Pilkada Tanpa Partai Politik
Kuatnya pengaruh sosok dalam setiap pemilihan kepala daerah menjadikan partai politik seakan hanya menjadi kendaraan. Namun, apa jadinya jika partai politik pun tidak lagi menjadi pilihan untuk meraih kekuasaan?
Itulah gambaran yang terjadi di Kabupaten Mimika. Daerah dengan luas 19.592 kilometer persegi atau 4,75 persen dari luas wilayah Provinsi Papua yang dipenuhi rekam jejak gejolak politik.
Selama ini mungkin publik hanya mengenal wilayah ini sebagai daerah tambang emas dengan keberadaan PT Freeport Indonesia.
Mimika rupanya tidak selalu identik dengan perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut. Kabupaten Mimika juga menyimpan cerita politik tersendiri. Cerita itu bisa dimulai dari fenomena Pilkada Kabupaten Mimika tahun ini.
Dari tujuh pasangan calon yang mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Mimika, keenamnya adalah pasangan calon dari jalur perseorangan alias nonpartai politik.
Dari aturan pilkada, ditetapkan syarat minimal dukungan dari calon perseorangan ini mencapai 22.273 atau 10 persen dari jumlah pemilih. Dari kalkulasi para calon perseorangan, syarat ini dirasa lebih ringan dibandingkan harus melalui partai politik yang dirasa terlalu mahal dan berliku.
Sebagaimana yang diungkap Parengil (60), salah satu anggota tim sukses pasangan calon dari jalur perseorangan, Philipus B Wakerkwa-Basri. ”Walaupun administrasinya susah, tetapi meringankan dalam hal dana, ngumpulin KTP dan lain-lain, tapi kan tidak bayar pusat (DPP Partai) sampai miliaran,” ungkap Parengil.
Jalur perseorangan, menurut Parengil, juga memberikan keleluasaan bagi pasangan calon karena lebih independen dalam menentukan gerak langkah politik dibandingkan melalui partai.
Pasangan Wakerkwa-Basri sendiri menyatakan, jalur perseorangan justru mahalnya di awal untuk memenuhi persyaratan administrasi. Parengil menyebut, pasangan calon yang didukungnya sampai menghabiskan biaya sampai Rp 1 miliar untuk memenuhi persyaratan minimal 22.273 dukungan KTP. ”Ini lebih murah dibandingkan mencari dukungan dari partai yang bisa habis Rp 2 miliar-Rp 3 miliar,” kata Parengil.
Tanpa partai
Sayangnya, KPU Mimika memutuskan pasangan Wakerkwa-Basri tidak memenuhi syarat menjadi pasangan calon di pilkada. Dari tujuh pasangan calon yang mendaftar, hanya empat pasangan calon yang dinyatakan memenuhi syarat dan berhak mengikuti pilkada.
Dari empat pasangan calon tersebut, tidak ada pasangan calon yang diusung parpol alias semuanya berasal dari jalur perseorangan. Menariknya, selain tanpa partai, Pilkada Kabupaten Mimika juga tidak diikuti pasangan petahana.
Pasangan petahana Eltinus Omaleng-Johanes Rettob (OmTob) yang memborong sebagian besar partai yang memiliki kursi di DPRD gagal lolos menjadi pasangan calon. KPU Mimika menyatakan pasangan petahana yang menjadi satu-satunya pasangan calon yang diusung koalisi sembilan parpol ini harus rela kandas dalam kontestasi.
KPU Mimika beralasan, tidak lolosnya pasangan OmTob karena ijazah calon bupati Eltinus Omaleng (bupati petahana) berupa ijazah SMP dari sekolah Yayasan Wolio Ujung Pandang tidak dapat diverifikasi karena sekolah itu telah tutup.
Padahal, OmTob ini didukung hampir mayoritas parpol. Dari 10 parpol pemilik kursi di DPRD Kabupaten Mimika, 9 partai di antaranya masuk dalam koalisi pengusung OmTob ini. Pasangan ini pun mengantongi 82,9 persen dukungan kursi partai di parlemen.
Praktis, dengan hanya lolosnya empat pasangan calon dari jalur perseorangan, Pilkada Mimika tidak akan diikuti parpol sebagai pengusung calon. Di Pilkada 2017, hal yang sama pernah terjadi di Pilkada Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo.
Pasangan petahana yang diusung mayoritas partai di kabupaten tersebut dianulir pencalonannya oleh KPU Boaleme karena terbukti melanggar undang-undang terkait mutasi pejabat di lingkungan pemerintahan.
Pihak OmTob sendiri sampai saat masih berupaya melakukan gugatan hukum terkait putusan KPU daerah yang tidak meloloskan mereka. Johanes Rettob sendiri melihat kinerja penyelenggara, yakni KPU daerah kurang bersandar pada aturan yang ada.
Fenomena banyaknya pasangan calon dari jalur perseorangan menjadi potret belum maksimalnya kinerja penyelenggara. Bagi Rettob, banyaknya orang maju melalui jalur perseorangan karena penyelenggara tidak sesuai dengan aturan. Sebagai perbandingan, pada tahun ini saja sedikitnya ada enam pasangan dari perseorangan yang mendaftar ke KPU Mimika. Dulu saat Pilkada 2013, ada 14 pasangan calon perseorangan yang mendaftar, tetapi hanya 11 yang lolos verifikasi.
Lemahnya kinerja penyelenggara, menurut Rettob, disinyalir menjadi alasan banyak orang maju di pilkada melalui jalur perseorangan. Akibat kinerja penyelenggara yang lemah, banyak pihak mencoba maju melalui jalur perseorangan karena melihat begitu mudah lolos menjadi pasangan calon.
”Awalnya coba-coba keberuntungan,” kata Rettob. Hal ini juga terlihat bagaimana banyak calon perseorangan yang muncul dengan tiba-tiba.
Kinerja penyelenggara
Sorotan terhadap kinerja KPU daerah ini sebenarnya jauh hari sudah dilakukan oleh parpol pengusung pasangan OmTob, bahkan sebelum penetapan pasangan calon.
Kesembilan parpol, yakni PDI-P, Nasdem, Golkar, Hanura, PKPI, Demokrat, PAN, PKB, dan PBB, yang mengusung OmTob menyatakan sikap bersama agar KPU daerah lebih profesional dan mematuhi ketentuan hukum terkait verifikasi pencalonan, khususnya kepada para pasangan calon perseorangan.
Namun, setelah penetapan pasangan calon dan pasangan OmTob ternyata tidak lolos karena tidak memenuhi syarat menjadi pasangan calon, pasangan ini pun mengadukan lima komisoner KPU Mimika ke sidang etik Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Penyelenggara pemilu ini dinilai bekerja tidak profesional selama penyelenggaraan tahapan Pilkada Mimika. Sampai tulisan ini diturunkan, DKPP belum menghasilkan putusan terkait kasus ini.
Kekecewaan terhadap penyelenggara pemilu di wilayah Mimika sebenarnya bukan hal baru. Saat Pilkada Mimika 2013, empat komisioner KPU Kabupaten Mimika dan Ketua Panitia Pemilihan Distrik Mimika Baru mendapat sanksi pemberhentian tetap oleh DKPP.
Tidak itu saja, kekecewaan terhadap kinerja KPU Mimika juga terjadi setelah penyelenggaraan Pemilu 2014. Pada 6 Juni 2015, Kantor KPU Kabupaten Mimika terbakar. Kasus kebakaran ini diduga kuat terkait puncak dari akumulasi gejolak politik di Mimika sejak Pemilu Legislatif, 9 April 2014.
Hal ini terkait soal menggantungnya upaya pelantikan 35 caleg terpilih DPRD Mimika masa bakti 2014-2019 hasil Pemilu 9 April 2014. Berlarut-larutnya pelantikan ini bersumber dari tidak konsistennya pelaksanaan putusan terkait anggota legislatif terpilih oleh penyelenggara pemilu.
Saat itu KPU Mimika sudah menerbitkan SK Nomor 20 Tahun 2014. Hanya saja Bupati Mimika Eltinus Omaleng tidak menerbitkan rekomendasi pelantikan anggota DPRD Mimika versi SK Nomor 20 Tahun 2014 itu. Bupati Omaleng bertahan dengan SK yang pertama kali diterbitkan KPU Mimika, yakni SK Nomor 16A Tahun 2014 tanggal 29 April 2014.
Lalu, atas saran KPU Pusat, KPU Mimika akhirnya menetapkan SK Nomor 17 Tahun 2014 sebagai dasar penetapan caleg terpilih dalam rapat pleno yang berlangsung di Jayapura pada 1 Juni 2015. Inilah sumber gejolak politik hingga mengakibatkan kasus terbakarnya kantor KPU Mimika. Tidak heran jika kemudian saat ini dapat dilihat halaman depan kantor KPU Mimika selalu dipasangi kawat berduri.
Gejolak politik di Mimika inilah yang kemudian menempatkan wilayah ini masuk kategori kabupaten dengan tingkat kerawanan tertinggi jelang Pilkada 2018. Hal ini terekam dari Indeks Kerawanan Pemilu Pemilihan Kepala Daerah 2018 yang dilansir Badan Pengawas Pemilu.
Kabupaten Mimika tercatat paling tinggi tingkat kerawanannya dengan skor 3,43 di antara rentang skor 1-5. Inilah gambaran betapa rekam jejak Mimika yang penuh dinamika. Tentu, Pilkada Mimika tahun ini akan melahirkan dinamika tersendiri, apalagi kontestasinya secara formal tidak melibatkan parpol. (YOHAN WAHYU/LITBANG KOMPAS)