Menantang Petahana untuk Perubahan
Di samping merupakan ajang kontestasi ulangan bagi sejumlah calon, Pilkada Kabupaten Donggala lebih menjadi ruang untuk menantang petahana yang dinilai gagal memajukan Donggala. Kekecewaan terhadap petahana membuat Pilkada Donggala selalu semarak diikuti banyak pasangan calon.
Pilkada Kabupaten Donggala 2018 bisa dibilang merupakan pertarungan antara petahana dan calon-calon yang pernah maju pada pilkada sebelumnya.
Bagi Kasman Lassa, Bupati Donggala 2013-2018, pilkada kali ini merupakan kesempatan ketiganya berlaga dalam kontestasi politik. Sementara bagi calon bupati Anita Bugiswati Noerdin, Pilkada 2018 merupakan untuk kedua kali dirinya berhadapan dengan Kasman Lassa.
Wakil bupati petahana Vera Elena Laruni kali ini menjajal kontestasi politik yang kedua kali dengan pecah kongsi dari Kasman Lassa untuk jabatan bupati.
Magnet Pilkada Donggala tampak dari jumlah peserta yang selalu lebih dari dua pasang calon, bahkan sejak pertama kali diselenggarakan pilkada langsung pada 2008. Tahun 2008 tersebut, pilkada diikuti tujuh pasang calon. Lima tahun berikutnya, jumlah peserta pilkada bertambah menjadi delapan pasang dan tahun ini terdapat enam pasang yang berlaga.
Perseorangan
Semaraknya peserta pilkada, selain tampak dari jumlah pasangan calon yang berlaga, juga dari karakter dukungan kepada para pasangan calon. Di samping diusung oleh partai politik, sejumlah pasangan maju pilkada berbekal dukungan pemilih langsung atau jalur perseorangan.
Pada Pilkada 2008, dari tujuh pasang calon, terdapat dua pasangan yang maju dari jalur perseorangan. Sementara tahun 2013 dari delapan pasang calon yang bertarung, empat adalah pasangan perseorangan. Tahun ini, dari jalur perseorangan ada tiga pasang calon dari enam pasangan yang berlaga.
Pasangan dari jalur perseorangan di Pilkada Donggala cukup diperhitungkan pemilih. Itu terbukti dengan kemenangan pasangan Kasman Lassa-Vera Laruni yang maju dari jalur perseorangan pada Pilkada 2013. Pada putaran pertama, pasangan ini memperoleh suara terbanyak (37.934 suara), diikuti pasangan Anita Bugiswaty Noerdin-Muh Chair Mahmud (34.970 suara) yang didukung partai politik.
Karena putaran pertama tidak ada yang mencapai suara di atas 30 persen, diputuskan untuk pilkada putaran kedua. Dengan perolehan suara 76.916 suara (55,87 persen), Kasman Lassa-Vera Laruni mengalahkan pasangan Anita Bugiswaty Noerdin-Muh Chair yang meraih 60.753 suara (44,13 persen). Pilkada 2013 juga menjadi momen bersejarah karena pasangan ini merupakan pasangan pemimpin daerah pertama di Sulawesi Tengah yang terpilih melalui jalur perseorangan.
Kekuatan petahana
Pengamat politik dari Universitas Tadulako, Slamet Riadi Cante, menyebutkan, petahana dalam Pilkada 2018 cenderung berpeluang mendapatkan suara signifikan karena dapat menggunakan kekuasaannya untuk mengembangkan kebijakan populis. Apalagi, menurut dia, pasangan calon dari jalur perseorangan relatif belum memiliki pengalaman politik.
Kasman Lassa, yang terpilih dari jalur perseorangan, saat ini maju kembali dengan dukungan dari Partai Nasdem setelah ia menjadi Ketua DPC Partai Nasdem Kabupaten Donggala. Ia berpasangan dengan M Yasin yang didukung Gerindra.
Partai Gerindra di Donggala bisa mengimbangi Golkar dengan jumlah kursi yang sama di DPRD. Di lingkup provinsi, Gerindra memiliki posisi penting mengingat Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola adalah Ketua DPD Gerindra Sulawesi Tengah.
Di samping itu, ujar Slamet Riadi, rekam jejak dan kekuatan finansial pasangan calon petahana memiliki andil politik untuk meraih suara yang signifikan dalam pilkada.
Sebelum menjadi Bupati Donggala, Kasman Lassa menjabat Kepala Biro Informasi dan Komunikasi Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah. Kasman Lassa dikenal dekat dengan masyarakat karena sering mengunjungi warga, terutama yang tinggal di daerah pelosok. Sosialisasi politik dengan konstituennya bisa dibilang sudah berlangsung lebih dari tujuh tahun.
”Selain sering membangun rumah adat bagi warga, Kasman Lassa kerap membawa kain kafan setiap kali ada warga Donggala yang berdukacita, makanya pernah disebut ’bupati kain kafan’,” ungkap Slamet Riadi.
Petahana dalam Pilkada 2018 cenderung berpeluang mendapatkan suara signifikan karena dapat menggunakan kekuasaannya untuk mengembangkan kebijakan populis.
Selain itu, Kasman Lassa juga gencar mempromosikan program fasilitas untuk kepala desa, antara lain gaji kepala desa yang mencapai Rp 6 juta per tiga bulan yang diambil dari alokasi dana desa dan diatur dalam APBD Kabupaten Donggala serta pelatihan manajemen keuangan desa terutama untuk pengelolaan dana desa senilai Rp 1 miliar per desa.
Kasman Lassa juga pernah membawa dewan adat dan kepala desa ke Keraton Surakarta Hadiningrat pada 1 Mei 2016 dalam rangka mendapat gelar kehormatan dari keraton.
Meskipun sejumlah pihak mempertanyakan pemberian fasilitas tersebut, Kasman Lassa tetap bergeming. Pertanyaan itu terutama tentang asal-usul dana desa dan signifikansi membawa rombongan kepala desa ke Keraton Surakarta.
Sejumlah pihak menduga pemberian fasilitas kepada para kepala desa di Donggala berkaitan dengan pemberian dukungan kepada Kasman Lassa, baik dukungan bagi program-programnya maupun dukungan suara saat pilkada.
Kekecewaan politik
Semaraknya peserta Pilkada Donggala tahun ini, menurut Soraya Sultan, salah seorang fungsionaris PDI-P Donggala, sedikit banyak berkaitan dengan kekecewaan terhadap kiprah Kasman Lassa sebagai bupati. Menurut dia, para pasangan calon perseorangan hampir semuanya kecewa dengan kepemimpinan Kasman Lassa dan belum menemukan calon alternatif.
”Sudahlah, kita maju saja, toh kami punya prestasi juga,” cerita Soraya Sultan tentang ungkapan salah satu calon perseorangan, Idham Pagaluma. Ia merupakan pengusaha tambang yang sering memberikan bantuan air kepada masyarakat.
Kekecewaan juga terungkap dari calon lain. Calon wakil bupati Taufik M Burhan yang berpasangan dengan wakil bupati petahana Vera Laruni pernah menjabat Camat Sindue Tombusabora. Taufik pernah menjadi perbincangan publik terkait kebijakan Kasman Lassa yang menonaktifkan dirinya dari jabatan apa pun sebagai PNS sekitar tiga tahun lalu dengan alasan tak mendukung program bupati.
Begitu pula dengan Vera Laruni. Seperti sudah menjadi rahasia umum bahwa hubungan wakil bupati ini dengan bupati kerap tidak harmonis kendati pernah didamaikan oleh Gubernur Sulawesi Tengah.
Meskipun didorong oleh kekecewaan, bukan berarti para penantang bupati petahana tidak memiliki basis kekuatan. Di samping mesin politik partai dan basis suara partai, setiap pasangan calon memiliki kualitas individu yang bisa menjadi modal merebut suara rakyat.
Para pasangan calon perseorangan hampir semuanya kecewa dengan kepemimpinan Kasman Lassa dan belum menemukan calon alternatif.
Pasangan Anita Budiswaty-Abudrachman yang didukung Partai Hanura dan PDI-P dinilai beberapa pihak memiliki rekam jejak dan komunikasi politik yang baik, baik dengan sesama pasangan calon termasuk petahana maupun dengan warga.
Anita Budiswaty pernah menjadi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Donggala sebelum ikut kontestasi Pilkada 2013. Komunikasi Anita dengan warga terjalin erat saat ia memberikan pelayanan sebagai dokter gigi ataupun berkunjung ke wilayah-wilayah pelosok sebagai kepala dinas kesehatan.
Selain itu, Anita Budiswaty juga merupakan calon yang mendapat suara terbanyak kedua pada Pilkada 2013 sehingga peluang untuk meraih suara kembali cukup besar.
Sementara itu, Vera Laruni memiliki wilayah yang menjadi kantong suaranya saat berlaga bersama Kasman Lassa di kontestasi 2013. Bukan tidak mungkin suara yang dulu diberikan kepada Kasman Lassa-Vera Laruni direbut oleh Vera Laruni pada pilkada tahun ini.
Pasangan Vera Laruni-Taufik Burhan menawarkan cita rasa pluralisme karena Vera beragama non-Islam di tengah mayoritas penduduk Donggala yang Muslim.
Lemah perencanaan
Kekecewaan terhadap petahana memiliki dasar cukup kuat jika menilik sejumlah indikator pembangunan di Donggala. Persentase penduduk miskin di Kabupaten Donggala selama empat tahun terakhir termasuk ketiga tertinggi di Provinsi Sulawesi Tengah yang memiliki 13 kabupaten/kota.
Pada 2016 bahkan persentase penduduk miskin di Donggala merupakan yang tertinggi di Sulawesi Tengah, mencapai 18,59 persen. Kondisi ini menurun mengingat tiga tahun berturut-turut sebelumnya persentasenya bukan yang tertinggi meskipun masih termasuk tiga tertinggi di seluruh Sulawesi Tengah.
Tahun 2015, misalnya, angka persentase mencapai 18,11 persen, tertinggi ketiga setelah Kabupaten Tojo Una-Una dan Poso. Penurunan ini juga terjadi sejak 2012 yang saat itu persentase penduduk miskin berada di angka 17,02 persen, ada di posisi tengah dari 11 kabupaten/kota. Posisi Donggala jauh tertinggal dari Kabupaten Sigi yang mekar dari Kabupaten Donggala.
Indikator lainnya adalah indeks pembangunan manusia (IPM). Tahun 2016, IPM Donggala mencapai 64,42 dan menempati posisi ke-5, lebih rendah dari Kabupaten Buol, Morowali Utara, Morowali, dan bahkan dari Kabupaten Sigi yang merupakan daerah pemekaran dari Donggala. Namun, posisi ke-5 ini bisa dibilang meningkat dibandingkan empat tahun sebelumnya yang hanya menempati posisi ke-8 di Sulawesi Tengah.
Dari aspek pendapatan, andalan Donggala bisa dibilang hanya dari sektor pertambangan bahan galian golongan C, yaitu pasir dan kerikil. Umumnya hasilnya dikirim ke Kalimantan, kemudian diekspor ke Singapura. Menurut Dr Andi Darmawati Tombolotutu, pengajar di Universitas Tadulako, potensi ini tidak besar karena yang didapat hanya retribusi.
Pemerintah Daerah Donggala banyak dikritik soal perusakan lingkungan akibat eksplorasi tambang.
Sementara itu, Pemerintah Daerah Donggala banyak dikritik soal perusakan lingkungan akibat eksplorasi tambang tersebut, termasuk masalah kebocoran anggaran, mala-administrasi izin usaha pertambangan, hingga dampak kesehatan (kasus infeksi saluran pernafasan atau ISPA pada warga sekitar yang berlangsung bertahun-tahun). Masalah ini sampai membuat Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Sulteng turun tangan pada tahun 2017 untuk melakukan pemeriksaan.
”Semua seharusnya berawal dari perencanaan yang bagus. Satu contoh, di Bappeda sendiri tidak ada tenaga fungsional perencana yang betul-betul mengerti perencanaan,” ujar Andi Darmawati Tombolotutu.
Ketidakjelasan perencanaan ini juga terlihat pada Pemda Donggala yang mencanangkan Donggala sebagai Kota Wisata pada akhir November 2017. Jika memang ingin menjadi kota wisata, infrastruktur harus dibenahi lebih dulu. ”Untuk kabupaten setua ini, fasilitas jalan utama yang harus dibenahi kabupaten saja tidak terurus,” lanjut Andi Darmawati Tombolotutu.
Sebagai catatan, berdasarkan Data Dinas PU Kabupaten Donggala, kondisi jalan di Donggala hingga 2016 hanya 40 persen yang baik, selebihnya 32 persen rusak berat dan 20 persen rusak. (KRISHNA P PANOLIH/BI PURWANTARI/LITBANG KOMPAS)