Agama Paling Banyak Peminat, Politik Paling Sedikit
Dalam berinteraksi sosial, saat ini orientasi keagamaan menjadi pilihan terbanyak warga masyarakat. Di sisi sebaliknya, dari beragam bentuk partisipasi sosial kemasyarakatan yang mereka ikuti, orientasi perpolitikan menjadi yang paling rendah.
Rangkuman demikian merujuk pada hasil survei opini publik yang dilakukan Litbang Kompas secara periodik di 34 provinsi negeri ini. Hasil survei-survei tersebut menunjukkan, dalam persepsi masyarakat terbangun kesan bahwa agama dan politik menjadi dua entitas yang berjarak. Apabila keduanya disandingkan, seolah berada pada dua kutub saling berseberangan.
Agama ataupun keagamaan dalam pembahasan tulisan ini tidak merujuk pada semata kadar religiusitas seseorang. Agama ataupun keagamaan yang dimaksud lebih banyak tertuju pada bentuk-bentuk interaksi sosial responden pada keorganisasian keagamaan yang terdapat pada lingkungan sosial kemasyarakatan mereka.
Berdasarkan konsepsi demikian, hasil survei menunjukkan lebih dari separuh (58,9 persen) responden mengaku melibatkan dirinya dalam kegiatan organisasi keagamaan. Bentuk keterlibatan mereka seperti partisipasi dalam organisasi yang terfokus pada pengelolaan rumah-rumah ibadah, keikutsertaan dalam organisasi massa keagamaan, hingga organisasi yang terfokus pada praktik ritual peribadahan.
Proporsi keterlibatan responden dalam kegiatan organisasi keagamaan tersebut menjadi yang terbanyak dari setiap kegiatan keorganisasian sosial kemasyarakatan lain yang diikuti. Masih lebih tinggi dibandingkan dengan partisipasi mereka dalam lingkungan terdekat, seperti keorganisasian warga lingkungan perumahan, baik rukun tetangga maupun rukun warga (RT/RW). Begitu pula masih lebih banyak dibandingkan dengan ikatan-ikatan kekerabatan seperti perkumpulan keluarga dan keorganisasian berdasar ikatan-ikatan kesukuan.
Keterlibatan responden dalam kegiatan keagamaan menjadi yang terbanyak dalam kegiatan sosial.
Derajat partisipasi organisasi keagamaan yang ditunjukkan pun tertinggi dibandingkan dengan organisasi sosial kemasyarakatan lainnya. Hampir sepertiga dari seluruh responden (32,4 persen) tercatat sebagai anggota aktif dan seperlima bagian (21,1 persen) menjadi simpatisan.
Dari sisi keterlibatan yang lebih intens, jabatan pengurus organisasi, misalnya, tercatat sebanyak 5,4 persen yang menjadi pengurus organisasi keagamaan. Proporsi tersebut tergolong tinggi sekalipun masih di bawah proporsi responden yang menjadi pengurus organisasi lingkungan RT/RW (Grafik 1).
Perbedaan identitas
Jika ditelusuri, derajat keterlibatan responden dalam organisasi keagamaan responden tampak beragam jika dikaitkan dengan latar belakang identitas dan kondisi sosial ekonomi tiap responden.
Dari sisi identitas keagamaan yang dianut, misalnya, partisipasi organisasi keagamaan, baik mereka yang beragama Islam maupun yang beragama selain Islam, menunjukkan derajat keterlibatan yang tidak berbeda.
Bagian terkecil responden saja, yaitu 41 persen, dari kedua kelompok agama tersebut yang mengaku tidak terlibat dalam keorganisasian keagamaan. Mayoritas dari kedua kelompok keagamaan tersebut terlibat dalam aktivitas organisasi keagamaan. Akan tetapi, dari sisi derajat partisipasi yang ditunjukkan, mereka yang menjadi pengurus keorganisasian keagamaan tampak sedikit lebih besar pada mereka yang berasal dari kelompok agama selain Islam.
Perbedaan keterlibatan dalam keorganisasian keagamaan tampak signifikan jika tiap responden dikelompokkan dalam kategori usia, jenis kelamin, dan status sosial ekonominya. Tampaknya, semakin tua usia seseorang, semakin besar derajat keterlibatan dalam kegiatan organisasi keagamaan.
Mereka yang berusia di atas 50 tahun, misalnya, hanya sepertiga (35,3 persen) yang tidak terlibat dalam organisasi keagamaan. Sebaliknya, pada kalangan muda yang berusia 17-30 tahun, bagian terbesar (53,5 persen) mengaku tidak terlibat dalam organisasi keagamaan.
Perbedaan kondisi juga terjadi pada kelompok responden yang terpisahkan berdasarkan jenis kelamin. Hasil survei menunjukkan, dibandingkan kalangan laki-laki, kelompok perempuan tampak lebih banyak aktif dalam keorganisasian keagamaan. Sebanyak 37,5 persen perempuan aktif sebagai anggota organisasi keagamaan, lebih khusus lagi kelompok-kelompok praktik ritual keagamaan.
Pada kelompok laki-laki tercatat hanya 27,3 persen yang tergolong aktif. Namun, dari sisi kepengurusan organisasi, masih lebih besar kelompok laki-laki dibandingkan dengan kelompok perempuan.
Pada sisi lain, hasil survei menunjukkan, status sosial ekonomi seseorang juga menunjukkan perbedaan yang signifikan. Keterlibatan keorganisasian keagamaan lebih besar ditunjukkan oleh mereka yang menyandang status sosial ekonomi atas dibandingkan bawah. Tidak kurang dari 45,9 persen dari mereka yang tergolong berstatus sosial ekonomi atas tidak terlibat dalam keorganisasian keagamaan.
Proporsi tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok sosial ekonomi bawah, yang tercatat sebesar 36,2 persen. Hanya, dalam derajat keterlibatan, kalangan sosial ekonomi atas masih tertinggi dalam keterlibatan sebagai pengurus dibandingkan dengan kalangan sosial ekonomi bawah (Grafik).
Semakin susut
Apabila derajat keterlibatan masyarakat dalam keorganisasian keagamaan tampak tinggi, kondisi yang sebaliknya terjadi pada keorganisasian politik. Mayoritas responden survei (92,9 persen) menyatakan tidak terlibat. Sekalipun terlibat dalam keorganisasian, mereka mengaku hanya sebagai simpatisan partai politik.
Dalam keorganisasian politik, responden mengaku hanya di tahap sebagai simpatisan.
Kelompok masyarakat yang tergolong sebagai anggota aktif keorganisasian politik hanya 1 persen. Apabila ditelusuri dari latar belakang identitasnya, kelompok berjenis kelamin perempuan tampak lebih minim lagi. Dari hasil survei ini, keorganisasian politik terlihat masih didominasi kalangan laki-laki.
Minimnya keterlibatan dalam keorganisasian politik bukan pada survei kali ini saja terjadi. Secara konsisten ditunjukkan pada survei-survei sebelumnya. Bahkan, sekalipun belum tampak signifikan, terdapat kecenderungan semakin apatisnya keterlibatan dalam keorganisasian politik. Pada survei April 2017 lalu, misalnya, tercatat 91,3 persen yang mengaku tidak terlibat dalam keorganisasian politik.
Proporsi tersebut relatif lebih besar dari hasil survei tahun 2009, yang saat itu tercatat sebesar 89,6 persen responden tidak terlibat dalam keorganisasian politik. Artinya, dari waktu ke waktu, kecenderungan semakin menurun partisipasi keorganisasian politik mulai terjadi.
Dari dua fakta persepsi masyarakat di atas, tingginya partisipasi keorganisasian keagamaan dan sebaliknya kecilnya partisipasi keorganisasian politik mengindikasikan terpilah lebarnya ruang pilihan keterlibatan masyarakat dalam berpartisipasi sosial.
Berdasar hasil survei ini, dapat saja diinterpretasikan bahwa kecenderungan masyarakat untuk mendekatkan diri dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian yang berorientasi pada relasi vertikal kepada yang sakral lebih dominan dibandingkan dengan relasi horizontal yang cenderung profan.
Hanya, jika kedua entitas tersebut memang saling terpilah, hasil survei ini belum mampu menjelaskan—dan memang tidak dimaksudkan untuk menjelaskan—komplektisitas persoalan yang terjadi belakangan ini, di mana persoalan politik berkelindan dengan agama. (BESTIAN NAINGGOLAN/LITBANG KOMPAS).
Metode Penelitian
Survei nasional dilakukan periodik di 32 provinsi Indonesia oleh Litbang Kompas, terakhir pada Bulan Oktober 2017 terhadap warga negara Indonesia berusia minimal 17 tahun atau sudah menikah. Metode wawancara dilakukan secara tatap muka dengan pemilihan sampel dilakukan secara acak bertahap (multistage random sampling). Jumlah sampel yang diambil dalam setiap periode survei 1.200 responden. Margin of error diperkirakan sebesar ± 2,83% pada tingkat kepercayaan 95%.