terhadap total pendapatan. Tahun 2017, jumlah PAD Kabupaten TTS berjumlah sekitar Rp 69,4 miliar.
Kepala daerah yang baru harus cepat mengentaskan rakyat dari kemiskinan dengan mempercepat penyediaan rumah layak huni, listrik, dan air bersih
Konfigurasi koalisi
Koalisi parpol pengusung pasangan calon bupati dan wakil bupati TTS 2018 ini berubah dibandingkan Pilkada 2013. Hal ini menunjukkan dinamika politik di TTS berlangsung cair dan tidak terpengaruh koalisi parpol di tingkat nasional.
Pada Pilkada 2013, terdapat 7 pasangan calon yang terdiri dari 5 pasangan yang diusung koalisi parpol dan 2 pasangan dari jalur perseorangan. Koalisi parpol pengusung sangat beragam didasarkan pada hasil Pemilu 2009 yang diikuti 44 parpol.
Koalisi parpol yang terbilang besar dalam penguasaan kursi di DPRD saat itu adalah koalisi antara Partai Golkar dan PDI-P dengan 11 kursi. Koalisi ini mengusung pasangan calon Alexander Kase-Johanes Oematan. Meski kedua partai ini menguasai kursi parlemen dan memiliki basis massa yang cukup besar, mereka tidak bisa memuluskan calonnya menduduki jabatan bupati-wakil bupati TTS. Pasangan calon yang diusung koalisi Partai Demokrat yang menjadi pemenang Pemilu 2009 tingkat pusat bersama Partai Karya Perjuangan, yaitu Gotlief Fredik Neonufa-Marten Tualaka, pun tidak berhasil memenangi pilkada di TTS 2013.
Pasangan yang memenangi Pilkada 2013 di TTS dan menjadi Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten TTS hingga sekarang adalah Paul VR Mella-Obed Naitboho yang diusung Partai Gerindra bersama PNI Marhaen dan PKPI (8 kursi). Mereka memperoleh 36,38 persen suara. Obed Naitboho kembali bertarung dalam Pilkada Serentak 2018, naik posisi ke calon bupati dengan berganti kendaraan parpol. Sementara Paul VR Mella menyudahi masa tugasnya setelah menjabat selama dua periode.
Selain Obed Naitboho yang memasuki kontestasi pilkada di TTS sejak 2013, terdapat dua calon kepala daerah 2013 yang kini juga kembali bertarung di Pilkada 2018. Mereka adalah Alexander Kase dan Yaan MJ Tanaem.
Alexander Kase yang pada Pilkada 2013 maju sebagai calon bupati yang diusung Partai Golkar dan PDI-P, pada pilkada kali ini maju sebagai calon wakil bupati mendampingi Obed Naitboho yang diusung PAN, PKPI, dan Nasdem.
Adapun Yaan Tanaem yang pada Pilkada 2013 maju sebagai calon bupati dari jalur perseorangan, pada pilkada kali ini maju sebagai calon wakil bupati berpasangan dengan Ampera Seke Selan yang diusung PKS dan Partai Demokrat.
Faktor Kedekatan
Mencermati konfigurasi koalisi parpol dalam dua kali pilkada di TTS, tokoh masyarakat TTS, Kornelis Tapatap, menyebut, dinamika politik di TTS, khususnya dalam pemilihan kepala daerah, tidak ditentukan kerja mesin-mesin partai, tetapi pada kekuatan dan keunggulan dari masing-masing pasangan calon.
”Masyarakat TTS sudah semakin rasional dan mengerti demokrasi. Dalam iklim demokrasi sekarang, masyarakat menilai dan memilih calon kepala daerah berdasarkan kompetensi atau kemampuannya,” kata Kornelis Tapatap.
Dalam hal ini, petahana yang maju pilkada bisa diuntungkan karena memiliki modal telah dikenal masyarakat lebih lama dibandingkan calon lain. Masyarakat bisa menilai apa yang sudah dikerjakannya. Namun, penilaian normatif ini masih bisa diuji mengenai sejauh mana petahana menguasai persoalan daerah dan memiliki kedekatan dengan masyarakatnya. ”Sudah dikenal luas bukan jaminan kinerja seseorang sudah memuaskan,” kata Tapatap.
Menurut Tapatap, yang pernah menjadi Bupati TTS selama dua periode (1973-1983) dan anggota DPR RI periode 1999-2004, unsur kedekatan dengan masyarakat menjadi kunci penting. Kedekatan ini bisa dimaknai sebagai ada sesuatu manfaat dari yang dilakukan calon terhadap daerah ini. Dan hal itu dikenang masyarakat. Unsur ini juga penting dan dilihat masyarakat jika dikaitkan dengan sejumlah calon yang kiprah atau kariernya berada di tingkat provinsi, di luar kabupaten.
”Berdasarkan pengalaman saya selama ini, orang yang berasal dari jalur legislatif sulit beradaptasi dalam kerja eksekutif (birokrat). Apalagi, jika ia bekerja jauh dari daerah di mana dia akan maju sekarang, penguasaannya terhadap daerah bisa diragukan,” ujar Tapatap. Anggapan sebagai ”orang luar” karena tidak pernah berkarier di TTS menjadi catatan khusus yang juga diperhatikan masyarakat pemilih.
Dilihat dari syarat berkarier di lingkup TTS, peluang besar dimiliki pasangan calon Obed Naitboho-Alexander Kase. Pasangan calon yang lain memiliki unsur sebagai orang luar, baik keduanya maupun salah seorang.
”Tiga Batu Tungku”
Meski demikian, diakui sekarang ini sulit memprediksi siapa yang akan memenangi posisi bupati dan wakil bupati TTS. Hal ini, menurut Ayub Magang, masyarakat TTS tidak seluruhnya merupakan pemilih rasional. Masyarakat TTS adalah pemilih emosional dan ada pula partisan.
Pemilih emosional di TTS dipengaruhi politik identitas, bisa karena agama atau kesukuan. Di TTS terdapat tiga suku besar (kerajaan) yang mendominasi, yang dikenal dengan istilah ”Tiga Batu Tungku”. Tiga Batu Tungku melambangkan tiga pondasi kesukuan yang menyangga masyarakat TTS. Tiga suku tersebut adalah suku Mollo, Amanuban, dan Amanatun.
Sempat terdengar rumor ada kesepakatan tidak tertulis bahwa calon kepala daerah dari setiap suku akan memimpin secara bergantian. Namun, rumor ini dibantah Ayub Magang karena ada riwayat bupati yang terpilih secara demokratis untuk dua periode. Kornelis Tapatap pun menyatakan karena pemilih semakin rasional dan bisa melihat mana sosok yang kreatif membangun daerah, identitas kesukuan tidak berpengaruh.
’Tiga Batu Tungku’ melambangkan tiga suku, yaitu suku Mollo, Amanuban, dan Amanatun.
”Namun, memang sebaiknya pasangan calon berasal dari suku yang berbeda atau kombinasi. Ini lebih sebagai keterwakilan saja,” ujar Tapatap.
Jika berdasarkan pada kesukuan, pasangan calon yang diuntungkan adalah pasangan yang berasal dari dua suku yang berbeda atau kombinasi dari dua suku. Dalam kontestasi kali ini, terdapat satu pasangan yang hanya mewakili suku yang sama, yaitu pasangan Obet Naitboho-Alexander Kase. Mereka berdua dari suku Amanuban. Tiga pasangan kandidat lainnya mewakili suku yang berbeda (kombinasi).
”Kita serahkan saja kepada Tuhan yang akan menentukan pemimpin yang terbaik untuk masyarakat TTS. Uang bukanlah penentu kemenangan. Bukan pula politik partai, melainkan penilaian terhadap figur calon pemimpin,” kata Tapatap. (GIANIE/LITBANG KOMPAS)