Partai Paling ”Pede” Juga Paling Bingung
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tercatat sebagai partai yang paling banyak mencalonkan pasangan tanpa koalisi (partai tunggal). Gejala ini, di satu sisi mencerminkan PDI-P sebagai partai paling pede, tetapi bisa juga dimaknai sebagai partai paling ”bingung” dalam menentukan calon.
PDI-P menjadi pengusung calon tunggal, tanpa koalisi, di 15 wilayah pilkada. Jumlah ini terhitung sangat banyak mengingat partai-partai lain tak punya keberanian seperti PDI-P. Golkar, partai kedua terbesar Pemilu 2014, hanya berani memunculkan calon tanpa koalisi sebanyak dua pasang. Partai-partai lain yang menjadi pengusung tunggal calon adalah PAN, PKB, dan PPP masing-masing satu calon.
PDI-P mengusung calon tanpa koalisi pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Barat serta beberapa kabupaten di provinsi ini, yaitu Kabupaten Cirebon, Kabupaten Majalengka, dan Kabupaten Subang, sementara di Jawa Tengah untuk wali kota Tegal, di Jawa Timur untuk wali kota Mojokerto dan Probolinggo, di Provinsi Lampung untuk pilgub, dan di Sumatera Selatan pada Pilkada Kabupaten Ogan Komering Ilir.
Di Kalimantan Tengah, PDI-P juga mengusung tanpa koalisi untuk Pilkada Kota Palangkaraya, Kabupaten Katingan, Kabupaten Barito Utara, dan Kabupaten Seruyan, sementara di Bali untuk Kabupaten Gianyar dan di Sulawesi Utara untuk Pilkada Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro.
Banyaknya wilayah pilkada yang ditetapkan oleh PDI-P untuk mengusung calon sendiri, tanpa koalisi dengan partai lain, menunjukkan dua sisi karakter partai ini yang bisa dibaca secara bolak-balik. Di satu sisi memperlihatkan kepercayaan diri yang sangat besar dari partai penguasa ini, tetapi di sisi lain menunjukkan lemahnya strategi koalisi partai. Di beberapa kasus, lebih memperlihatkan kebingungan menetapkan calon yang akan diusungnya.
Melihat dari sebaran latar belakang pekerjaan calon kepala daerah yang diusung PDI-P, persoalan lemahnya strategi yang dihadapi di 15 wilayah itu tampaknya lebih menonjol di balik kepercayaan diri yang tinggi. Calon-calon yang diusung PDI-P berasal dari berbagai latar belakang tidak mencerminkan sebuah agenda yang relatif terstruktur.
Sangat berbeda dengan calon-calon yang diusung secara koalisi yang mayoritas adalah kepala/wakil kepala daerah sebelumnya. Dari total 162 calon yang diusung oleh PDI-P, sebanyak 27,8 persen merupakan calon berlatar belakang bupati, 23,5 persen berasal dari swasta. Sementara dari 15 calon yang diusung PDI-P tanpa koalisi, jumlah bupati yang diusung hanya dua (13,3 persen), sebaliknya yang berasal dari swasta berjumlah 33,3 persen.
Latar belakang calon yang diusung tunggal oleh PDI-P terdiri dari dua petahana (Kabupaten Cirebon dan Katingan), tiga wakil bupati (Majalengka, Gianyar, dan Seruyan), lima dari kalangan swasta (Subang, Kota Tegal, Kota Probolinggo, Kota Palangkaraya, dan Kepulauan Siau Tagulandang Biaro), tiga orang dari DPR/DPRD (Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Ogan Komering Ilir, dan Barito Utara), satu PNS (Kota Mojokerto), dan seorang wali kota Bandar Lampung yang diusung menjadi calon gubernur Lampung.
Melihat dari kategori kekayaan calon yang tergolong sedang (Rp 1 miliar-Rp 10 miliar) dan tinggi (Rp 10 miliar-Rp 50 miliar), kehadiran PDI-P menjadi pengusung tunggal cukup banyak dipengaruhi oleh faktor finansial calon kepala daerah. Di 162 wilayah yang calonnya diusung PDI-P, baik dengan koalisi maupun tanpa koalisi, jumlah calon yang memiliki kekayaan tergolong tinggi sebesar 26,5 persen. Sementara kalau dilihat lebih dalam pada calon-calon yang diusung PDI-P, jumlah calon yang memiliki kekayaan tergolong tinggi sebesar 40 persennya.
Karakter PDI-P paling mirip dengan Partai Golkar dalam pola penentuan calon, baik secara umum maupun pada kasus pengusung tunggal. Situasi yang agak berbeda jika dibandingkan dengan PKB yang menjadi pendukung tunggal untuk calon wali kota Tegal, yang harta kekayaannya tergolong rendah (di bawah Rp 1 miliar).
Seberapa efektif pola pencalonan yang dilakukan PDI-P dengan menjadi pengusung tunggal dalam pilkada kali ini?
Sejarah kegemilangan
Kepercayaan diri PDI-P dalam mengusung calon secara tunggal di 15 wilayah kali ini tentu bukan merupakan uji coba karena dalam pilkada-pilkada sebelumnya PDI-P selalu tercatat sebagai partai terbanyak menjadi pengusung tunggal. Dalam pilkada provinsi 2008, PDI-P tercatat memenangi tujuh provinsi dengan menjadi pengusung tunggal, yaitu di Jawa Tengah, NTT, Irian Jaya Barat (Papua Barat), Papua, Sulawesi Utara, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat.
Adapun Golkar hanya memenangi satu provinsi, yakni Gorontalo. Total pilkada tingkat provinsi saat itu adalah 18 provinsi.
Pada 2015, dari 264 daerah yang melaksanakan pilkada, PDI-P berhasil memenangkan calon di 125 daerah, 14 di antaranya diusung tanpa koalisi. Kemenangan dalam pilkada itu lebih dari dua kali lipat yang dicapai Golkar yang hanya menang di 57 daerah. Kesuksesan ini menjadikan kepercayaan diri partai berlambang banteng tersebut makin tinggi.
Namun, titik balik bagi PDI-P tampaknya sudah mulai terjadi pada Pilkada 2017. Kemenangan yang dicapai PDI-P tak sebanyak Golkar. PDI-P meraih 45 kemenangan dari 90 pasangan calon yang diajukan dan Golkar 54 kemenangan dari 98 calon. Bahkan, PDI-P kalah dari Nasdem yang mendapatkan 47 kemenangan. PDI-P juga tercatat hanya memenangkan dua calon dari tujuh calon yang diusung tanpa koalisi, yaitu di Kabupaten Jepara dan Kota Batu. Pukulan paling telak adalah kekalahan Ahok-Djarot dalam Pilkada DKI Jakarta yang diusung PDI-P berkoalisi dengan Hanura, Nasdem, dan Golkar.
Eksistensi Partai
Pilkada serentak 2018 yang akan digelar pada 27 Juni 2018 dengan melibatkan 171 daerah akan menjadi momen yang sangat penting bagi eksistensi partai politik. Walaupun bukan merupakan pilkada terbanyak, pilkada nanti memiliki peran yang sangat signifikan karena dilakukan setahun sebelum pemilu nasional.
Kemenangan pada pilkada kali ini dapat menyumbangkan spirit untuk menggalang suara partai ataupun calon presiden pada 2019. Terlebih terdapat tiga pilkada tingkat provinsi di Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur) yang memiliki arti sangat strategis karena ketiganya merupakan penyumbang suara terbesar. Hampir setengah (48,4 persen) dari total pemilih nasional terkait dengan tiga daerah di Jawa ini. Jumlah pemilih di Jawa Barat 17,6 persen, Jawa Tengah 14,5 persen, dan Jawa Timur 16,3 persen.
Dari tiga daerah ini, Jawa Barat menjadi medan pertarungan kekuasaan yang sangat penting sebab selain pemilihnya terbanyak, juga dekat dengan ibu kota negara, Jakarta. Pengaruhnya ke tingkat nasional bisa sangat besar karena sebagian wilayah Jawa Barat menjadi makrokosmos politik, greater area dari pusat kekuasaan.
Dalam ajang pilkada yang mempertaruhkan eksistensi dan popularitas partai ini, strategi partai dalam pemilihan calon menjadi penentu awal kemenangan. Parta-partai yang berhasil memenangkan calonnya lebih mudah memaksimalkan dukungan pada pemilu legislatif dan presiden dibanding partai dengan calon yang kalah.
Dalam menghadapi Pilkada 2018 ini, partai seharusnya memilih strategi yang paling kuat untuk memenangkan calon. Namun, kali ini PDI-P justru terlihat gamang, terutama menghadapi Pilkada Jawa Barat. Dukungan yang pada awalnya tampak lebih tertuju kepada sosok Ridwan Kamil, yang berdasarkan sejumlah survei pendahuluan terlihat paling menonjol, pada akhirnya diurungkan.
Keputusan PDI-P akhirnya jatuh ke pasangan berlatar belakang militer dan polisi, Tubagus Hasanuddin dan Anton Charliyan, yang tak masuk dalam pusaran pasar tokoh yang diunggulkan. Hasil survei Cyrus Network yang dilansir awal Februari lalu kian menguatkan lemahnya posisi calon yang diusung PDI-P tanpa koalisi ini. Dalam survei tersebut, Hasanuddin-Charliyan hanya menempati suara buncit dengan hanya dipilih oleh 2,5 persen suara, sangat jauh dari elektabilitas pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ullum (45,9 persen) dan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi (40,9 persen).
Sementara itu, calon petahana yang diusung PDI-P di Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, tampaknya cukup kokoh. Ganjar yang berpasangan dengan Taj Yasin Maimoen, putra ulama karismatik asal Rembang, KH Maimoen Zubair, diperkirakan cukup kuat menghadapi pesaing tunggalnya, Sudirman Said dan Ida Fauziyah, yang diusung Partai Gerindra, PAN, PKS, dan PKB. Namun, kelihaian PDI-P dan partai koalisinya (PPP, Nasdem, Demokrat, dan Golkar) dalam menepis isu-isu sensitif terkait Ganjar akan menentukan arah dukungan masyarakat.
Di Pilkada Jawa Timur, pencalonan PDI-P tak semulus yang diperkirakan awalnya. Deklarasi pasangan calon Saifullah Yusuf-Abdullah Azwar Anas yang semula diprediksi akan menjadi pasangan yang sangat kokoh tiba-tiba batal. Bupati Banyuwangi Azwar Anas mendadak mundur setelah viralnya video dan foto-foto mesranya dengan seorang perempuan. Tanpa sosok yang kuat, peluang Saifullah untuk menang pun tipis menghadapi pasangan Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak.
Kemunculan Puti Guntur Soekarnoputri menggantikan posisi pencalonan Anas kemudian berpeluang mengimbangi Khofifah-Emil. Hasil survei yang dirilis Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) minggu lalu menunjukkan cukup kuatnya dukungan terhadap pasangan Saifullah-Puti. Elektabilitas Saifullah-Puti unggul berada di kisaran 53,7 persen dan Khofifah-Emil mendapat dukungan 46,3 persen suara. Meski demikian, potensi kemenangan Saifullah-Puti tampaknya masih rentan berubah mengingat pasangan ini belum didukung oleh basis popularitas yang kokoh, terutama pada sosok Puti yang belum banyak dikenal.
Dengan merapatnya Partai Gerindra dan PKS ke Saifullah-Puti, Pilkada Jatim menjadi cair. Situasi ini bisa menjadi keuntungan bagi masing-masing calon untuk menjual hasil kerja dalam masa kampanye tanpa polarisasi ideologis yang berlebihan. Namun, dampaknya adalah kemenangan atau kekalahan di Jawa Timur tidak akan memiliki arti cukup penting bagi eksistensi PDI-P pascapilkada.
Keajaiban angka terkadang dibangun oleh kisah yang melodramatik. Ada rasa pede yang terpampang dari gelegar pencalonan tunggal oleh PDI-P, tetapi di baliknya juga terselip pergulatan yang gamang. (Bambang Setiawan/Litbang Kompas)