Mencari Pemimpin bagi Pemajuan Ekonomi
Nama Palangkaraya menjadi pembicaraan luas di Indonesia setelah Presiden Joko Widodo melontarkan gagasan perpindahan ibu kota dari Jakarta ke Palangkaraya di Kalimantan Tengah tahun lalu. Wacana serupa juga pernah dilontarkan Susilo Bambang Yudhoyono saat menjabat presiden.
Namun jika merunut sejarah, gagasan awal pemindahan ibu kota ke Palangkaraya berasal dari Presiden Soekarno. Selama dua tahun (1957-1959), kota yang dijuluki ”kota cantik” ini dibangun melalui rancangan pikiran Soekarno, mulai dari bundaran besar, taman kota, tiang pancang, istana, hingga bundaran kecil.
Dalam buku Sukarno dan Desain Rencana Ibu Kota RI di Palangkaraya, karya Wijanarka, disebutkan pada 17 Juli 1957 Presiden Soekarno meresmikan pemancangan tiang pertama pembangunan Kota Palangkaraya. Saat itu, peresmian dihadiri Duta Besar Rusia DA Zukov, Duta Besar Amerika Serikat Hugh C Jr, menteri-menteri, dan pegawai istana. Kota baru itu kemudian diberi nama Palangkaraya.
Tiang simbol pembangunan Palangkaraya itu kini diabadikan menjadi monumen bernama Tugu Soekarno. Monumen itu terletak di jantung Kota Palangkaraya tepatnya di Jalan S Parman depan kantor DPRD Provinsi Kalimantan Tengah.
Tak jauh dari situ terdapat Istana Isen Mulang dan bundaran besar yang juga didesain oleh Soekarno. Tak heran jika sosok Presiden Soekarno cukup lekat di hati warga Palangkaraya. Ikatan batin yang kuat antara Kota Palangkaraya dan Soekarno itu tampaknya juga mewarnai pilihan politik warganya.
Kota yang berusia 60 tahun itu menjadi salah satu basis kekuatan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di Kalimantan Tengah. Hal itu tecermin dari perolehan kursi PDI-P yang mendominasi parlemen. Pada Pemilu 2014, PDI-P meraih tujuh kursi di DPRD Kota Palangkaraya, meningkat tajam dibandingkan perolehan kursi pada Pemilu 2009 yang hanya empat kursi.
Dominasi PDI-P itu, sayangnya, tidak berbanding lurus dengan kemenangan di pemilihan kepala daerah. PDI-P yang meraih kemenangan di dua kali pemilu justru gagal dalam memperebutkan kursi wali kota. Pada Pilkada 2008, pasangan HM Riban Satia-Maryono yang diusung koalisi empat partai (PAN, PKS, PPP, PBB) berhasil mengalahkan pasangan Saily Mochtar-Tagah Pahoe yang diusung PDI-P.
Sementara pada Pilkada 2013, pasangan Tuty Dau-Maryono yang diusung PDI-P dan PDS juga kalah tipis dari petahana pasangan HM Riban Satia-Mofit Saptono yang diusung oleh koalisi Partai Golkar dan enam partai lain.
Kekalahan tokoh yang diusung PDI-P dalam dua kali pilkada itu menunjukkan bahwa dominasi partai di Kota Palangkaraya tidak menjamin tokoh yang diusungnya menang di pemilihan kepala daerah. Selain mesin politik, faktor ketokohan dari sosok yang diusung juga ikut menentukan kemenangan di pilkada.
Multietnis
Secara demografis, penduduk Kota Palangkaraya sangat heterogen, baik etnik, budaya, maupun agama. Penduduk asli Kota Palangkaraya adalah suku Dayak Ngaju. Namun, saat ini penduduk kota ini diisi oleh para pendatang dari beragam suku, seperti Banjar, Jawa, Sunda, Madura, Batak, dan Bali. Dari sisi agama pun, meskipun didominiasi penganut agama Islam, terdapat pula Kristen Protestan, Katolik, Hindu Kaharingan, dan Buddha.
Aspek demografis itu menjadi pertimbangan partai politik dalam mengusung tokoh di Pilkada Kota Palangkaraya. Pengamat budaya dari Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri (STAHN) Palangkaraya, Ervantia Restulita, menjelaskan, representasi etnis dan agama tecermin dalam pasangan calon (paslon) di Pilkada Palangkaraya.
Pada Pilkada 2013, para calon berasal dari beragam etnik: Riban Satia yang beretnis Dayak berpasangan dengan Mofit Saptono Subagio dari suku Jawa. Tuty Dau-Maryono merepresentasikan Dayak dan Jawa, sedangkan Sudadi-Ida Bagus Suprayatna dianggap mewakili Jawa dan Bali. Tidak jauh berbeda dengan pilkada sebelumnya, Pilkada 2018 ini juga menampilkan pasangan calon yang mewakili berbagai komposisi etnis.
Pilkada Palangka Raya 2018 ini diikuti oleh empat paslon, tiga dari jalur parpol dan satu dari jalur perseorangan. Tiga paslon yang lolos dari jalur parpol adalah Fairid Naparin-Umi Mastikah yang diusung Golkar, Demokrat, PAN, dan PPP; Tuty Dau-Rahmadi HN yang diusung Nasdem, Gerindra, dan PKB; serta Aries Marcorius Narang-Akhmad Fawzy Bachsin yang merupakan jagoan PDI-P. Adapun pasangan Rusliansyah-Rogas Usup menjadi satu-satunya paslon yang lolos dari jalur perseorangan.
Jika ditelisik lebih jauh, keempat paslon ini didominasi oleh kader Partai Golkar dan PDI-P. Fairid Naparin dan Rusliansyah adalah kader Partai Golkar. Sementara Tuty Dau dan Aries Marcorius Narang sama-sama merupakan kader PDI-P.
Rusliansyah tercatat pernah memegang jabatan sebagai Ketua DPD II Partai Golkar Palangkaraya yang mundur karena tetap maju dari jalur perseorangan setelah partainya mendukung sosok lain. Selanjutnya, Fairid Naparin memegang jabatan sebagai Bendahara DPD I Partai Golkar Kalteng. Fairid Naparin juga merupakan putra dari Abdul Razak, tokoh Golkar Kalteng yang pernah menjabat Ketua Partai Golkar Provinsi Kalteng selama dua periode.
Sementara itu, baik Tuty Dau maupun Aries Marcorius Narang sama-sama merupakan kader penting PDI-P. Selain menjadi anggota DPRD Provinsi Kalteng 2009-2014, Tuty Dau juga pernah diusung PDI-P pada Pilkada Palangkaraya 2013. Saat itu ia hanya kalah tipis dari pasangan terpilih Riban Satia-Mofit Saptono Subagio. Namun dalam pilkada tahun ini, Tuty Dau berpindah haluan ke partai lain karena PDI-P tidak mengusungnya.
Adapun Aries Marcorius Narang sampai sekarang masih tercatat sebagai pengurus DPD PDI-P Kalteng. Aries juga dikenal sebagai putra sulung tokoh PDI-P Kalteng, Renhard Atu Narang yang menjabat Ketua DPD PDI-P sekaligus Ketua DPRD Kalimantan Tengah.
Dari latar belakang tersebut, Pilkada Palangkaraya kali ini menjadi ajang pertarungan antara kader dan mantan kader terbaik partai Golkar dan PDI-P. Calon lainnya, seperti calon wakil wali kota Umi Mastikah tercatat sebagai Ketua DPC Demokrat Kota Palangkaraya.
Sementar calon wakil wali kota Akhmad Fawzi Bachsin pernah terpilih menjadi anggota DPD 2009-2014. Adapun calon wakil wali kota lainnya, yaitu Rahmadi HN, berasal dari kalangan birokrat sebagai asisten II Sekretariat Daerah Pemerintah Kota Palangkaraya.
Peta dukungan
Pilkada Palangkaraya 2018 diperkirakan akan berlangsung dinamis. Tiap paslon mempunyai basis massa dan jaringan untuk meraih suara. Di samping mesin politik partai, jaringan institusi berbasis etnik dan agama serta popularitas individu turut memainkan peran.
Pasangan Fairid Naparin-Umi Mastika memiliki kekuatan jaringan yang cukup baik di provinsi Kalteng. Meski terhitung politisi muda, Fairid Naparin mempunyai dua modal politik, yaitu sebagai Ketua DPD KNPI Kalimantan Tengah dan putra Abdul Razak, tokoh kunci di Partai Golkar Kalteng. Razak adalah Ketua DPD Golkar Kalteng dua kali berturut-turut dan dua kali pula menjadi Wakil Ketua DPRD Kalteng.
Kekuatan lainnya yang mendukung pasangan ini berdasarkan representasi pasangan Muslim dan Dayak-Jawa. Konsentrasi basis massa pendukungnya akan berpusat kepada pemilih Muslim yang mayoritas di Kota Palangkaraya.
Tuty Dau-Rahmadi HN juga memiliki modal politik yang tidak sedikit. Dengan pengalaman mengikuti Pilkada Kota Palangkaraya tahun 2013 dan memperoleh suara terbanyak kedua setelah Wali Kota Riban Satia, Tuty Dau telah memiliki pendukung fanatik di kalangan akar rumput. Adapun Rahmadi HN yang beragama Islam, dari suku Banjar serta berlatar belakang birokrat diharapkan mampu mendulang suara dari kelompok tersebut.
Sebagai paslon yang resmi diusung PDI-P, Aries M Narang-Akhmad Fauzi Bachsin memiliki kekuatan mesin partai yang solid. Mereka bisa mendulang suara PDI-P yang memenangi dua kali pemilu legislatif. Keunggulan lain paslon ini adalah keduanya memiliki jaringan luas di Kota Palangkaraya, termasuk Kalimantan Tengah. Bahkan, Akhmad Fawzy Bachsin bisa menggunakan jaringan Nahdlatul Ulama di kota ini karena ia merupakan Ketua Pimpinan Wilayah Nahdatul Ulama (PWNU) Kalteng.
Adapun pasangan Rusliansyah-Rogas Usup yang merupakan pasangan Banjar-Dayak memiliki kedekatan dengan Riban Satia, Wali Kota Palangkaraya 2008-2018. Di samping itu, keduanya bisa memperoleh dukungan gabungan Muslim-Kristen dan Banjar-Dayak.
”Sekarang ini tinggal bagaimana para calon itu mampu meyakinkan pemilih dan meraup suara dari kantong-kantong suara yang dimiliki,” demikian Ervantia membaca peta kekuatan dan persaingan di Palangkaraya.
Menariknya, jika ditelusuri dari pilkada sebelumnya, dukungan partai di pemilu belum menjamin kemenangan dalam pemilihan kepala daerah di Kota Palangkaraya. Kombinasi latar belakang etnis, agama, dan ketokohan masih menjadi pertimbangan utama warga Palangkaraya dalam memilih pemimpin.
Pekerjaan rumah
Sejak awal Kota Palangkaraya didesain oleh Presiden Soekarno menjadi pusat pemerintahan dan bukan sebagai pusat perekonomian. Kondisi itu membuat wilayah Palangkaraya tidak banyak memiliki kawasan industri dan pusat perbelanjaan. Pusat keramaian hanya terlihat di sekitar Jalan Imam Bonjol, Jalan Tjilik Riwut, dan Jalan A Yani. Palangkarraya boleh dikatakan lebih merupakan kota jasa dan kota pendidikan.
Dibanding kota lain di Kalimantan seperti Banjarmasin, Balikpapan, dan Samarinda, Kota Palangkaraya juga relatif sepi. Kota dengan luas 2.678,51 kilometer persegi itu hanya memiliki tingkat kepadatan penduduk 94,12 jiwa per kilometer persegi pada 2014. Bandingkan dengan Kota Banjarmasin yang memiliki tingkat kepadatan penduduk hingga 6.766 jiwa per kilometer persegi di tahun yang sama.
Sebagian penduduk Palangkaraya bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS), pegawai swasta, buruh harian, dan pekerja tambang. Namun, mayoritas penduduk lokal Palangkaraya masih menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian dan perikanan.
Sungai Kahayan yang biasa disebut ”Sungai Biaju Besar” atau ”Sungai Dayak Besar” itu menjadi urat nadi perekonomian. Sebagian warga Palangkaraya mendirikan rumah terapung di pinggir Sungai Kahayan dan membuat keramba untuk membudidayakan ikan sungai. Selain itu, Sungai Kahayan juga menjadi tempat wisata untuk masyarakat setempat.
Kota Palangkaraya selama ini masih mengandalkan 14 kabupaten/kota di Provinsi Kalteng sebagai penyangga ekonomi. Wilayah tersebut menyediakan lumbung pertanian, perkebunan, hingga tambang. Wilayah Kapuas, Barito Selatan, dan Pulang Pisau menjadi lumbung padi bagi Palangkaraya.
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, ekonomi Kota Palangkaraya terus tumbuh. Namun, pertumbuhan ekonomi tersebut bukanlah yang tertinggi di Kalimantan Tengah dan hanya menempati urutan kelima dari 14 kota/kabupaten. Pertumbuhan ekonomi tertinggi justru dimiliki Kabupaten Pulang Pisau, disusul Kotawaringin Timur, Kotawaringin Barat, dan Kapuas.
Basis perekonomian di Kota Palangkaraya bertumpu pada belanja pemerintah, perdagangan, dan jasa. Dari sisi produk domestik regional bruto (PDRB), kontributor terbesar masih didominasi kategori administrasi pemerintahan, pertahanan, dan jaminan sosial. Disusul perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor, serta industri pengolahan.
Sektor pertanian dan pertambangan tampaknya kurang memiliki peran di kota ini. Sumber daya pertambangan Palangkaraya relatif terbatas. Sementara itu, peran sektor pertanian semakin berkurang dengan pertumbuhan yang relatif melambat.
Cepatnya pertumbuhan sektor perdagangan dan jasa yang tidak dibarengi oleh pertumbuhan sektor pertanian menjadikan sektor terakhir ini tertinggal di belakang.
Industri pengolahan juga menunjukkan kinerja yang terus berkurang. Melambatnya sektor industri ini terkait dengan kurang berkembangnya usaha, terutama industri rumah tangga.
Meski Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kota Palangkaraya masih teratas di Kalimantan Tengah, persoalan kemiskinan masih membelit sebagian penduduknya. Tercatat angka kemiskinan Palangkaraya pada 2016 sebesar 3,75 persen atau 11.074 jiwa. Meski angkanya terus menurun, proporsinya masih di atas angka Kabupaten Sukamara yang baru terbentuk pasca-Reformasi.
Beragam persoalan lain, seperti perbaikan infrastruktur jalan, akses transportasi, dan jaminan pendidikan, juga menanti untuk diselesaikan. Dengan kondisi demikian, siapa pun kepala daerah yang nantinya terpilih di Kota Palangkaraya mempunyai tanggung jawab menyelesaikan pekerjaan rumah itu. (ANTONIUS PURWANTO/LITBANG KOMPAS)