Jejak Gubernur-gubernur “Penantang” Presiden Jokowi
Hingga saat ini, sejumlah sosok calon presiden yang dimunculkan sebagai penantang Presiden Joko Widodo hanya terfokus pada popularitasnya yang dihasilkan dari penjaringan survei politik. Model penjaringan semacam ini cenderung spekulatif. Pasalnya, derajat popularitas tokoh yang menjadi indikator penjaringan dihasilkan dari kalkulasi opini publik yang bersifat terbatas dan cenderung menanggalkan sisi rasionalitas.
Itulah mengapa, tidak banyak sosok yang muncul jelang pemilu kali ini. Semua tokoh yang ditampilkan berputar hanya pada nama-nama populer yang terkonstruksikan secara emosional.
Sulit untuk diketahui dan diperdebatkan kinerja yang ditorehkan dalam jejak karier nama-nama popular tersebut. Dalam kondisi semacam ini, survei secara tidak langsung membangun entry barrier, menyingkirkan peluang kemunculan tokoh-tokoh lain.
Padahal, jika kinerja dan kualitas kepemimpinan menjadi sandaran utama perekrutan politik pencalonan presiden, bisa jadi tidak sedikit tokoh-tokoh masyarakat dari berbagai latar belakang profesi ataupun bidang kepemimpinan yang layak dicalonkan.
Survei secara tidak langsung menyingkirkan peluang kemunculan tokoh lain.
Salah satunya, tokoh-tokoh masyarakat yang berlatar belakang kepala daerah, lebih khusus lagi para gubernur. Sebagai gubernur, pengalaman mengelola daerah dan memimpin jutaan warganya menjadi alasan paling otentik yang diperlukan bagi seorang presiden. Presiden Joko Widodo sendiri berhasil menduduki kursi kepresidenan tidak lepas dari karier kepemimpinan daerah yang dilaluinya.
Model penjaringan calon presiden berbasis pengalaman dan kinerja menjadi paling ideal dibandingkan berharap pada sosok yang dihasilkan dari pengonstruksian popularitas. Model demikian menjadi semakin istimewa lantaran prestasi tiap gubernur dapat dibuktikan dalam indikator-indikator penilaian yang terukur.
Derajat keberhasilan ataupun kegagalan kepemimpinan tecermin dari kinerja para gubernur yang dapat diperdebatkan secara terbuka. Oleh karena itu, indikator berbasis kinerja semacam ini cenderung rasional.
Namun, jika latar belakang kepemimpinan daerah dianggap paling ideal, siapa gubernur yang sepatutnya ”naik pangkat” sekaligus disandingkan sebagai ”penantang” Presiden Joko Widodo? Apakah kinerja yang mereka torehkan selama ini memang layak dijadikan bekal bagi pencalonan mereka?
Hingga tahun 2018, tidak kurang 10 gubernur yang habis masa jabatan kepemimpinannya. Mereka tergolong sebagai kepala daerah senior, oleh karena sudah dua periode jabatan dilalui. Artinya, 10 tahun mereka berkiprah dan sepanjang waktu itu pula segenap kinerja kepemimpinan yang dipraktikkan dapat dinilai. Gambaran setiap sosok tersebut, kecuali Nur Alam, Gubernur Sulawesi Tenggara yang tengah dibelit persoalan hukum, terpaparkan.
Dari kesembilan gubernur senior tersebut, tidak semua gubernur tergolong sama di dalam mengelola kompleksitas daerahnya. Beban kepemimpinan menjadi beragam sejalan dengan perbedaan jumlah penduduk dan luas daerah yang dikelolanya. Gubernur Ahmad Heryawan dan Soekarwo, misalnya, daerah yang dipimpin kedua gubernur ini memiliki jumlah penduduk lebih dari lima kali lipat jumlah penduduk di provinsi lain.
Di sisi lain, para gubernur di Pulau Kalimantan, seperti Cornelis MH, Awang Faroek Ishak, rentang wilayah kekuasaannya hingga ratusan ribu kilometer persegi. Akan tetapi, sekalipun berbeda-beda kompleksitas penduduk dan wilayahnya, dapat dipastikan sembilan sosok gubernur tersebut merupakan sosok yang berpengalaman memimpin dan bukan yang dikonstruksikan sebagai pemimpin.
Hanya saja, sekalipun sama-sama memimpin, di antara kesembilan gubernur senior tersebut terdapat perbedaan-perbedaan yang layak diperbandingkan. Dalam hal ini, seberapa tinggi prestasi kinerja yang mereka capai dalam meningkatkan kualitas provinsi masing-masing. Kinerja pembangunan ekonomi wilayah dan seberapa besar pembangunan tersebut memberikan manfaat bagi kualitas kesejahteraan warganya menjadi indikator yang umum digunakan.
Dengan menggunakan ukuran laju pertumbuhan ekonomi provinsi, faktanya tidak semua provinsi mencatatkan kinerja menawan. Setidaknya, jika laju pertumbuhan ekonomi daerah diperbandingkan dengan capaian laju pertumbuhan ekonomi nasional, terlihat kurang spektakuler. Bagian terbesar tidak mampu secara konsisten menjaga laju perekonomian daerahnya di atas capaian rata-rata nasional. Hanya Sulawesi Selatan, yang berkinerja di atas pertumbuhan nasional.
Akan tetapi, di antara kesembilan provinsi tersebut, prestasi beberapa beberapa daerah tidak dapat dipandang remeh. Provinsi Jawa Timur dan Bali, misalnya, masih terlihat mendekati capaian rata-rata pertumbuhan nasional, dalam kisaran 5 persen tiap tahun.
Jika dilakukan perankingan, selain Sulawesi Selatan, Jawa Timur, dan Bali pada posisi teratas, selanjutnya secara berturut-turut diduduki oleh Jawa Barat, NTB, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, NTT, dan Kalimantan Timur. Khusus Kalimantan Timur, tiga tahun terakhir justru menjadi semakin susut atau pertumbuhan negatif.
Ukuran pertumbuhan ekonomi yang disandarkan pada perhitungan produk domestik regional bruto (PDRB) dari setiap sektor kegiatan ekonomi tersebut merupakan salah satu bukti kinerja pembangunan ekonomi provinsi. Pembangunan ekonomi, bagaimanapun, harus berkonsekuensi pada kesejahteraan masyarakat, yang ditunjukkan oleh kualitas warganya.
Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang memotret capaian sisi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi masyarakat dalam satu provinsi dapat dijadikan rujukan.
Jika dikaji dari sisi capaian IPM dan diperbandingkan dengan skor IPM nasional, juga menunjukkan hasil yang beragam. Tercatat hanya provinsi Kalimantan Timur dan Bali yang berada di atas skor nasional.
Akan tetapi, jika ditelusuri dari derajat peningkatan IPM dari tahun acuan 2011 hingga 2016, laju peningkatan yang ditorehkan sebagian besar provinsi tergolong di atas rata-rata laju nasional. Laju peningkatan tertinggi secara berturut-turut dicapai oleh NTB, Jawa Timur, NTT, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan.
Kondisi demikian menunjukkan upaya-upaya agresif yang dilakukan ketujuh daerah tersebut dalam meningkatkan kualitas kesehatan, pendidikan, dan ekonomi warganya. Sementara bagi Bali dan Kalimantan Timur, yang memiliki skor IPM di atas rata-rata nasional, justru pertumbuhannya di bawah rata-rata.
Dengan menggabungkan kedua indikator pertumbuhan ekonomi dan kemajuan pembangunan manusianya, dapat dirangkum kinerja semua gubernur senior. Pada kelompok atas, terdapat tiga gubernur, yaitu Gubernur Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan NTB.
Capaian Soekarwo di Jawa Timur relatif tinggi. Jawa Timur sebagai provinsi yang memiliki jumlah penduduk hingga 39 juta jiwa sebenarnya tidak termasuk provinsi yang paling kaya dan sejahtera di negeri ini.
Dalam persoalan kesejahteraan pun, bahkan dalam beberapa persoalan, berada dalam kelompok bawah. Akan tetapi, dalam 10 tahun kepemimpinan Soekarwo, terjadi peningkatan secara konsisten laju pengelolaan kegiatan ekonomi daerah. Demikian pula, dari sisi peningkatan kualitas pembangunan manusianya dari tahun ke tahun meningkat di atas peningkatan rata-rata nasional.
Selain Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Bali, dan NTB juga masuk dalam papan atas. Di Sulawesi Selatan, misalnya, kinerja Syahrul Yasin Limpo tergolong positif. Dalam masa kepemimpinannya, provinsi berpenduduk 8,6 juta jiwa ini berhasil menorehkan laju peningkatan PDRB per kapita di atas rata-rata laju nasional sekaligus menjadi yang tertinggi dari provinsi lainnya. Skor kualitas pembangunan manusia yang dicapai Sulawesi Selatan pun meningkat signifikan.
Begitu pula Bali. Dibandingkan dengan provinsi lainnya, Bali cenderung berada pada posisi yang relatif tinggi. Pertumbuhan perekonomian provinsi berpenduduk sekitar 5,7 juta ini mencapai di atas 5 persen. Dalam kepemimpinan Gubernur I Made Mangku Prastika, kualitas pembangunan manusianya tetap terjaga di atas rata-rata Indonesia.
Di sisi lain, NTB dalam pimpinan M Zainul Majdi juga mencatatkan peningkatan yang konsisten. Dalam beberapa persoalan, provinsi berpenduduk hampir 5 juta jiwa ini selalu ditempatkan dalam kelompok papan bawah dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di negeri ini.
Namun jika ditelusuri sepanjang satu dasawarsa terakhir, perbaikan kondisi signifikan terjadi. Laju peningkatan perekonomian daerah berlangsung paralel dengan peningkatan kualitas pembangunan manusianya. Bahkan, di antara 9 provinsi yang dikaji, perubahan skor IPM NTB menjadi yang terbesar.
Pada kelompok bawah, merupakan daerah-daerah yang sebenarnya juga mencatatkan pertumbuhan. Akan tetapi, pertumbuhan yang dicapai masih di bawah rata-rata nasional. Sekalipun beberapa provinsi dalam kelompok ini berhasil meningkatkan capaian di atas rata-rata, cenderung tidak konsisten dari waktu ke waktu. Dalam kelompok papan bawah ini, terdapat Jawa Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, NTT, dan Kalimantan Timur.
Dengan pengelompokan gubernur berdasarkan kinerjanya selama satu dasawarsa kepemimpinannya itu semakin jelas bahwa terdapat cukup banyak sosok yang secara terbuka dapat dinilai kualitas kerjanya. Model penjaringan berbasis kinerja semacam ini mampu memunculkan sosok-sosok penantang Presiden Joko Widodo. Sayangnya, tidak banyak ruang yang disediakan bagi kelanjutan karier kepemimpinan mereka saat ini. (BESTIAN NAINGGOLAN/LITBANG KOMPAS).