Tirai Pemilah Deddy Mizwar dan Ridwan Kamil
Di balik ketatnya persaingan antara pasangan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi dan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul dalam Pilkada Jawa Barat, basis sosial ekonomi menjadi faktor yang tegas memilah para pendukung kedua pasangan.
Pemilih pasangan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi cenderung berlatar kelompok menengah-bawah. Sebaliknya, kalangan menengah atas menjadi basis pendukung Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul. Jika keterpilahan dukungan semacam ini tetap berlangsung, pasangan mana yang potensial memenangi persaingan?
Popularitas kedua pasangan, baik Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi maupun Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul, memang menjadi sisi lebih yang dimiliki kedua pasangan dibandingkan dengan kedua pasangan lain, TB Hasanuddin-Anton Charliyan dan Sudrajat-Ahmad Syaikhu. Hal tersebut terbukti dari hasil survei Kompas yang diselenggarakan 19 Februari-4 Maret 2018.
Dengan sosok yang dikenal oleh lebih dari separuh bagian pemilih, bahkan untuk calon gubernur Deddy Mizwar ataupun Ridwan Kamil sedikitnya dikenal dua pertiga bagian responden, tingkat elektabilitas kedua pasangan menjadi paling tinggi.
Kedua pasangan kini bersaing ketat. Dengan menggunakan model simulasi surat suara tertutup, hasil survei menunjukkan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi dipilih 42,8 persen, sementara Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul 39,9 persen. Di samping itu masih terdapat sekitar 6,5 persen responden yang tetap tidak memberikan pilihan. Hasil survei demikian menunjukkan, kedua pasangan kini dalam posisi yang sama kuat.
Ketatnya persaingan semakin jelas tergambarkan dalam segmen-segmen wilayah geo-politik Jawa Barat. Terdapat dua kelompok wilayah. Pertama, kelompok wilayah di mana salah satu pasangan mampu berkuasa secara signifikan, tetapi sekaligus menjadi wilayah kekalahan bagi pasangan lainnya.
Ketatnya persaingan tergambarkan dalam segmen geo-politik Jawa Barat.
Kedua, wilayah-wilayah yang belum dapat ditaklukkan kedua pasangan. Pada wilayah ”tidak bertuan” ini kedua pasangan tergolong sama kuat penguasaannya. Di tengah ketatnya persaingan, kunci kemenangan ada pada wilayah semacam ini. Artinya, siapa pun pasangan yang mampu memperluas ruang penguasaan pemilihnya di wilayah tidak tertaklukkan ini diprediksikan akan memenangi pertarungan Pilkada Jawa Barat (baca juga: Wilayah ”Tidak Bertuan” Penentu Kemenangan).
Peta persaingan berdimensi kondisi geo-politik di atas memberikan gambaran bagaimana dominasi dari pasangan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi dan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul yang berbeda di tiap-tiap wilayah Jabar. Namun, dimensi geo-politik semacam itu lebih banyak bertutur pada peta makropolitik yang terbangun. Persoalan yang juga tidak kurang penting dalam penguasaan pemilih dan potensi kemenangan menyangkut sisi mikropolitik.
Aspek mikro yang mengaitkan antara karakteristik pemilih dan perilaku politik mereka menjadi persoalan yang penting dikaji oleh tiap-tiap pasangan yang berkontestasi. Dengan memetakan karakteristik tiap-tiap pemilih dan kecenderungan pilihannya, peta kompetisi dan persaingan yang berlangsung pada kedua pasangan menjadi semakin lengkap.
Persoalannya kini, dengan perspektif semacam ini, karakteristik pemilih seperti apa yang melekat pada kedua pendukung pasangan tersebut? Apakah terdapat perbedaan ataupun kesamaan karakter di antara kedua pendukungnya?
Perbedaan pendukung
Penelusuran terhadap identitas pemilih menunjukkan, karakter para pemilih kedua pasangan tersebut berbeda. Pembeda yang paling signifikan terkait dengan basis sosial ekonomi pemilih. Dari sisi latar belakang sosial ekonomi, misalnya, pendukung pasangan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi cenderung berasal dari strata menengah ke bawah.
Pembeda yang paling signifikan terkait dengan basis sosial ekonomi pemilih.
Terbukti dari latar belakang pendidikan, pekerjaan, hingga penghasilannya. Dari sisi pendidikan, misalnya, para pemilih berkategori pendidikan rendah (maksimal SLTP) lebih banyak tertuju pada pasangan ini. Pada sisi yang sebaliknya, kalangan berpendidikan tinggi yang pernah duduk di bangku perguruan tinggi sebagian besar tertambat pada Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul.
Perbedaan signifikan juga terjadi pada bidang pekerjaan. Berdasarkan pengelompokan dari kalangan yang tidak bekerja formal, baik kalangan ibu rumah tangga, pekerja lepas ataupun buruh, bagian terbesar menjadi pendukung Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi.
Mereka yang bekerja sebagai wirausaha pun sebagian besar menjadi bagian dari kedua sosok tersebut. Namun, di kalangan pelajar/mahasiswa, PNS/BUMN hingga mereka yang terkelompokkan sebagai karyawan swasta, sebagian besar menjadi pemilih Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul.
Implikasi dari jenjang pendidikan dan sektor-sektor pekerjaan yang digeluti menempatkan kondisi ekonomi para pendukung Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi cenderung berasal dari kalangan menengah ke bawah. Dalam hasil survei ini, 48,1 persen pemilih yang tergolong dalam strata ekonomi rumah tangga ”bawah” menjadi bagian dari pendukung mereka. Di posisi yang berseberangan, mereka yang dikategorikan sebagai strata ekonomi rumah tangga ”atas”, dua pertiganya (67,9 persen), menjadi pendukung Ridwan Kamil- Uu Ruzhanul.
Ciri pembeda lain tampak dari karakter sosio-demografik pendukung. Kalangan pemilih bermukim di wilayah pedesaan lebih banyak tertambat pada Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi. Sebaliknya, bagi mereka yang bermukim di kawasan perkotaan cenderung menjadi pendukung Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul.
Perbedaan karakter sosial ekonomi para pendukung kedua pasangan tersebut punya implikasi yang berbeda. Di satu sisi, perbedaan pengelompokan yang cenderung bias kelas sosial ini menunjukkan kedua pasangan memiliki diferensiasi elektoral yang tegas.
Ceruk pemilih yang berbeda, yang menopang keterpilihan kedua pasangan tersebut, cenderung sejalan dengan citra diri yang terbentuk pada kedua pasangan. Pasangan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi, misalnya, sejauh ini lebih banyak direpresentasikan sebagai kelompok sosial menengah-bawah. Sebaliknya, Ridwan Kamil cenderung direpresentasikan sebagai kalangan terdidik perkotaan.
Di sisi lain, pembedaan karakter pendukung berimplikasi pada besaran ruang penguasaan pemilih yang tersedia. Apabila kedua pasangan tetap memosisikan dirinya sebagaimana karakter pendukung yang terbentuk saat ini, potensi peningkatan dukungan masing-masing pasangan hanya terfokus pada ceruk yang sama.
Artinya, pasangan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi potensial mendapatkan pendukung dari kalangan yang cenderung berpendidikan menengah bawah, bermukim di pedesaan, dan perempuan. Begitu juga, pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul akan potensial menambah dukungan dari mereka yang berpendidikan tinggi, kalangan sosial ekonomi menengah atas, dan kalangan perkotaan.
Jika yang berlangsung berdasar pada skenario semacam ini, potensi kemenangan hanya akan berpihak pada pasangan calon yang menguasai bagian terbesar dari karakteristik sosio-ekonomi ataupun demografis pemilih di Jawa Barat.
Potensi kemenangan berpihak pada pasangan calon yang menguasai bagian terbesar karakteristik sosio-ekonomi ataupun demografis.
Becermin pada karakteristik populasi pemilih Jawa Barat yang terepresentasikan melalui sampel survei ini, dari sisi pendidikan, sebagian besar pemilih masih tergolong pendidikan menengah ke bawah. Tamatan SLTP tercatat sebesar 56 persen. Sementara tamatan SLTA sebanyak 32 persen dan pendidikan tinggi sebesar 11 persen.
Demikian pula jika dikaitkan dengan kondisi ekonomi para pemilih, 37 persen tergolong kelompok bawah dan hampir 60 persen kelompok menengah ke bawah. Hanya sekitar 3 persen kelompok atas.
Artinya, ceruk pemilih Pilkada Jabar dari sisi jumlah cenderung lebih dekat dengan basis pemilih pasangan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi dibandingkan dengan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul. Implikasinya, bertahan pada ceruk yang sama bukan pilihan yang paling baik bagi pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul.
Berstrategi penetrasi pada kelompok sosial ekonomi menengah ke atas diperkirakan hanya potensial menambah suara dari kalangan yang belum menyatakan pilihannya. Itulah mengapa pilihan berpenetrasi pada kalangan kelas sosial menengah ke bawah menjadi lebih potensial.
Adapun bagi pasangan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi, memperkuat loyalitas pemilih kalangan menengah ke bawah menjadi kunci keberhasilan. Akan tetapi, persoalan loyalitas ini pula yang potensial menjadi titik kelemahan. Pasalnya, basis pemilih menengah bawah yang mereka kuasai masih memungkinkan berubah, terutama di saat mesin partai-partai politik berbasis kader semacam PDI-P bekerja.
Perubahan pun dapat terjadi sejalan dengan ancaman penetrasi dari kubu Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul. Tidak kurang tiga bulan ke depan, hingga pemilihan suara dilakukan, semua kondisi masih tergolong serba relatif, memungkinan perubahan konfigurasi penguasaan suara. (BESTIAN NAINGGOLAN/LITBANG KOMPAS).