”One Man Show” di Pilkada Jateng
Pilkada Jawa Tengah nyaris merupakan sebuah panggung pertunjukan figur tunggal daripada ajang kontestasi yang memperagakan kekuatan seimbang untuk memperebutkan kekuasaan. Sosok Ganjar Pranowo menjadi figur yang paling menonjol popularitasnya dibandingkan peserta yang lain. Berpasangan dengan Taj Yasin, elektabilitas mereka pun jauh melampaui penantangnya, Sudirman Said-Ida Fauziah.
Hasil survei terbaru Litbang Kompas mengindikasikan, jika pemilihan kepala daerah dilakukan saat ini, pasangan Ganjar Pranowo-Taj Yasin akan memperoleh 79 persen suara dan pasangan Sudirman Said-Ida Fauziah memperoleh 11,8 persen. Terdapat 9,2 persen responden yang belum menentukan pilihannya. Survei Litbang Kompas dilakukan akhir Februari-awal Maret lalu dengan mengambil 800 responden sebagai sampel.
Sejauh ini, Ganjar-Yasin juga tercatat sebagai pasangan yang paling rendah tingkat penolakannya. Hanya 7,1 persen yang tegas menolak pasangan ini untuk menjadi gubernur dan wakil gubernur. Sementara pasangan Sudirman-Ida menghadapi resistensi sebesar 42,1 persen.
Aspek geografis
Kekuatan dukungan untuk Ganjar-Yasin merata di semua kabupaten/kota di Jawa Tengah, baik di wilayah bagian timur (eks Karesidenan Surakarta), pantai utara-barat (eks Karesidenan Pekalongan), utara-tengah (eks Karesidenan Semarang), dan utara-timur (eks Karesidenan Pati), hingga wilayah tengah-selatan (eks Karesidenan Banyumas dan Kedu).
Bahkan, di Rembang, kabupaten tempat Ganjar menghadapi upaya penolakan warga terhadap pembangunan pabrik semen di pegunungan Kendeng, pasangan ini unggul jauh dibandingkan penantang. Pasangan ini juga mendapat dukungan paling besar, baik di kota maupun di desa.
Sementara itu, kekuatan utama Sudirman-Ida tampak hanya terdapat di Kabupaten Brebes, tempat kelahiran Sudirman. Itu pun belum mampu menandingi kekuatan Ganjar-Yasin.
Di Rembang, Ganjar-Yasin diunggulkan karena sejumlah alasan, yang terbesar adalah aspek pengalaman karena sudah terbukti kinerjanya (39,7 persen). Alasan lain, di antaranya adalah merakyat, berpengalaman di pemerintahan, dan tegas/berwibawa. Adapun alasan paling kuat untuk memilih Sudirman-Ida adalah jujur/bersih dari korupsi.
Unggul di semua lini
Ganjar-Yasin juga unggul di semua lini dengan nyaris tidak menyisakan kemenangan bagi pasangan Sudirman-Ida dalam aspek dukungan massa partai, agama, etnis, maupun status sosial ekonomi. Simpatisan dari semua partai pada Pemilu 2014 masih tergiring memilih Ganjar-Yasin.
Dari semua partai pendukung Sudirman-Ida, baru Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang memperlihatkan dukungan cukup signifikan meskipun masih di bawah 31 persen. Demikian pula jika dilihat dari massa baru kedua partai ini, yang saat ini akan memilih PKS maupun PAN, terbanyak justru memilih Ganjar-Yasin.
Dalam pilkada ini, selain diusung oleh PKS dan PAN, pasangan Sudirman-Ida juga didukung Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sehingga total kursi pendukung berjumlah 42. Adapun pasangan Ganjar-Yasin diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Demokrat, Partai Nasdem, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Belakangan Golkar juga merapat ke pasangan ini sehingga total kursi partai pendukung berjumlah 58.
Pasangan Ganjar-Yasin lebih mencerminkan pluralitas dukungan dari segi agama dan etnis daripada penantangnya. Pasangan ini dipilih oleh semua kelompok agama dan etnis dibandingkan Sudirman-Ida yang tersegmentasi pada satu kelompok agama dan sedikit etnis. Paling kuat adalah dukungan dari kalangan NU, sebanyak 81,5 persen. Kalangan Muhammadiyah pun 66 persen masih memilih Ganjar-Yasin.
Sebaliknya, Sudirman-Ida paling banyak dipilih oleh kaum Muhammadiyah walaupun jumlahnya baru 22,6 persen. Kaum NU yang coba direpresentasikan oleh sosok kader dari PKB Ida Fauziah, hanya 11,7 persen yang memilih pasangan tersebut.
Tampaknya, upaya Ganjar yang menggandeng Taj Yasin cukup berhasil menarik minat kaum nahdliyin ke kubu mereka sehingga cukup mampu membendung arus pilihan ke Sudirman-Ida. Yasin adalah putra ulama NU kharismatik asal Sarang, Rembang, KH Maimoen Zubair.
Dukungan untuk Ganjar-Yasin juga solid dari semua kelompok suku. Selain Jawa dan Sunda, mereka juga didukung etnis besar lain, seperti Minang dan Tionghoa. Sebaliknya, Sudirman-Ida sejauh ini hanya mampu menarik kurang dari 12 persen suku bangsa Jawa dan Sunda.
Upaya Ganjar menggandeng Taj Yasin berhasil menarik minat nahdliyin ke kubu mereka.
Dilihat dari aspek pendidikan pemilih, Ganjar meraup hampir semua pendukung dari berbagai jenjang pendidikan, terutama kalangan berpendidikan menengah ke bawah. Adapun Sudirman-Ida cukup menarik bagi kalangan berpendidikan tinggi walaupun sebagian besar masih memilih pasangan lawan.
Problem yang cukup besar bagi pasangan Sudirman-Ida adalah bagaimana menaklukkan kaum ibu rumah tangga untuk mendukung mereka. Hingga saat ini, dukungan yang diperoleh dari segmen pekerjaan pemilih ini hanya 9,4 persen. Mayoritas (82,1 persen) lebih memilih petahana.
Popularitas
Mengapa pasangan Sudirman-Ida yang diunggulkan oleh partai koalisinya untuk dapat menandingi kekuatan petahana ternyata memiliki elektabilitas yang jauh tertinggal dari lawannya?
Salah satu sebabnya adalah tingkat pengenalan masyarakat yang masih rendah terhadap Sudirman Said dan Ida Fauziah. Bahkan, sebetulnya juga terhadap Taj Yasin sebagai calon wakil Ganjar. Dari seluruh pengampu suara publik, hanya Ganjar yang paling dikenal.
Figur Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, yang kembali mencalonkan diri untuk memperebutkan jabatan periode kedua dalam Pilkada 2018 ini, popularitasnya menjulang tinggi di atas pasangan calon lawan ataupun calon wakilnya. Sosok Ganjar dengan mudah dikenali oleh 78,4 persen responden survei dalam pertanyaan yang dilakukan dengan model simulasi gambar.
Sebaliknya, mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said hanya dikenali oleh 26 persen dan pasangannya, Ida Fauziah, dikenali oleh 12,4 persen. Calon wakil Ganjar, Taj Yasin, dikenali oleh 16,3 persen responden.
Popularitas Ganjar juga berperan besar dalam mengangkat popularitas pasangan. Pasangan ini menjadi duet yang pertama diingat (”top of mind”) ketika publik ditanya siapakah pasangan calon gubernur dan wakil gubernur dalam Pilkada Jateng. Ganjar-Yasin disebutkan oleh 66,1 persen, sedangkan Sudirman-Ida oleh 6 persen.
Kurangnya pengetahuan akan calon penantang juga membuat pemilih rahasia, yang ragu-ragu, tidak tahu, atau yang enggan menyebutkan nama pasangan ketika diajukan pertanyaan terbuka, akhirnya lebih memilih pasangan Ganjar-Yasin dalam simulasi pencoblosan. Sebanyak 69,6 persen pemilih rahasia, mencoblos pasangan tersebut dalam simulasi dan hanya 11,6 persen yang memilih Sudirman-Ida.
Rendahnya pengetahuan publik terhadap Sudirman Said juga tampak dari pendapat masyarakat terhadap citranya. Hanya 24,8 persen yang menjawab ”baik”, sedangkan yang tidak tahu mencapai 64,8 persen. Demikian juga terhadap Ida Fauziah, 73,8 persen responden tidak mengetahuinya. Masih banyaknya masyarakat yang tidak mengetahui pasangan Sudirman-Ida menjadi indikasi awal belum maksimalnya pemasaran yang dilakukan mereka kepada semua segmen sosial.
Rendahnya pengetahuan publik terhadap Sudirman Said memengaruhi citranya.
Relatif sepinya Pilkada Jateng dari polarisasi berdasarkan isu membuat popularitas calon penantang baru sulit terangkat. Wajar jika pengenalan terhadap pasangan Sudirman-Ida paling tinggi baru di wilayah Brebes yang memiliki akar sejarah dengan Sudirman, dan di ibu kota Jawa Tengah, Semarang, sebagai pusat kegiatan pilkada.
Sepinya pemberitaan ini tertangkap dari rendahnya kegiatan pilkada yang diikuti oleh warga Jateng lewat media sosial. Sebagian besar (67 persen) tidak pernah mengikuti pemberitaan tentang pilkada lewat Facebook, Twitter, Instagram, Whatsapp, dan lain-lain.
Upaya untuk menggenjot popularitas calon di arena yang luas, level provinsi, juga tak semudah melakukannya di tingkat kabupaten/kota. Jawa Tengah mencakup area dengan luas 32.801 km² dan memiliki 34 kabupaten/kota. Tanpa strategi media yang tepat, tak mudah menjangkau semua wilayah dalam waktu cepat untuk meningkatkan popularitas.
Waktu 3,5 bulan ke depan, menuju Pilkada 27 Juni, akan menentukan apakah popularitas sosok dan isu strategis berhasil diamplifikasi atau membiarkan panggung tetap tertutup dengan satu pemain tunggal. (Litbang Kompas)