Marah? Mengadulah secara Benar
Pernah atau sering marah? Apa yang Anda lakukan saat marah? Memaki, melempar, diam, ataukah menangis? Respon-respon tersebut biasa dilakukan orang saat kondisi hati atau perasaannya sedang tidak enak atau marah. Namun, marah bagi banyak orang tidak harus direspon dengan negatif. Bahkan, kondisi marah yang dialami dianggap sebagai waktu yang tepat untuk melakukan refleksi diri.
Refleksi diri dan mengadu kepada Tuhan Yang Kuasa diakui menjadi solusi bagi sebagian besar responden Jajak Pendapat Kompas saat merasa marah. Hampir separuh (46,7 persen) responden mencoba untuk melepaskan kemarahan dengan cara berdoa atau pergi ke tempat ibadah.
Selain berkontemplasi melalui doa, sebanyak 37,5 persen responden lainnya memilih meredakan amarah dengan diam dan tidak melakukan komunikasi dengan siapapun selama kemarahan masih menguasainya. Kedua metode ini paling banyak dilakukan responden untuk meredakan kemarahan selain beberapa cara lain seperti melampiaskan ke sumber amarah, pergi dari rumah, hingga mengalihkannya ke makanan atau pekerjaan.
Dalam studi yang dilakukan Jennifer Parlamis dari University of San Fransisco (2010) mengutip hasil kajian Fisher dkk. (1991), menyebutkan bahwa cara efektif untuk mengatasi rasa marah, frustrasi, dan segala emosi negatif yang dimiliki seseorang adalah dengan membantunya melepaskan perasaan tersebut. Cara melepaskannya adalah dengan mengekspresikan atau mengeluarkan perasaan negatif tersebut. Biasanya setelah kemarahan di"kanalisasi" barulah orang bisa berpikir secara rasional lagi.
Pada praktiknya, berdoa kepada Tuhan atau berbicara kepada orang lain bisa menjadi pilihan. Dengan cara ini, diharapkan orang yang merasa marah akan lega dan kembali dapat berpikir tanpa didominasi emosi negatif, sehingga kembali menjadi produktif.
Sayangnya, di masyarakat kita mengadu mengadu kepada orang lain seperti orang pintar, pemuka agama, hingga psikiater, bukanlah pilihan yang banyak dilakukan. Terbukti, sebagian besar responden (60,9 persen) mengaku tidak pernah mencoba menyelesaikan persoalan kemarahannya dengan berkonsultasi para profesional tersebut.
Penyebab Marah
Dari sekian banyak penyebab yang mengakibatkan timbulnya rasa marah atau emosi, lebih dari separuh (64,9 persen) responden mengatakan dibohongi atau dicurangi oleh orang lain adalah pemicu kemarahan paling utama. Perasaan dikhianati dan dimanipulasi tentunya menimbulkan luka di hati setiap orang. Apalagi, jika sebelumnya pihak yang dimanipulasi telah memberi kepercayaan penuh kepada si pembohong.
Namun, banyak jalan yang dapat dilakukan untuk meredakan amarah karena hal ini. Dalam ilmu psikologi, terdapat beberapa anjuran untuk menghapus amarah karena dibohongi dan melanjutkan hidup. Yang pertama adalah meyakinkan diri sendiri bahwa kejadian ini bukanlah salah kita, melainkan murni kesalahan si pembohong.
Cara kedua dengan tetap mewaspadai aksi kebohongan yang mungkin terjadi berikutnya. Dan yang ketiga, tetaplah menjadi diri sendiri seperti dulu serta jangan mudah berprasangka kepada orang lain hanya karena pernah dibohongi atau dicurangi.
Selain kebohongan dan kecurangan, penyebab emosi lainnya menurut sebagian responden (10,3 persen) adalah kesulitan ekonomi. Ketidakstabilan perekonomian rumah tangga berpotensi mengganggu harmoni yang dimiliki keluarga yang menjadi salah satu faktor penyebab rentannya emosi seseorang.
Kondisi ini bahkan memicu sejumlah kasus bunuh diri dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap pasangan atau anggota keluarga. Tekanan mengatasi masalah ekonomi menyebabkan kegagalan dalam mengendalikan emosi.
Ekonomi dan Kemacetan
Faktor ekonomi rupanya menjadi momok yang mudah menyulut emosi, baik pada responden laki-laki maupun perempuan.
Pada perempuan, hal tersebut karena kaum ini kebanyakan sebagai penanggungjawab manajemen keuangan di keluarga. Para istri di rumah biasanya dituntut mampu mengatur arus kas keuangan di rumah dengan sebaik-baiknya, meski penghasilan keluarga terkadang sulit untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota di rumah.
Sementara itu, laki-laki yang sebagian besar bertanggungjawab sebagai pencari nafkah keluarga. Meski kebanyakan dari kaum ini sehari-hari beraktifitas di luar rumah dan harus menghadapi kesemrawutan lalulintas, namun hal tersebut tidak bisa mengalahkan kesemrawutan pikiran apabila kondisi ekonomi sedang tertekan.
Namun lepas dari kondisi demikian, mayoritas responden baik laki-laki dan perempuan ternyata mengaku akan marah dan sulit mengendalikan emosi apabila dibohongi, dijahati, dikhianati, maupun dimanipulasi oleh orang lain. Faktor ini mengalahkan penyebab kemarahan lain seperti kondisi ekonomi, kemacetan lalu lintas, kondisi sosial politik, atau perselisihan dengan orang lain.
Bagi perempuan, kondisi ekonomi yang sulit dinilai sekitar 11 persen responden memicu naiknya emosi. Sedangkan kondisi kemacetan di jalan, hanya dikeluhkan 5,5 persen responden perempuan. Bagi mereka hal tersebut hanya dalam kategori dapat membuat suasana hati "suram".
Hasil yang mirip juga ditemukan pada responden laki-laki. Mereka yang menggerutu pada kondisi lalu lintas sehari-hari jumlahnya lebih sedikit yakni 7,1 persen, ketimbang responden laki-laki yang murka akibat kondisi perekonomian (9,8 persen persen).
Cara Cerdas
Hidup tak lepas dari masalah. Siapapun pasti menghadapinya. Namun, jika memahami dan memiliki manajemen kemarahan yang baik seseorang akan mampu melepas rasa marahnya dengan tuntas. Kematangan emosional seseorang salah satunya akan terbangun dalam tahap ini.
Mengadu kepada Tuhan, adalah cara favorit orang Indonesia untuk mengatasi rasa marah. Hal ini bisa menunjukkan lekatnya masyarakat dengan nilai-nilai agama yang dianutnya. Berpaling kepada Tuhan saat menghadapi masalah juga merupakan pilihan yang konstruktif di tengah banyaknya alternatif lain yang justru bisa menjerumuskan kita pada masalah yang lebih besar.
Meski demikian, tak ada salahnya juga berbagi perasaan dengan orang dekat yang dipercayai sebagai katarsis sementara. Lebih jauh, kesehatan mental individu akan membangun kesehatan masyarakat secara keseluruhan.
Hal ini karena bangsa kita masih memiliki banyak pekerjaan rumah diantaranya untuk menyelesaikan masalah kesehatan jiwa yang bagaikan gunung es, baik yang serius (depresi, skizofrenia, dll) maupun yang "sekadar" gangguan emosional. (Palupi Panca Astuti/Litbang Kompas)