Perempuan Semakin Rentan Terpinggirkan
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional Christine Lagarde dan Perdana Menteri Norwegia Erna Solberg dalam tulisan bersama di laman Forum Ekonomi Dunia (WEF) awal tahun ini menyebutkan, tahun 2018 harus menjadi tahun bagi perempuan untuk maju dan berdaya. Pernyataan ini sangat relevan untuk konteks keindonesiaan saat ini.
Disebut relevan oleh karena, sampai saat ini, di samping kekerasan masih membayangi perempuan di Tanah Air, kesempatan perempuan Indonesia terjun ke dunia kerja masih terbatas. Kajian terhadap data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, dalam kurun dua dekade terakhir, nasib perempuan di ranah kerja formal masih belum banyak berubah.
Nasib perempuan di ranah kerja formal masih belum banyak berubah.
Di tengah arus dunia yang saat ini digerakkan Revolusi Industri gelombang keempat, di mana teknologi informasi dan digital menjadi panglima, pasar tenaga kerja turut mengalami penyesuaian. Pasar tenaga kerja sekarang dan ke depannya akan banyak terpangkas oleh pemakaian teknologi digital dan kecerdasan buatan. Dalam konteks transformasi ini, posisi perempuan pun menjadi semakin rentan tersingkirkan dalam pasar tenaga kerja.
Data BPS menunjukkan, jumlah angkatan kerja secara nominal terus bertambah seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Namun, porsi penduduk yang bekerja per 2017 sama dengan porsi ketika tahun 1998. Kurun waktu selama dua dekade (20 tahun), dengan pasang surut kondisi ekonomi yang terjadi, kondisi ketenagakerjaan ternyata tidak banyak berubah.
Jumlah perempuan yang bekerja dalam satu dekade terakhir bertambah setelah satu dekade sebelumnya menurun. Selama periode 2008-2017, persentase perempuan yang bekerja dibandingkan total penduduk bekerja meningkat sebanyak 0,55 persen. Sementara pada satu dekade sebelumnya (1998-2007), persentase perempuan yang bekerja justru menurun (-1,71 persen).
Faktor pendidikan menjadi penentu kemudahan seseorang mendapat pekerjaan dan memenangi persaingan di dunia kerja. Semakin tinggi tingkat pendidikan, pekerjaan yang diperoleh biasanya juga semakin baik dan penghasilan yang diperoleh bisa lebih tinggi.
Perempuan yang mengenyam pendidikan tinggi bertambah. Hal ini tecermin pada komposisi perempuan lulusan universitas yang masuk dalam bursa kerja. Sampai dengan tahun 2008, jumlah perempuan lulusan universitas yang bekerja 1,6 juta orang. Angka ini porsinya masih kurang dari 5 persen dari total perempuan bekerja. Sepuluh tahun kemudian, jumlahnya bertambah signifikan menjadi 5,2 juta atau 11,2 persen.
Namun, jumlah perempuan yang menganggur, terutama dari kalangan yang mengenyam pendidikan tinggi (universitas), juga meningkat. Jika pada dekade 1998-2007 jumlah perempuan berpendidikan tinggi yang menganggur meningkat hanya 1,26 persen, pada dekade 2008-2017 jumlahnya meningkat dua kali lipat menjadi 3,74 persen.
Jumlah perempuan menganggur dari kalangan pendidikan tinggi (universitas) meningkat.
Selama 1998-2007 perempuan lulusan universitas yang menganggur berkisar 5 persen-7 persen. Pada 2008-2017 jumlahnya meningkat menjadi 7 persen-11 persen. Per Agustus 2017, jumlah perempuan lulusan universitas yang masih menganggur berjumlah 297.017 orang.
Berdagang dan bertani
Perempuan yang masuk ke bursa kerja mayoritas (85 persen) berpendidikan SMA/sederajat ke bawah. Dengan tingkat pendidikan seperti ini, lapangan pekerjaan yang lebih banyak digeluti perempuan adalah di sektor perdagangan dan pertanian.
Pola lapangan pekerjaan yang dimasuki perempuan ini sedikit berubah dibandingkan satu dekade lalu di mana sektor pertanian masih menjadi lapangan pekerjaan utama (di atas 40 persen) bagi perempuan.
Seiring dengan transformasi pasar tenaga kerja karena disrupsi teknologi, pekerja perempuan di sektor pertanian berkurang dan yang masuk ke sektor tersier meningkat pesat. Jumlah perempuan yang bekerja di sektor pertanian menurun drastis sebesar -12,21 persen selama periode 2008-2017.
Sampai dengan 2008, perempuan yang bekerja di sektor pertanian masih di atas 15 juta orang. Namun pada 2017 jumlahnya menurun menjadi tingal 12,8 juta orang.
Begitu pula di pertambangan dan penggalian di mana pekerja perempuan berkurang 0,09 persen atau sebanyak 17.000 orang dalam sepuluh tahun. Sebaliknya, jumlah perempuan yang bekerja di sektor perdagangan dan jasa pada periode yang sama naik masing-masing 4,1 persen dan 6,38 persen.
Terdapat 26,2 juta perempuan yang bekerja di sektor tersier. Sementara di sektor industri jumlah pekerja perempuan cenderung tetap dengan kenaikan hanya sekitar 1 persen hingga 1,3 persen.
Peran Negara
Rendahnya pertumbuhan ekonomi berkontribusi terhadap rendahnya penyerapan tenaga kerja. Hal ini menyebabkan persaingan antara perempuan dan laki-laki dalam mendapatkan pekerjaan menjadi semakin ketat.
Di era disrupsi teknologi, perlindungan dan pemberdayaan perempuan harus ditingkatkan agar perempuan bisa bertahan di pasar tenaga kerja. Hal ini oleh karena perempuan cenderung lambat dalam beradaptasi dengan teknologi, apalagi untuk berkarir di bidang tersebut.
Perempuan cenderung lambat dalam beradaptasi dengan teknologi
Di dunia barat saja, hasil penelitian PricewaterhouseCooper menyebutkan hanya tiga persen mahasiswa perempuan yang memilih karir di bidang teknologi sebagai pilihan pertamanya (The Guardian, 2/5/2017). Persentase terbesar merasa tidak punya cukup informasi tentang karir teknologi seperti apa yang bisa dilakukan. Juga ada anggapan sektor teknologi tidak cukup kreatif untuk digeluti perempuan.
Persoalan ini bisa jadi juga terjadi di tanah air. Perlu antisipasi dari pemerintah agar kesempatan bekerja formal tersedia seluas-luasnya bagi perempuan dan penambahan jumlah perempuan yang menganggur bisa diredam.
Pemberdayaan perempuan harus menjadi agenda oleh karena memberi kesempatan kepada perempuan untuk berkompetisi dan sukses bisa membuat perubahan secara sosial dan ekonomi. Di tingkatan yang paling rendah, perempuan yang bekerja bisa mengangkat kesejahteraan dirinya dan keluarga.
Menurut WEF, meningkatnya partisipasi perempuan dalam dunia kerja bisa menaikkan Produk Domestik Bruto atau GDP, seperti misalnya di Jepang sebesar 9 persen dan di India sebesar 27 persen. Lebih lanjut, penelitian IMF menyebutkan banyak manfaat bagi kondisi makroekonomi suatu negara jika berhasil mengurangi ketimpangan gender di dunia kerja dan juga pendidikan.
Mengupayakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan akan bermanfaat untuk mengatasi kesenjangan pendapatan antara keduanya yang pada akhirnya bisa menggerakkan perekonomian secara berkelanjutan.
Masih banyak hambatan yang dialami perempuan agar bisa berdaya dan setara dengan laki-laki. Di banyak negara masih banyak suami yang melarang istrinya bekerja atau jika pun bekerja rentan mengalami diskriminasi. Selain hambatan-hambatan yang bersifat legal, rintangan yang dihadapi perempuan juga datang dari tekanan sosial dalam menyeimbangkan kehidupan keluarga dan pekerjaan.
Ada juga keterbatasan terhadap akses keuangan (perbankan), pendidikan, dan politik. Membuat perempuan bisa tetap aktif di dunia kerja formal dan keluarga secara bersamaan adalah salah satu kunci pemberdayaan. Harus ada langkah konkret yang dilakukan banyak pihak, termasuk pemerintah.
Langkah sederhana yang paling mungkin dilakukan, seperti yang sudah dilakukan banyak negara, misalnya, adalah menyediakan tempat pelayanan anak (childcare) di tempat kerja yang layak dan skema cuti bagi laki-laki dan perempuan (parental leave) yang memungkinkan keduanya tetap bekerja sambil mengasuh anaknya pada saat baru lahir.
Laporan Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada 2014 menyebutkan sudah ada 79 negara yang menerapkan cuti bagi laki-laki/ayah (paternity leave) untuk menemani dan membantu istrinya yang baru melahirkan. Lama cuti ini bervariasi, mulai dari satu hari (Tunisia) hingga 90 hari (Islandia). Di Asia, menurut laporan ILO tersebut hanya empat negara yang sudah menerapkan paternity leave yaitu Banglades, Kamboja, Filipina, dan Singapura.
Kebijakan cuti bagi kedua orang tua mungkin memiliki konsekuensi biaya, tetapi harus dipandang sebagai investasi karena perempuan adalah penyumbang besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Kebijakan yang menyetarakan antara laki-laki dan perempuan ini pun akan mengubah peran laki-laki dalam pengasuhan anak. Pada saat yang bersamaan juga akan mengubah peran perempuan di dunia kerja karena tersedia kesempatan menjadi pemimpin.
Satu dekade ke depan, tentu kita berharap jumlah atau porsi perempuan yang bekerja bertambah agar negara ini kian maju dan tidak jalan di tempat. Jangan sampai jumlah perempuan berpendidikan tinggi yang menganggur yang bertambah. (GIANIE/LITBANG KOMPAS)