Menantang Petahana di Kandang Banteng
Pemilihan Bupati Tulungagung pada Juni nanti akan diikuti oleh dua pasangan calon dengan basis dukungan politik yang relatif seimbang. Syahri Mulyo-Maryoto Birowo (Sahto) sang petahana yang didukung oleh PDI-P, partai pemenang pemilu legislatif di Tulungagung.
Sementara itu lawannya, pasangan Margiono-Eko Prisdianto yang tampil sebagai pendatang baru sekaligus penantang petahana juga memiliki basis dukungan politik yang kuat. Pasangan ini mampu meraih dukungan sembilan partai politik pemilik kursi di DPRD Kabupaten Tulungagung.
Inilah yang akan menjadi modal terkuat pasangan ini untuk mengalahkan calon petahana pada 27 Juni 2018. Konfigurasi persaingan dua pasangan calon ini menggambarkan peta kontestasi pilkada yang melibatkan pertarungan antara PDI-P sebagai partai pemenang pemilu dan partai penantang.
Sebagaimana diketahui, Kabupaten Tulungagung merupakan daerah eks Karesidenan Kediri yang masuk dalam tatar kultur Mataraman yang nasionalis-sekuler. Wilayah Mataraman ini sejak dulu sudah dikenal sebagai tulang punggung kemenangan PDI-P di Jawa Timur.
Jika Pemilu 2009 dan 2014 disandingkan untuk membaca peta kekuatan politik di Tulungagung, PDI-P masih menjadi partai paling favorit di kabupaten ini. Performa PDI-P sebagai partai dominan tidak tergeser meskipun perolehan kursi pada Pemilu 2014 berkurang satu kursi.
Selisih perolehan kursi antara partai pemenang dan partai posisi kedua terpaut lima kursi. Meski demikian, berkurangnya satu kursi PDI-P pada Pemilu 2014 menunjukkan penurunan kinerja jika dibandingkan dengan perolehan kursi partai-partai lain pada umumnya.
Partai Gerindra merupakan partai dengan performa terbaik pada Pemilu 2014 karena berhasil meraup 7 kursi. Partai besutan Prabowo Subianto ini mampu menambah 6 kursi dibandingkan perolehan kursi pada Pemilu 2009.
PKS dan PKB juga terbilang sebagai partai yang berhasil menambah satu kursi di DPRD Kabupaten Tulungagung. PPP yang pada Pemilu 2009 gagal meraih kursi, pada Pemilu 2014 berhasil mendapat satu kursi. Posisi Hanura, Demokrat, dan Golkar tetap stabil seperti perolehan pada Pemilu 2009, sementara PAN berkurang satu kursi.
Peta kontestasi
Pilkada Kabupaten Tulungagung menjadi ajang pembuktian kesaktian dukungan PDI-P yang mengusung petahana. Pilkada kali ini PDI-P menggandeng Nasdem yang hanya memiliki satu kursi di DPRD. Untuk diketahui, pada Pilkada 2013, pasangan Syahri Mulyo-Maryoto Birowo berhasil menang tanpa dukungan PDI-P dan partai-partai besar di Tulungagung.
Penantang petahana kali ini diajukan oleh gabungan sembilan parpol, yakni Gerindra, Hanura, PKB, Golkar, PAN, Demokrat, PKS, PPP, dan PBB. Sosok Margiono selama ini lebih dikenal sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pusat. Ia bahkan mengundang ketua PWI dari sejumlah daerah pada saat mengumumkan pencalonannya.
Pasangannya adalah Ketua Yayasan Paguyuban Kepala Desa Tulungagung Eko Prisdianto. Eko merupakan Kepala Desa Kendalbulur, salah satu desa di Kecamatan Boyolangu, Tulungagung. Ia lebih dikenal sebagai dalang wayang kulit yang pementasannya tidak hanya terkenal di wilayah Tulungagung, tetapi juga Jawa Timur.
Dosen Jurusan Hukum Tata Negara dari IAIN Tulunggagung, Abdul Khair Wattimena, menyatakan, dari kalkulasi politik, Sahto unggul dibandingkan Margiono-Eko. Pada pilkada sebelumnya, Sahto menang dengan suara 49,9 persen padahal hanya didukung oleh PKNU, Patriot, dan Partai Demokrasi Pembaruan.
Saat itu Sahto mampu mengungguli tiga lawannya, yang diusung oleh koalisi partai besar. Seperti Isman-Tatang yang didukung PDI-P dan PKB serta Bambang-Anna yang diusung Golkar, Demokrat, dan Partai Kedaulatan. Abdul menilai, di atas kertas suara yang akan didulang pasangan yang direkomendasikan PDI-P pada pilkada kali ini akan lebih besar daripada sebelumnya karena basis yang sudah ada akan ditambah dengan basis PDI-P.
Abdul memandang perjalanan Margiono-Eko cukup sulit untuk mengalahkan petahana. Parpol dan basis di masyarakat tidak selalu linear. Bahkan, mesin partai belum tentu bekerja maksimal untuk mengawal suara. Namun, jika pasangan penantang memiliki logistik yang lumayan besar dan mengejar langkah yang sudah dilakukan lebih dahulu oleh petahana, bukan tidak mungkin fakta di atas kertas tersebut bisa berubah.
Ia menambahkan, parpol kerap mengabaikan dukungan basis. Institusi tersebut lebih mengutamakan pragmatisme dan logistik politik. Padahal, kekuatan kapital belum tentu memiliki basis politik yang kuat, yang terjadi malah mengorbankan nama-nama yang memiliki modal sosial di masyarakat.
Seperti Margiono yang kurang dikenal oleh masyarakat Tulungagung sebelum mencalonkan diri sebagai bupati. Namanya tiba-tiba muncul dan mendapat rekomendasi banyak parpol. Padahal, ia kurang memiliki investasi sosial di masyarakat lokal karena selama ini berkarier di tingkat nasional.
Berbeda halnya dengan Syahri Mulyo yang memang berkarier sebagai politisi. Berawal sebagai anggota DPRD Tulungagung periode 1999-2004 dan kemudian naik ke DPRD Jawa Timur periode 2004-2014. Tentunya ia sudah memiliki basis pendukung yang ajeg selama 15 tahun malang melintang di dunia politik Tulungagung.
Perbedaan kekuatan dari dua pasangan calon ini menunjukkan bahwa dukungan parpol tidak senantiasa menghasilkan kemenangan. Figur yang telah mengakar di masyarakat sebagai faktor yang juga memberi andil besar dalam meraup suara.
Kreasi anak muda
Generasi muda selalu memiiki caranya sendiri untuk berkarya, baik itu untuk urusan politik, pemerintahan, maupun memajukan daerahnya. Salah satu hal yang unik dari anak muda Tulungagung adalah akun media sosial yang mencuri perhatian, bernama kacamata_tulungagung di Instagram dengan jumlah pengikut sekitar 147.000 dan empat ribuan foto telah diunggah.
Jumlah pemuda di Tulungagung yang berusia 15-34 tahun adalah 147.453 orang dari 1.021.190 jiwa penduduk Kabupaten Tulungagung pada 2016. Dari akun ini mereka mendapat informasi seputar hal terkini yang terjadi di wilayahnya.
Tidak hanya yang berbau anak muda, seperti tempat nongkrong yang sedang digandrungi, acara di sekolah atau kampus, dan tempat wisata. Informasi seperti pohon tumbang, jadwal perpanjangan SIM keliling, dan kecelakaan lalu lintas juga dikabarkan.
Menariknya, isu politik daerah juga tidak luput dari perhatian mereka. Salah satunya adalah tentang debat Pilkada Tulungagung. Dengan bahasa daerah yang dibuat gaul sehingga akrab di mata anak muda, pengelola akun menanyakan apakah pengikut akun memiliki pertanyaan untuk para kandidat.
Ratusan komentar bermunculan berisikan pertanyaan untuk para kandidat seperti tentang infrastruktur, korupsi, dan pariwisata.
Isu pilkada ini sebetulnya sudah diangkat oleh kacamata_tulungagung semenjak penetapan pasangan calon bupati dan wakil bupati. Bahkan, pengelola akun pernah membuat polling di Instastories yang berisikan pertanyaan jika pilkada dilakukan hari ini siapa yang akan dipilih?
Aksi seperti ini patut diapresiasi untuk menarik partisipasi pemuda terhadap pesta demokrasi di daerahnya. Gaya pendekatan yang dibuat lebih santai dan khas kekinian tidak mengurangi makna politik itu sendiri. Hal ini juga menepis stigma bahwa anak muda apatis terhadap politik.
Perhatian pada UMKM
Kabupaten yang berjarak 154 kilometer dari ibu kota Provinsi Jawa Timur ini memiliki pengguna internet yang cukup besar. Berdasarkan data dari BPS Kabupaten Tulungagung, 73,68 persen masyarakat telah menggunakan telepon seluler dan 34,54 persen mengakses internet selama tiga bulan terakhir. Internet kini menjadi kebutuhan, khususnya bagi generasi muda untuk berkreasi.
Tokoh muda Tulungagung, Ayanafi menyatakan, arah anak muda di daerahnya adalah mengembangkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Internet berperan besar bagi mereka untuk memasarkan produk-produknya. Namun, sampai saat ini, jaringan internet gratis dari pemerintah masih minim di sejumlah lokasi. Perhatian pemerintah sejauh ini baru sampai di pusat layanan unit terpadu terkait pelayanan UMKM.
Sementara itu, hal lain yang dibutuhkan adalah pendampingan untuk memasarkan produk mereka. Selama ini organisasi masyarakat yang melakukan pembekalan pendampingan. Harapannya pemimpin Tulungagung selanjutnya dapat memperhatikan hal ini.
Menjadi pengusaha memang bukan pekerjaan utama di daerah ini. Jenis pekerjaan terbesar di Tulungagung sebanyak 36,4 persen berada di sektor pertanian, kehutanan, perikanan, dan penggalian. Namun, berdagang bukannya tidak dilirik sama sekali oleh warganya. Terdapat 242 usaha perdagangan kecil dan 67 usaha menengah yang sudah dicatat BPS Tulungagung tahun 2016.
Berdasarkan data dari Sakernas 2015, ada 16,67 persen warga Tulungagung yang berusaha sendiri dan 21,6 persen berusaha dengan bantuan tenaga kerja lepas. Menggeliatnya UMKM sudah tentu akan menciptakan lapangan kerja mengingat terdapat 21.599 warga Tulungagung yang masih berstatus sebagai pengangguran terbuka pada 2016.
Selain itu, meningkatnya jumlah wirausaha akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi Kabupaten Tulungagung yang angkanya terus menurun semenjak tahun 2012. Pada awal 2012 pertumbuhan ekonomi Tulungagung sebesar 6,47 persen, sementara tahun 2016 berada di angka 5,02 persen. Jika dibandingkan dengan kabupaten/kota yang dulu masuk Karesidenan Kediri, pertumbuhan ekonomi Tulungagung selama kurun waktu tersebut berada di peringkat kedua setelah Kota Blitar.
Penambangan pasir
Salah satu isu lingkungan hidup yang berkembang di Tulungagung adalah penambangan pasir liar di daerah Ngantru. Kecamatan yang berlokasi di sebelah utara ibu kota kabupaten ini di sepanjang selatan dan baratnya dilalui aliran Sungai Brantas.
Aksi ilegal yang dilakukan oleh masyarakat dan beberapa pengusaha ini disorot banyak pihak karena menimbulkan dampak kerusakan lingkungan. Abdul Khair menyatakan, tahun 2016-2017 pemerintah daerah sudah mengeluarkan imbauan untuk menghentikan penambangan liar. Namun, imbauan ini dikhawatirkan berdampak pada keberlangsungan pembangunan di daerah Tulungagung karena pasir merupakan bahan yang langka dan harganya terbilang tinggi.
Ketika Kompas berkunjung ke wilayah Ngantru masih terlihat masyarakat yang melakukan aktivitas penambangan pasir. Larangan hanya berlaku bagi penambang pasir dengan mesin, sedangkan penambang pasir tradisional tetap boleh melakukan ativitas ini. Sungai Brantas memang merupakan wewenang pemerintah provinsi, tetapi dampaknya tentu akan mengenai wilayah dan warga Tulungagung.
Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan oleh pemimpin Tulungagung terpilih nantinya. Tidak hanya pembangunan fisik, tetapi juga sumber daya manusia. Pilkada serentak pada Juni nanti adalah saat warga Tulungagung menentukan arah pembangunan dan kemajuan daerah mereka. (IDA AYU GRHAMTIKA SAITYA/ LITBANG KOMPAS)