Dinamika Politik Masyarakat Pesisir ala Pariaman
Biduak Lalu Kiambang Batauik. Frase ini merujuk pada tanaman di atas air yang akan tersibak ketika dilewati perahu atau biduk, tetapi akan menyatu kembali setelah biduk itu lewat. Begitulah kontestasi politik di Kota Pariaman diibaratkan.
Ketika ada kontestasi politik, terjadinya riak-riak dan perbedaan pendapat membuat masyarakat pemilih terbelah. Setelah kontestasi selesai, masyarakat akan berdamai kembali tanpa meninggalkan dendam atau konflik berkepanjangan. Seperti itulah gambaran sikap politik masyarakat Kota Pariaman dan masyarakat Minang pada umumnya dalam menyikapi kontestasi pemilihan kepala daerah yang kini sedang bergulir.
Kota Pariaman adalah kota pesisir yang terletak di pantai barat Pulau Sumatera dan berhadapan langsung dengan Samudra Indonesia. Sebagai daerah pesisir, Pariaman merupakan daerah yang sejak dulu mendapat banyak pengaruh luar sehingga berciri karakter masyarakat lebih terbuka dan lebih cepat beradaptasi terhadap nilai-nilai dari luar. Hal ini berpengaruh pula pada karakter masyarakat Pariaman dalam pilkada. Pilihan politiknya relatif dinamis, dan dalam berpolitik masyarakatnya lebih mandiri dan tidak mudah dipengaruhi sistem patron.
Pilihan politiknya masyarakatnya lebih dinamis, dan tidak mudah dipengaruhi patron
Kontestasi
Kota Pariaman merupakan satu dari empat kota di Sumatera Barat yang menyelenggarakan pemilihan kepala daerah tahun ini. Tiga pasang kandidat yang dipastikan maju dalam perhelatan politik di kota hasil pemekaran dari Kabupaten Padang Pariaman ini adalah Mahyudin-Muhammad Ridwan, Dewi Fitri Deswati-Pabrisal, dan Genius Umar-Mardison Mahyuddin. Berbeda dengan pertarungan pilkada 2008 dan 2013 yang diikuti beberapa calon perseorangan, pilkada 2018 ini tidak diwarnai calon perseorangan.
Sebagaimana daerah lain, kontestasi politik Pariaman diikuti figur-figur yang pernah ikut berlaga sebelumnya. Para kontestan tersebut berupaya menjajal ”peruntungan” politik mereka berbekal pengalaman mengikuti laga kontestasi sebelumnya. Pada pilkada di kota seluas 73,36 kilometer persegi dan berpenduduk 85.691 jiwa ini, dua paslon yang ikut berlaga adalah wajah-wajah lama dalam kontestasi politik sebelumnya.
Paslon nomor urut tiga, Genius Umar, wakil wali kota petahana, maju berpasangan dengan Mardison Mahyuddin, Ketua DPRD Kota Pariaman. Pasangan ini diusung koalisi lima parpol, yaitu PAN, PPP, Golkar, PBB, dan PDI-P. Menengok sejenak ke belakang, Mardison Mahyuddin adalah pesaing kuat petahana pasangan Mukhlis Rahman-Genius Umar pada pilkada 2013. Mardison, politisi tulen, pernah menjadi anggota DPRD Kota Pariaman tiga periode berturut-turut sekaligus Ketua DPD Partai Golkar Kota Pariaman periode yang sama.
Kekuatan pasangan Genius Umar-Mardison Mahyuddin terletak pada perpaduan dua figur dengan elektabilitas tinggi. Sebagai pemenang pilkada 2013, Genius Umar memiliki basis pemilih besar. Demikian pula halnya dengan Mardison Mahyuddin yang perolehan suaranya menduduki peringkat kedua pada pilkada 2013.
Sementara itu, calon wali kota Pariaman nomor urut pertama, Mahyudin, pernah menjadi wakil wali kota sekaligus wali kota Pariaman 2003-2008. Ia menggantikan wali kota yang wafat saat menjabat, Nasri Nasar. Pada pilkada 2013, Mahyudin berupaya mempertahankan jabatannya sebagai wali kota, tetapi dikalahkan pasangan Mukhlis Rahman-Genius Umar. Meskipun demikian, Mahyudin diprediksi masih memiliki massa karena hasil kerja semasa memimpin dulu tetap diingat masyarakat.
Mahyudin berpasangan dengan Muhammad Ridwan, tokoh muda yang pernah menjadi staf ahli di DPR RI. Pasangan Mahyudin-Muhammad Ridwan ini merupakan representasi tokoh tua dan muda yang diprediksi bisa mendulang suara dari dua segmen pemilih tersebut. Pasangan ini diusung Partai Gerindra dan PKS dengan total empat kursi di DPRD.
Paslon nomor urut dua adalah Dewi Fitri Deswati-Pabrisal. Dewi adalah Ketua DPD Nasdem Kota Pariaman yang dikenal ceplas-ceplos, lugas, dan tegas. Adapun Pabrisal adalah seorang pengusaha. Majunya Dewi Fitri Deswati dalam kontestasi politik ini membuat catatan sejarah karena merupakan perempuan pertama yang menjadi calon wali kota di Pariaman dan satu-satunya perempuan calon kepala daerah di Sumatera Barat. Meskipun dinilai memiliki kans yang lebih kecil dibandingkan dua paslon lainnya, paslon yang didukung Partai Nasdem dan Hanura ini bisa menjadi ”kuda hitam” di tengah dinamika politik yang sedemikian cair.
Satu-satunya perempuan calon kepala daerah di Sumatera Barat
Peta politik di kota kecil yang terbagi menjadi empat kecamatan ini akan diwarnai ”pertempuran” sengit di Pariaman Tengah. Wilayah dengan jumlah pemilih terbesar ini adalah tempat kelahiran dan domisili sebagian besar paslon. Sementara Pariaman Selatan merupakan tempat domisili Mardison Mahyuddin dan Pariaman Utara adalah tempat kelahiran Mahyudin. Ladang pertempuran akan terjadi di wilayah-wilayah ini. Hanya Pariaman Timur yang bebas dari keterikatan emosional daerah asal dan domisili pasangan calon. Meskipun jumlah pemilihnya paling kecil, bisa jadi wilayah ini akan menjadi penentu kemenangan.
”Lapau” dan ”cimeeh”
Tingginya dinamika politik di Pariaman meskipun biasa menimbulkan riak-riak, tidak sampai berujung pada konflik dengan kekerasan. Hal ini terlihat dari Indeks Kerawanan Pilkada Kota Pariaman yang masuk kategori rendah di angka 1,93. Salah satu indikator sosial untuk melihat dinamika politik di Pariaman adalah lapau.
Lapau menjadi arena yang luar biasa yang bisa membangun dinamika politik. Beragam orang ada di situ, dari yang tidak tahu sampai sok tahu akan ramai berdebat. Bahkan, ada tempat-tempat tertentu yang disebut lapau politik, tempat politisi berkumpul. Sebagai lembaga, lapau menjadi media yang efektif dalam politik. Bagi calon atau timnya, lapau bisa menjadi tempat untuk memotretkan diri dan mencari dukungan.
Sebagai gambaran, orang Minang khususnya Pariaman punya kebiasaan pergi ke lapau atau kedai pada pagi hari sebelum bekerja atau ke sawah, sekadar ngopi sambil ngobrol-ngobrol. Segala hal bisa diperbincangkan di lapau, dari masalah sosial, ekonomi, sampai politik.
Dari yang tidak tahu sampai sok tahu akan ramai berdebat di lapau, dari masalah sosial, ekonomi hingga politik.
Namun, calon atau tim sukses harus pandai-pandai membaca suara hati pemilih dan mengatur strategi. Jangan sampai justru menjadi bahan cimeeh atau cemooh, suatu idiom dalam budaya masyarakat Pariaman untuk maksud mengejek. Namun bisa juga, ejekan itu justru menjadi kritik atau penyemangat yang mendorong mengubah yang negatif menjadi positif.
Budaya cimeeh bisa menjadi modal sosial yang dijadikan sebagai penggerak pembangunan. Saling cimeeh dan bersilang pendapat adalah hal biasa dalam masyarakat Piaman, sebutan untuk orang Pariaman. Seperti kata pepatah Bila tidak bersilang kayu di penjarangan, api tidak akan hidup, demikian ujar tokoh muda Pariaman, Hary Efendi yang juga dosen Sejarah Politik Universitas Andalas, menggambarkan budaya politik di kota pantai ini.
Karakter pemilih
Sebagai wilayah yang menjadi sumber berkembangnya Islam di Minangkabau dengan masyarakat yang terbuka, menurut pengamat politik Sadri Chaniago, karakter orang Pariaman kritis dan skeptis. Mereka bukanlah tipikal yang mudah percaya pada janji-janji dan pencitraan politik paslon sebelum ada bukti. Istilahnya, kata dosen Ilmu Politik Universitas Andalas ini, ”dilihat tampak dipegang terasa”, barulah mereka akan percaya, ujarnya.
Kedua, menurut Chaniago, pemilih kota Pariaman mempunyai tipikal karakter yang unik dan tidak mudah ditebak pilihan politiknya. Ramainya dukungan saat kampanye tidak bisa menjadi indikator bahwa mereka akan memilih paslon tersebut. Para calon harus berhati-hati dan cerdas menyikapi tipikal pemilih seperti ini karena bisa jadi ”dalam mengangguk dia Enggan, dalam menggeleng dia iya”.
Masyarakat Pariaman sudah melek politik, sangat pragmatis, dan sebenarnya sudah memiliki pertimbangan dan pilihan sendiri.
Pemilih kota Pariaman mempunyai tipikal karakter yang unik dan tidak mudah ditebak politiknya.
Sementara itu, perilaku memilih masyarakatnya ditentukan oleh beberapa pertimbangan. Pertama adalah pertimbangan rasionalitas, orang akan memilih pemimpin karena ketokohannya. Bagaimana rekam jejaknya, intelektualitasnya, dan kualitas dirinya.
Kedua adalah pertimbangan psikologis. Bagi orang Minang, menjadi pemimpin harus memenuhi unsur tokoh dan takah. Faktor ketokohan saja tidak cukup. Ketakahan dilihat dari kepribadiannya, penampilan, pembawaan diri, dan punya karisma atau tidak. Bagi orang Minang hal semacam ini penting.
Ketiga adalah pertimbangan sosiologis. Hal ini terkait dengan aspek primordialisme. Masyarakat akan memilih berdasarkan pertimbangan irisan sosial, yaitu hubungan kekerabatan, apakah seayah, mamak kemenakan, sesuku, sekampung, senagari, dan masih banyak irisan lainnya. Dalam memutuskan pasangan calon yang dipilih, pemilih biasanya akan menggunakan berbagai irisan tersebut berdasarkan skala prioritas kedekatan dan yang paling berpengaruh terhadap dirinya.
Hal ini yang biasanya menjadikan pilihan sulit diputuskan, apalagi Kota Pariaman adalah kota kecil di mana orang saling mengenal satu sama lain, bahkan saling punya hubungan tali kekerabatan. Ibarat ”di kiri lamang, di kanan kanji”, ungkapan lokal ketika menghadapi pilihan yang sulit. Ke mana pisau ini akan diarahkan, apakah akan memilih lamang atau kanji, akhirnya terpulang pada kedewasaan berpolitik masyarakat ”Kota Tabuik” ini.
Potensi pariwisata
Perekonomian Kota Pariaman masih disokong sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan yang memberikan kontribusi paling besar terhadap perekonomiannya pada tahun 2016, yaitu 19,55 persen. Laju pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) di Kota Pariaman tahun 2016 sebesar 5,58 persen berada pada urutan ke-8 dari 19 kabupaten/kota di Sumatera Barat. Sementara Indeks Pembangunan Manusia sebesar 75,44 meningkat dibandingkan tahun 2015 sebesar 74,98 dan berada di urutan ke-6 di tingkat provinsi.
Para kandidat calon pemimpin daerah ini memiliki tantangan untuk meningkatkan perekonomian daerah karena laju pertumbuhan PDRB cenderung menurun setelah tahun 2013. Namun, kota kecil yang lengang ini masih memiliki potensi besar di bidang pariwisata. Mempunyai garis pantai sepanjang 12 km dengan pantainya yang indah dan 23 obyek wisata, Pariaman memiliki berbagai potensi wisata yang diminati wisatawan. Hal ini terlihat dari jumlah kunjungan wisatawan pada tahun 2016 yang naik hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2014. Sektor wisata ini bisa menjadi ladang potensial untuk digarap pemimpin yang nantinya terpilih. (MB Dewi Pancawati/Litbang Kompas)