Jejak Kolonial di Balik Pesta Demokrasi
”Elite politik di NTT masih terpenjara dalam model politik warisan zaman kolonial.”
Kalimat tersebut untuk menggambarkan dinamika politik menjelang Pemilihan Gubernur NTT 2018 dan karakter politik masyarakat NTT dalam pemimpin mereka selama ini.
Mikhael Rajamuda Bataona, pengajar komunikasi politik Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang, mengirimkan pesan ini kepada Kompas melalui layanan aplikasi Whatsapp (WA) pada akhir Januari lalu.
Komunikasi lewat WA ini terpaksa dilakukan karena ketika Kompas berada di Kupang dalam rangka liputan lapangan tentang Pilgub NTT, Mikhael sedang berada di Lembata untuk kepentingan penelitian.
Paparan Mikhael tentang karakter elite politik yang masih terpenjara model politik warisan kolonial merefleksikan kultur politik di NTT yang selalu menekankan identitas sosial sebagai preferensi memilih pemimpin.
Identitas tersebut mengacu pada sentimen identitas sosial primordial, baik agama, etnis, maupun wilayah, yang ketiganya saling berkelindan. Pertautan ketiga dimensi primordial inilah yang kerap dibingkai dalam kontestasi politik lokal sebagai basis untuk memobilisasi dukungan rakyat.
Kontestasi berbasis identitas sosial ini memiliki akar yang panjang dalam kehidupan sosial masyarakat NTT. Akar ini bisa ditelusuri hingga zaman datangnya bangsa Portugis dan Belanda ke wilayah ini pada abad XVI dan XVII.
Etnosentrisme daerah
Pulau Timor dan Pulau Flores merupakan dua pulau utama yang paling menonjol ketimbang Pulau Sumba atau Alor. Pulau Timor, khususnya Timor bagian barat yang meliputi Kabupaten Malaka, Belu, Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, Kupang, dan Kota Kupang, memiliki luas 15.850 kilometer persegi. Wilayah Timor ditambah dengan pulau-pulau yang berkebudayaan rumpun Timor seperti Rote dan Sabu Raijua.
Sementara Pulau Flores yang meliputi Kabupaten Manggarai Barat, Manggarai, Manggarai Timur, Ngada, Nagekeo, Ende, Sikka, Flores Timur, dan Lembata memiliki luas 14.300 kilometer persegi. Di ujung barat Pulau Flores ada gugusan Pulau Komodo dan Rinca, sementara di ujung timur ada gugusan Pulau Lembata, Adonara, dan Solor. Flores sendiri berasal dari bahasa Portugis, yaitu cabo de flores atau tanjung bunga. Nama asli Pulau Flores adalah Nusa Nipa (Pulau Ular).
Etnisitas di Timor terbentuk dari suku atau klan yang mengelompok menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Beberapa kerajaan di bagian Barat antara lain Helong (Kota Kupang), Amarasi, Amabi, Amanuban, Amanatun, Amfo’an, Molo, dan Fatuleu. Sementara suku bangsa di Flores merupakan percampuran di antara Melayu, Melanesia, dan Portugis. Terdapat delapan suku besar di Flores, yaitu Manggarai, Riung, Ngada, Nage-Keo, Ende, Lio, Sikka, dan Larantuka.
Pulau Timor sudah rutin disinggahi para pedagang Portugis sejak 1515. Saat itu, Portugis tidak memiliki pangkalan permanen di Pulau Timor lantaran para raja di sini melarang pembangunan pangkalan asing secara permanen di wilayah kekuasaan mereka.
Ceritra tentang Pulau Timor sudah termahsyur di kalangan pedagang dan pelaut jauh sebelum kedatangan Portugis. Catatan-catatan tentang Timor yang dibuat abad XIII-XVI secara eksplisit menunjukkan posisi Pulau Timor sebagai salah satu bandar perdagangan di kawasan timur karena merupakan penghasil kayu cendana putih (santalum album) dan sarang lebah sebagai bahan pembuat lilin.
Posisi inilah yang membuat Timor menjadi wilayah rebutan antara Portugis dan Belanda, yang dilandasi oleh motif keinginan untuk menguasai jalur perdagangan rempah di kawasan timur Nusantara. Dalam perkembangannya, kedua negara ini menjadikan Timor dan Flores sebagai basis kegiatan penyebaran agama di Hindia Timur.
Portugis vs Belanda
Nusa Tenggara Timur adalah nama sebuah kawasan yang terdiri dari Pulau Timor, Pulau Flores, Pulau Sumba, Pulau Alor, dan gugusan pulau yang berada di sekitar pulau-pulau tersebut. Sejarah mencatat, konfigurasi sosial politik di kawasan ini mendapat pengaruh yang cukup kental dari bangsa Portugis dan Belanda sejak abad XVI.
Pengaruh yang masih kentara hingga sekarang adalah terbentuknya segregasi wilayah berdasarkan agama, yaitu Portugis meninggalkan pengaruh agama Katolik, sementara Belanda meninggalkan pengaruh agama Protestan.
Portugis merupakan penguasa atas wilayah Pulau Solor, Pulau Flores, Pulau Timor bagian utara (Timor Tengah Utara dan Belu) dan Timor Timur (sekarang Timor Leste). Di wilayah-wilayah ini mayoritas penduduk sudah menerima agama Katolik yang dibawa oleh misionaris Portugis sejak abad XVI dan XVII.
Sementara Belanda menguasai wilayah Pulau Timor bagian barat (termasuk Pulau Sabu dan Pulau Rote), Pulau Sumba, dan Pulau Alor. Mayoritas penduduk wilayah ini menerima agama Protestan yang dibawa oleh Zending Belanda sejak abad XVII.
Pada 1520, Portugis memulai kontak dagang dengan penduduk lokal di Pulau Solor, sebuah pulau kecil di ujung timur Flores. Pada 1566, Antonio da Cruz mendirikan sebuah benteng di Solor bagian timur yang kemudian dikenal dengan nama Benteng Lohayong. Selain berfungsi sebagai tempat perlindungan orang-orang Portugis dari serangan masyarakat lokal, benteng ini juga dijadikan sebagai pusat kontrol dagang di Solor.
Kehadiran Portugis di Solor hanya bertahan hingga 1613 karena pada tahun ini sebuah armada Belanda menyerang Pulau Solor dan berhasil memukul mundur pasukan Portugis dari Benteng Lohayong. Pada tahun itu juga Portugis memindahkan pusat kegiatan mereka ke Larantuka yang terletak di daratan Pulau Flores. Dari Larantuka inilah Portugis mengatur strategi perang melawan Belanda dan strategi mengontrol jalur perdagangan.
Sistem pemerintahan
Pada 1909, Belanda membentuk Residentia Timor En Onderhoorigen (Residensi Timor dan Pulau-pulau Taklukannya) dengan pusat pemerintahan di Kupang. Pulau-pulau taklukannya adalah Pulau Sumba, Rote, Sabu, Flores, Alor-Pantar, termasuk distrik Pulau Sumbawa di Provinsi NTB. Wilayah ini kemudian dikenal sebagai Residen Timor yang membawahkan 3 afdeling, yaitu Afdeling Timor, Afdeling Flores, dan Afdeling Sumba dan Sumbawa.
Untuk menata pemerintahan lokal yang berada di bawah 3 afdeeling tersebut, hal paling mendasar yang dilakukan Belanda untuk mengategorikan dasar persamaan identitas sosial adalah bahasa dan adat-istiadat.
”Di Flores ini Belanda mengelompokkan masyarakatnya ke dalam beberapa kelompok etnis hanya dari perbedaan penyebutan kata saya dalam tiap-tiap bahasa daerah. Misalnya, orang Sikka, Lio, Ende, Nage, dan Keo yang mempunyai bahasanya sendiri-sendiri untuk menyebut saya. Belanda lalu mengelompokkan orang-orang ini ke dalam suku klan tersendiri di Flores,” kata pengamat sosial budaya Nagekeo Cyrilus Bau Engo (60) di Boawae, Kabupaten Nagekeo.
Pembentukan pemerintahan lokal berhasil menata pengelolaan organisasi pemerintahan secara formal di Residen Timor. Namun, dampak yang muncul kemudian adalah menguatnya perasaan kesukuan yang selama ini sudah ada berdasarkan wilayah pemerintahan yang formal ini. Dengan kata lain, pemerintahan lokal yang dibentuk Belanda di bawah Residen Timor merupakan pengelompokan formal semua etnis yang terdapat di Timor, Sumba, Flores, dan Alor.
Identitas sosial
Keberhasilan Portugis merebut Malaka pada 1511 berpengaruh terhadap wilayah-wilayah Nusantara bagian timur, termasuk Timor dan Flores. Portugis sudah menjejakkan kunjungan mereka ke Timor sejak 1515. Lima tahun kemudian, para pedagang Portugis mulai menjadikan Solor sebagai basis kegiatan dagang di Hindia Timur.
Ketika Portugis membuka kontak perdagangan di Solor, mereka juga menunjukkan kebiasaan mereka dalam beragama, terutama melakukan ritual dan doa secara Katolik. Kebiasaan ini lambat laun diserap oleh masyarakat lokal yang membuat mereka tertarik untuk belajar agama baru ini. Pada 1561, Uskup Malaka mengirim secara resmi Jorge de Santa Lusia OP dan tiga uskup berordo Dominikan untuk melayani pedagang-pedagang Portugis di Solor sekaligus mewartakan Injil kepada penduduk lokal.
Portugis dan Belanda mewariskan NTT sebagai wilayah kepulauan dengan keragaman agama dan etnik. Keragaman ini merupakan jejak kolonial yang masih membekas dalam kehidupan sosial politik masyarakat NTT. Namun, keragaman ini juga menjadi pemicu menguatnya sentimen primordialisme yang berbasis pada identitas agama, etnis, dan daerah.
Sentimen primordialisme ini muncul dari prasangka terhadap kelompok (agama, etnis, daerah) lain yang memotivasi tiap-tiap kelompok untuk berkompetisi satu sama lain dalam rangka menguasai sumber daya strategis yang ada di NTT.
Dalam politik kontemporer, kompetisi tersebut bertransformasi menjadi kontestasi perebutan jabatan gubernur sebagai penguasa provinsi.
Dari tahun 1960 hingga sekarang, NTT sudah dipimpin oleh tujuh gubernur. Dari ketujuh gubernur tersebut terlihat kecenderungan dominasi orang-orang Flores dalam menduduki posisi orang nomor satu di bumi ”Flobamora”. Gubernur NTT pertama J Lalamentik (1960-1965) berasal dari Ende, kemudian Ben Mboi (1978-1988) berasal dari Manggarai, lalu Hendrik Fernandez (1988-1993) dari Flores Timur, Herman Musakabe (1993-1998) dari Ngada, dan gubernur sekarang Frans Lebu Raya (2008-2018) dari Flores Timur.
Kelima gubernur tersebut berasal dari Flores. Selain itu, hanya El Tari, gubernur kedua yang memerintah pada 1966-1978, dan Piet Alexander Tallo, gubernur keenam, yang memerintah pada 1998-2008 yang non-Flores.
Mantan Bupati Sikka Daniel Woda Palle bisa merasakan suasana batin orang-orang Timor dalam persaingan merebut kursi nomor satu di NTT ketika masih menjabat Kepala Bappeda NTT 1990-an. Saat itu, resistensi orang-orang Timor terhadap gubernur dari Flores cukup kuat karena orang Flores sudah terlalu lama menjabat gubernur.
”Mereka mulai tidak senang kalau orang Flores jadi gubernur lagi. Setelah El Tari, gubernur NTT selalu dipegang oleh orang Flores. Dari Ben Mboy, Hendrik Fernandez, lalu Herman Musakabe, semua itu, kan, orang Flores,” kata pria berusia 79 tahun yang pernah ditawari posisi gubernur NTT pada 2000 itu.
Piet Alexander Tallo adalah orang Timor kedua yang menjadi gubernur menggantikan Herman Musakabe untuk periode 1998-2003. Pada 2003, Piet Tallo dipilih kembali oleh DPRD untuk memimpin NTT hingga 2008. Pada periode kedua ini, Piet berpasangan dengan Frans Lebu Raya yang kelak menggantikan Piet melalui pilgub langsung pada 2008.
Efek tidak langsung dari warisan kolonial Portugis dan Belanda terhadap struktur politik di NTT adalah terbentuknya geopolitik berbasis etnosentrisme-primordial. Model politik ini menciptakan struktur politik yang ajek di NTT di mana pola kompetisi dan kontestasi politik selalu beralas pada aspek wilayah (geografis), etnis, dan agama. Fenomena ini bisa dilihat pada penyelenggaraan Pilgub NTT dari 2008 hingga sekarang.
Mayoritas empat paket cagub untuk Pilgub NTT 2018 yang sudah ditetapkan oleh KPU merupakan sosok lama yang pernah bertarung dalam Pilgub 2013 dan 2008. Kehadiran sosok-sosok ini mengindikasikan pola kontestasi dalam pilgub kali ini tidak akan jauh berbeda dengan pilkada sebelumnya, yaitu mengadopsi perbedaan berdasarkan latar belakang etnis, agama, dan asal daerah para kandidat.
Ketiga komponen ini membentuk konfigurasi yang menggambarkan keterwakilan primordial ke dalam sosok calon gubernur dan wakil gubernur. Pasangan calon yang akan bertarung nanti adalah Esthon L Foenay-Christian Rotok yang diusung Partai Gerindra dan PAN, Marianus Sae-Emmilia Nomleni yang diusung PDI-P dan PKB, Benny K Harman-Benny A Litelnoni dari Demokrat, PKPI, dan PKS, serta Viktor Bungtilu Laiskodat-Joseph Nae Soi yang diusung Partai Golkar, Nasdem, dan Hanura.
Konfigurasi sosok ini mengindikasikan pengaruh sentimen primordial dalam membentuk preferensi pemilih berdasarkan segmentasi pasangan calon. Dua paket mencerminkan konfigurasi unsur Timor dan Protestan yang berpasangan dengan unsur Flores dan Katolik.
Paket tersebut adalah Esthon L Foenay-Christian Rotok dan Viktor Bungtilu Laiskodat-Joseph Nae Soi. Sebaliknya, Marianus Sae-Emmilia Nomleni dan Benny K Harman-Benny A Litelnoni mencerminkan konfigurasi unsur Flores dan Katolik yang berpasangan dengan unsur Timor dan Protestan.
Hal yang menarik dari persaingan tersebut adalah perilaku pemilih dalam mengekspresikan preferensi mereka kepada cagub berdasarkan agama. Para pemilih di NTT, baik yang beragama Katolik, Protestan, maupun Islam, memiliki perilaku yang berbeda-beda sehingga menjadi komponen penting untuk melihat peta persaingan antarkandidat.
Menurut sosiolog Universitas Muhammadiyah Kupang, Achmad Atang, pemilih Katolik cenderung fanatik dalam memilih pemimpin, sedangkan yang Protestan lebih kritis dan egaliter. ”Kalau Katolik akan memilih pemimpin yang seagama dengan mereka. Ini lebih dipengaruhi oleh kultur ketimbang doktrin agama. Kalau Protestan bebas memilih siapa saja meski beda agama,” kata pria kelahiran Adonara, Flores Timur, ini.
Dalam kerangka kontestasi ini, suara pemilih Katolik memiliki mobilitas yang lebih tinggi ketimbang suara Protestan. Pasalnya, suara Katolik bisa melintas dari basisnya di Flores ke Timor, sedangkan suara Protestan hanya berada di Timor.
”Katolik bisa melintas ke Timor karena di sana ada tiga kabupaten yang mayoritas penduduknya beragama Katolik, yaitu Timor Tengah Utara, Belu, dan Malaka. Sementara Protestan tidak bisa melintas ke Flores karena di Flores tidak ada satu pun kabupaten yang mayoritas penduduknya beragama Protestan,” ungkap Atang.
Fenomena inilah yang membuat masyarakat NTT selalu terbelah berdasarkan agama, etnis, dan wilayah dalam pilgub. Vincent (37), seorang tukang ojek di Kota Kupang, mengatakan, dirinya akan selalu memilih Esthon Foenay, cagub NTT asal Timor. Menurut dia, Esthon layak memimpin NTT karena dia didukung oleh orang Timor, Alor, dan Sumba yang mayoritas beragama Protestan.
”Saya dari dulu selalu pilih Pak Esthon untuk jadi gubernur. Kami sama-sama orang Timor Helong dan pasti akan berjuang untuk kemenangan beliau. Pak Esthon ini juga banyak pendukungnya di Alor dan Sumba yang sama-sama Protestan,” kata Vincent kepada Kompas.
Uskup Agung Kupang Mgr Petrus Turang juga melihat fenomena yang sama setiap penyelenggaran Pilgub NTT. Sejak Pilgub 2008 masih banyak orang NTT memilih gubernur yang seagama dengan mereka. Para pemilih langsung terpolarisasi berdasarkan identitas agama mereka.
”Gereja Katolik dalam setiap pilkada selalu bersikap netral kepada semua calon kepala daerah. Tidak ada perintah atau arahan untuk memenangkan calon kepala daerah yang beragama Katolik,” kata Petrus di Keuskupan Agung Kupang, Jumat (2/2).
Sejarah NTT yang dilatari oleh persaingan antara Portugis dan Belanda dalam waktu yang cukup lama ikut mengentalkan pola persaingan antara agama Katolik dan Protestan. Meskipun pola persaingan ini memiliki kerentanan sosial, Uskup Agung Kupang ini mengaku sulit untuk mengubah pola yang sudah mengakar tersebut.
Berangkat dari sejarah yang panjang tersebut, Uskup Agung Petrus Turang berpendapat, fenomena primordialisme yang menguat dalam pilgub merupakan bentuk ekspresi kesukaan pemilih secara individual kepada figur yang mereka sukai. Pemilih Katolik yang cenderung akan memilih cagub Katolik lebih didorong oleh sentimen personal yang dihubungkan oleh persamaan agama antarkeduanya. Agama hanya menjadi media yang menyamakan posisi masyarakat sebagai pemilih dengan cagub yang akan mereka pilih.
Dalam kontestasi yang ketat ini suara umat Islam bisa menjadi penyumbang suara yang sangat menentukan peluang kemenangan para pasangan calon. Islam di NTT kebanyakan adalah pendatang sehingga preferensi mereka terhadap cagub cenderung lebih cair karena tidak ada ikatan emosional yang kuat.
Meski demikian, Achmad Atang berpendapat, ”Orang Islam di NTT lebih kuat afiliasi politiknya terhadap geografis atau wilayah domisili mereka. Orang Islam di Flores cenderung akan memilih cagub dari Flores, orang Islam Timor cenderung akan memilih cagub dari Timor.”
Preferensi umat Islam berdasarkan wilayah domisili ini juga diamini oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) NTT Abdulkadir Makarim. ”Umat Islam prinsipnya terbuka terhadap semua cagub yang ada sekarang. Namun, di Timor, mayoritas mendukung Pak Viktor dan Pak Esthon daripada dua calon lain,” kata Makarim.
Sebaliknya, di Flores dukungan umat Islam pun menguat kepada cagub dari Flores, yaitu Marianus Sae dan Benny K Harman. Ketua MUI Kabupaten Nagekeo Yunus Manitima (69) menyebutkan, umat Islam di Nagekeo dan sekitarnya sudah memiliki kedekatan dengan para pemimpin yang berasal dari Flores.
Karakter pemilih Islam yang masih emosional membuat mereka cenderung mendukung cagub yang dekat dengan mereka. ”Di sini Pak Marianus sangat dikagumi. Umat Islam di sini banyak yang mendukung beliau,” kata Yunus.
Kontestasi berbasis identitas sosial ini di satu sisi bisa menciptakan titik keseimbangan kultural sehingga mampu meredam potensi konflik sosial yang tersembunyi di balik sentimen primordial. Namun, menguatnya identitas sosial saat pilgub hanya memberikan kesempatan kepada kelompok dominan untuk menjadi penguasa tertinggi di NTT. (LITBANG KOMPAS)