Pertarungan Anak Gunung Papua (2)
Pelaksanaan pemilihan kepala daerah di Papua tidak lepas dari nilai wilayahnya sebagai daerah otonomi khusus. Sayangnya, karena kekhususannya itu, tidak jarang malah menjadi beban sekaligus hambatan terhadap proses kontestasi politik lokal. Sepanjang dua pilkada di wilayah ini, persoalan regulasi menjadi pro-kontra tersendiri.
Berbeda dengan pilkada daerah lain, tahapan pilkada di Papua tahun ini, khususnya terkait agenda penetapan pasangan calon yang akan berlaga di pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua, terpaksa harus dimundurkan. Semestinya penetapan itu dilakukan pada 12 Februari 2018, tetapi kedua pasangan calon di Pilkada Papua baru ditetapkan 20 Februari 2018.
Pengunduran oleh Komisi Pemilihan Umum Papua (KPUP) ini karena waktu itu belum ada rekomendasi dari Majelis Rakyat Papua (MRP) terkait keaslian calon sebagai orang asli Papua. Orang asli Papua menjadi salah satu syarat bagi calon gubernur dan wakil gubernur Papua, sebagaimana dalam Pasal 27 PKPU No 10/2017 dan UU Otonomi Khusus Papua.
Penetapan yang molor ini bermula dari belum diterimanya berkas pencalonan kedua pasangan calon dari Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) kepada MRP. Sebagai lembaga yang diberi kewenangan meneliti dan mengesahkan keaslian calon sebagai orang asli Papua, MRP meminta KPU Papua menunda penetapan pasangan calon. Belum diberikannya berkas pasangan calon dari DPRP ke MRP tidak lepas dari masih polemiknya kewenangan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua.
Ketua KPU Papua Adam Arisoy menyebut pencalonan memang harus mendapatkan rekomendasi akhir dari MRP, terutama terkait status syarat asli orang Papua. ”Secara de facto para calon gubernur dan wakil gubenur Papua ini adalah asli orang Papua, tetapi secara de jure harus ada penilaian dari MRP,” ujar Adam Arisoy. KPU Papua sendiri sudah menyerahkan berkas pasangan calon ke DPRP sesuai mekanisme yang diatur dalam UU Otsus pada 12 Januari 2018.
Semestinya dalam proses selanjutnya, pihak DPRP menyerahkan berkas tersebut kepada MRP untuk dimintai rekomendasi terkait status calon sebagai orang asli Papua. Namun, menjelang penetapan pasangan calon 12 Februari lalu, MRP belum menerima berkas tersebut sehingga penetapan calon pun diundur. Akibatnya, kedua pasang calon pun akhirnya ditetapkan pada 20 Februari 2018 setelah MRP memberikan rekomendasi terkait keterangan calon sebagai orang asli Papua.
Fenomena tarik-menarik kewenangan memilih gubernur ini terutama bersumber dari dilema terkait pembentukan Panitia Khusus Pemilihan Gubenur oleh DPRP. Padahal kewenangan soal pemilihan gubernur dan wakil gubernur oleh DPRP, yang sebelumnya melekat dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, sudah dihapus dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2008 yang kemudian sudah ditetapkan dalam UU Nomor 35 Tahun 2008 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Hal ini khususnya terkait penghapusan Pasal 7 Ayat 1 yang menunjukkan DPRP berwenang memilih gubernur dan wakil gubernur Papua. Penghapusan pasal ini untuk menyesuaikan dengan putusan MK yang memang menyatakan kewenangan penyelanggaraan pilkada dan pemilu ada di tangan KPU dan pemilihan gubernur tidak terkait dengan otonomi khusus. Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota di mana di Pasal 1 menyebutkan pemilihannya digelar secara langsung oleh rakyat dan dilaksanakan oleh KPU Papua sebagai penyelenggaranya.
Konflik kewenangan
Konflik kewenangan antara KPU Papua dan DPRP ini seakan menjadi ritual lima tahunan menjelang pilkada. Padahal, polemik kewenangan ini pun sebenarnya sudah tuntas ketika KPU pusat mengajukan permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara ke Mahkamah Konstitusi di tahun 2012. Hasilnya, MK mengabulkan permohonan KPU dan menyatakan pemohon (KPU) berwenang melaksanakan semua tahapan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua, termasuk memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal pasangan calon (19 September 2012).
Ketika permohonan ini diajukan, hal yang sama terjadi, yakni tarik-menarik kewenangan, antara KPU Papua dan DPRP. Ketika itu menjelang Pilkada Papua 2013, DPRP membuka pendaftaran pasangan calon. DPRP berpegang penuh pada undang-undang otonomi khusus Papua yang memang memberikan kewenangan memilih Gubernur dan Wakil Gubernur Papua. Pascaputusan MK, pilkada Papua akhirnya kembali menjadi kewenangan KPU Papua yang menyelanggarakan tahapannya.
Anggota Bawaslu Papua, Anugrah Pata, memandang persoalan kewenangan ini masih menjadi kendala. ”Sekarang terulang lagi, DPR Papua merasa berwenang dalam pemilihan gubernur,” ujar Anugrah Pata. Dulu hal yang sama juga terjadi pada Pilkada Papua 2013, bahkan DPRP sampai membuka pendaftaran pasangan calon dan sudah ada enam pasang calon yang mendaftar ke DPRP. Di sisi yang lain, KPU Papua kala itu juga melakukan tahapan pilkada.
Selain di Papua, hal yang sama juga terjadi pada proses pilkada Papua Barat tujuh tahun silam. Kondisi di Papua Barat malah lebih kental tensi konfliknya, bahkan sampai menimbulkan ketegangan elite. Sampai-sampai mengharuskan sejumlah anggota KPU Papua Barat kala itu mengungsi karena ancaman pembunuhan. Filep Wamafma, salah seorang komisoner, misalnya, menerima ancaman pembunuhan setelah melakukan rapat pleno terkait pendaftaran bakal calon gubernur dan wakil gubernur Papua Barat, 16 Maret 2011.
Kondisi ini sama-sama dilahirkan akibat perbedaaan pandangan antara Papua Barat dan DPR Papua Barat (DPRPB). Ketegangan kedua institusi ini terus berlangsung meskipun MK sudah menolak permohonan DPRPB. Lembaga wakil rakyat ini memprotes penghapusan kewenangan dewan melakukan proses pilkada pada UU No 35/2008 penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Beruntung polemik ini bisa diakhiri dengan kesepakatan win-win solution dari hasil pertemuan antara Menteri Dalam Negeri; Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan; KPU; dan DPRPB yang menegaskan proses pilkada ada dalam ranah KPU Papua Barat, sedangkan DPRPB berperan dalam seleksi bakal calon terkait dengan isu putra daerah.
Kultur Papua
Tarik-menarik soal kewenangan ini boleh jadi memang tidak lepas dari kultur masyarakat Papua, terutama terkait mekanisme pemilihan. Selama ini budaya di Papua juga kental dengan tradisi perwakilan ketika melakukan proses pemilihan, seperti halnya sistem noken. Mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi pernah menganggap pelaksanaan pemilihan kepada daerah di Papua tidak bisa dilakukan secara langsung karena kurang sesuai dengan kultur masyarakat Papua.
”Pilkada Papua sebaiknya tidak dilakukan secara langsung,” kata Gamawan di Kementerian Dalam Negeri kala itu (9/3/2012).
Menurut Gamawan, kultur Papua yang cenderung mengikuti keputusan kepala suku membuat pengumuman hasil pilkada berpotensi mengakibatkan konflik. Hal itu disebabkan masyarakat Papua lebih patuh kepada pemimpin adat. Pelaksanaan pilkada secara tidak langsung sebenarnya sudah dilakukan di Papua menggunakan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Namun, pelaksanaan pilkada secara tidak langsung itu dibatalkan setelah pemerintah mengeluarkan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 dan diterbitkannya UU Nomor 35 Tahun 2008 yang merevisi UU Otonomi Khusus Papua. Hal ini karena dinilai harus sesuai dengan UUD yang mengharuskan pemilihan langsung.
Aktivis dan peneliti masalah Papua, Bhaskara Anggarda, memandang masyarakat Papua belum terbiasa melihat perbedaan apalagi yang berkaitan dengan kekuasaan. ”Adat dan budaya mereka adalah berperang sehingga berusaha memenangkan jagoannya dengan cara apa pun. Itulah kenapa banyak sekali terjadi kerusuhan pada saat pilkada di papua,” ujar Bhaskara. Tentu, catatan polemik terkait kewenangan pemilihan yang selalu menghiasi dinamika politik di Papua ini akan selalu berpotensi menjadi beban yang membayangi kontestasi politik di ”Bumi Cendrawasih” ini. (Yohan Wahyu/Litbang Kompas)