Pendukung Jokowi dan Prabowo Memilih Siapa di Pilkada?
Pilkada di Jawa Barat dan Jawa Timur berdasarkan hasil survei merupakan dua wilayah yang paling ketat pola persaingannya. Hingga saat ini, di kedua provinsi yang paling besar jumlah pemilihnya itu masih belum tersimpulkan, siapa yang paling potensial memenangkan pertarungan politik.
Namun, di balik ketatnya persaingan di antara pasangan calon gubernur, menarik juga dicermati apakah dalam pilkada kali ini juga terbentuk aliansi hubungan politik dengan sosok-sosok yang diperkirakan akan bersaing dalam Pemilu Presiden 2019?
Sederhananya, dalam Pilkada Jawa Barat dan Jawa Timur. Kepada siapa para pendukung Presiden Joko Widodo ataupun Prabowo Subianto cenderung menjatuhkan pilihannya?
Di balik persaingan ketat yang terjadi di antara pasangan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi dengan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul, apakah juga terdapat perbedaan pilihan calon yang signifikan dari para pendukung Jokowi dan Prabowo?
Begitu pula di Jawa Timur, apakah para pendukung Jokowi cenderung memilih Khofifah Indar Parawansa (bersama Emil Elistianto Dardak), bekas menteri Jokowi, atau pada Saifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno, pasangan calon yang didukung partai Jokowi, PDI-P. Begitu pula, apakah pendukung Prabowo di Jawa Timur cenderung sejalan dengan dukungan Prabowo terhadap Saifullah-Puti?
Mengkaji pola hubungan ataupun karakteristik perbedaan yang terpetakan di antara para pendukung Jokowi ataupun Prabowo dengan sosok-sosok pasangan calon pilihan mereka dalam ajang pilkada kali ini, menjadi pertanyaan yang menarik diketahui jawabnya.
Pasalnya, baik Jokowi maupun Prabowo, jika kedua sosok tersebut memang benar-benar bertarung dalam Pilpres 2019, punya kepentingan yang sama di dalam membangun serta memperluas kapital sosial mereka berupa jaringan politik di sejumlah daerah.
Bagi keduanya, momen pilkada serentak kali ini berpotensi menjadi bagian dari strategi pelebaran penguasaan suara. Apabila dalam pilkada terbangun pola hubungan yang positif, dalam hal ini baik para pendukung Jokowi maupun Prabowo cenderung memilih pasangan calon pilkada yang signifikan berbeda, maka pola persaingan kedua sosok tersebut sudah terdiferensiasi.
Artinya, baik para pendukung Jokowi maupun Prabowo telah membentuk basis dukungan yang terpilah dan kedua kelompok tersebut punya preferensi yang berbeda terhadap pasangan calon yang akan dipilih dalam pilkada.
Apabila kondisi demikian yang terbangun, tidak banyak pilihan bagi Jokowi ataupun Prabowo selain menguatkan loyalitas basis dukungan yang sudah terbentuk. Pada akhirnya, siapa yang memiliki basis dukungan terbesar jelas akan memenangi pertarungan.
Namun, jika sejauh ini tidak terbentuk pola hubungan serta perbedaan-perbedaan pilihan di antara kedua kelompok pendukung, ajang pilkada di Jawa Barat dan Jawa Timur tergolong cair.
Pola dukungan belum terpolarisasi. Dalam hal ini, pada kedua pendukung, baik pendukung Jokowi maupun Prabowo, tidak berbeda preferensi pilihannya pada pasangan calon yang bersaing dalam pilkada. Artinya, ruang persaingan antara Jokowi dan Prabowo dalam pemilu presiden berbeda dengan ruang persaingan pilkada.
Apabila kondisi semacam ini yang terbentuk, masih terbuka lebar bagi kedua sosok, baik Jokowi maupun Prabowo, memperluas dukungan dengan becermin pada pola persaingan yang terbentuk di antara pasangan calon pilkada.
Pada sisi yang lain, pola hubungan ataupun karakteristik perbedaan yang terbentuk di antara pendukung Jokowi dan Prabowo dalam pilkada tidak hanya berimplikasi bagi kedua sosok tersebut.
Karakteristik pemilih yang terbentuk juga signifikan bagi peningkatan kapital politik setiap pasangan calon yang bertarung dalam pilkada kali ini. Terkait dengan kondisi demikian, perbandingan hasil survei di Jawa Barat dan Jawa Timur menarik untuk dicermati.
Di Jawa Barat, di tengah persaingan ketat antara Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi dan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul (lihat: Ujian Loyalitas Partai Kader), hasil survei juga menunjukkan begitu ketatnya persaingan yang terjadi antara Jokowi dan Prabowo (lihat: Jokowi dan Prabowo Imbang di Jawa Barat).
Dalam kondisi demikian, jika setiap pasangan calon pilkada yang kini saling bersaing sama-sama memanfaatkan kapital sosial pendukung Jokowi ataupun Prabowo, peta persaingan di Jawa Barat berlangsung semakin kompetitif lagi.
Kedua pasangan calon berpeluang sama menggapai kemenangan. Namun, sebaliknya, jika kapital sosial Jokowi ataupun Prabowo tidak termanfaatkan, bisa jadi kerugian bagi pasangan calon pilkada.
Hasil survei di Jawa Barat memang cenderung menunjukkan adanya perbedaan pola dukungan. Dari keseluruhan responden yang mengaku menjadi pendukung Jokowi, proporsi terbesar (44,3 persen) menyatakan akan memilih pasangan Kamil-Uu jika Pilkada Jawa Barat dilakukan saat ini. Pilihan terbesar selanjutnya (39,3 persen) terhadap pasangan Deddy-Dedi.
Kondisi yang terbalik pada kelompok responden yang mengaku memilih Prabowo. Tidak kurang dari 44,4 persen justru memilih Deddy-Dedi dan sebanyak 38 persen memilih Kamil-Uu (Grafik).
Apabila dielaborasi lebih jauh, para pendukung Jokowi yang cenderung memilih pasangan Deddy-Dedi merupakan kalangan reponden yang sebagian besar juga merupakan pemilih partai-partai pendukung Deddy-Dedi.
Seperti para pendukung Partai Golkar dan Demokrat. Sebaliknya, para pendukung Jokowi yang juga berlatar belakang pemilih partai Nasdem, PPP, PKB, dan PDI-P cenderung memilih Kamil-Uu.
Tidak kurang sama pada para pendukung Prabowo. Mereka yang juga tercatat sebagai pendukung Golkar dan Demokrat memilih Deddy-Dedi. Begitu pula pendukung Prabowo yang berasal dari partai Nasdem, PPP, PKB, dan PDI-P tertuju pada Kamil-Uu.
Menariknya, justru para pendukung Prabowo yang juga berasal dari Gerindra dan PKS terdistribusi sama kuat pada kedua pasangan calon.
Kondisi yang terpola di Jawa Barat menunjukkan, faktor kepartaian juga punya peran signifikan di dalam membentuk pola dukungan pada setiap pasangan calon. Di balik keterpilihan antara pendukung Jokowi ataupun Prabowo terhadap setiap pasangan calon di Jawa Barat, preferensi partai juga menjadi faktor pembeda.
Di Jawa Timur, persoalan menjadi agak berbeda. Hasil survei menunjukkan, Jokowi kini lebih unggul dari Prabowo (lihat: Jokowi dan Prabowo Semakin Senjang di Jawa Timur). Padahal, persaingan antara Khofifah-Emil dan Saifullah-Puti sangat kompetitif. Semakin besarnya dukungan terhadap Jokowi di Jawa Timur jelas mengindikasikan semakin besarnya modal sosial Jokowi yang terbentuk.
Oleh karena itu, dalam kondisi demikian, pertanyaannya menjadi pasangan calon gubernur mana yang paling banyak mendapatkan dukungan dari pemilih Jokowi? Namun, hasil survei menunjukkan, para pendukung Jokowi ternyata tersebar merata pada kedua pasangan calon.
Sebanyak 45,1 persen pendukung Jokowi menyatakan akan memilih Khofifah-Emil dan dalam jumlah yang relatif seimbang, 45,3 persen menyatakan memilih Saifullah-Puti (Grafik). Tidak tampak perbedaan yang signifikan menunjukkan, di Jawa Timur faktor Jokowi belum menjadi determinan yang membedakan preferensi pilihan responden.
Persoalan yang sama juga terbangun pada para pemilih Prabowo. Tidak kurang dari 44,5 persen pendukung Prabowo mengaku akan memilih pasangan Khofifah-Emil. Dalam proporsi yang tergolong seimbang, 46,5 persen mengaku akan memilih Saifullah-Puti.
Dengan kondisi yang terjadi, dapat disimpulkan pula baik Jokowi maupun Prabowo belum menjadi sosok utama yang dijadikan penarik dukungan bagi responden. Ruang persaingan antara pemilu presiden dan pilkada di Jawa Timur tampaknya masih berbeda.
Pola dukungan yang dinyatakan langsung oleh Prabowo bersama partainya, Gerindra, terhadap pasangan Saifullah-Puti tidak tampak signifikan berkaitan. Begitu pula posisi Khofifah sebagai bekas pembantu Jokowi di kabinet belum menjadi pembeda yang mampu menjadi daya tarik bagi para pemilih di Jawa Timur. (BESTIAN NAINGGOLAN/LITBANG KOMPAS)