Melacak Pemimpin untuk Daerah ”Duta”
Terletak sekitar 70 km di selatan Palembang, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, menampilkan wajah kawasan yang lebih agraris ketimbang Palembang. Menuju Kabupaten OKI dari Palembang lebih mudah melalui Tol Palembang-Indralaya (Palindra) dari arah kawasan stadion Jakabaring, Palembang, menuju Ogan Ilir.
Wajah kepadatan kota Palembang segera berubah menjadi kawasan pinggiran kota dengan lahan terbuka, vegetasi tanaman perkebunan di sisi kanan kiri jalan. Kabupaten OKI termasuk salah satu kawasan penghasil komoditas karet, duku, dan durian yang menonjol. Duku dari Komering, misalnya, dikenal berkualitas tinggi dengan cita rasa manis yang kuat.
Memasuki kawasan Ogan Ilir, tetangga Ogan Komering Ilir, ciri khas rumah panggung bertingkat dari kayu mulai mendominasi bentuk tempat tinggal warga. Pusat ibu kota OKI, Kayu Agung, mencirikan kawasan kota kecil dengan aktivitas perekonomian yang kurang begitu ramai.
Data BPS memang menunjukkan, ekonomi daerah ini memang tidak digerakkan oleh perdagangan sebagai sektor dominan. Merunut dari produk domestik regional bruto (PDRB) kabupaten periode 2010-2016, sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan menjadi penyumbang terbesar (rata-rata 60 persen) kapasitas perekonomian di wilayah ini.
Di sektor berikutnya, penyumbang aktivitas perekonomian adalah sektor konstruksi (12 persen). Perdagangan hanya mencakup rata-rata 10 persen PDRB kabupaten. Hal ini tecermin dari luas lahan pertanian yang cukup masif.
Lahan sawah, misalnya, mencapai luas 201.000 hektar dan menjadi salah satu kawasan penanaman padi terluas di Sumsel. Luas lahan karet mencapai 103.000 hektar lebih, sementara lahan kelapa sawit rakyat relatif kecil. Tak heran saat ada rencana impor beras pada awal tahun 2018, kabupaten ini justru surplus produksi beras.
Jumlah produksi beras Kabupaten OKI pada 2017 mencapai 458.705 ton. Angka itu surplus sebanyak 361.674 ton setelah dikurangi konsumsi beras penduduk OKI yang ”hanya” sekitar 97.031 ton setahun (Tribunnews.com, 18/1/2018).
Lahan perkebunan sawit yang masif justru dikuasai perusahaan perkebunan, yang pada tahun 2016 tercatat menguasai lahan gambut paling tidak 570.000 hektar. Kondisi tersebut mengakibatkan munculnya isu penguasaan lahan gambut dan isu lingkungan hidup.
Pada peristiwa kebakaran lahan gambut tahun 2015, sebagian besar lahan konsesi perusahaan-perusahaan tersebut terbakar. Bahkan, Presiden Jokowi sempat mencabut izin salah satu perusahaan perkebunan saat dia mengunjungi lokasi kebakaran di Kecamatan Pedamaran, OKI (www.mongabay.co.id).
Duta Komering
Bagi penduduk Sumatera Selatan dan sekitarnya, kawasan OKI, khususnya Kayu Agung, terkenal sebagai kawasan ”keras” dari segi perangai warganya. Tak hanya keras dalam hal pendirian, tetapi lebih-lebih dalam hal perjuangan untuk bertahan hidup.
Selain dikenal sebagai daerah dengan sifat ”memberontak” yang kuat, orang awam kerap mengasosiasikan Kabupaten OKI dengan para ”duta”, sebutan bagi para penilep/pelaku penggelapan yang beraksi di mancanegara.
Konon untuk menjadi seorang duta tidak mudah. Di samping harus memiliki ”pegangan” khusus dari dukun, juga harus mampu berpenampilan intelek dan perlente sebab duta tidak sama dengan penyamun. Mereka pun pantang beroperasi di negeri sendiri. Ada semacam hukum tidak tertulis yang membuat mereka berpantang seperti itu.
Agus S (40), warga Mangunjaya, Kayu Agung, membenarkan alasan di balik pandangan umum tersebut. Persoalan ekonomi menjadi alasan utama warga Kayu Agung merantau keluar daerah, termasuk melakukan aksi seperti Duta. ”Untuk survive supaya bisa tetap hidup, apa pun terpaksa dilakukan,” kata Agus.
Pernyataan itu terkait dengan pembangunan di OKI yang dinilai jalan di tempat dan tidak memberi banyak pilihan pekerjaan. Menurut dia, pembangunan yang masif hanya terjadi pada saat daerah itu dipimpin Bupati Ishak Mekki. ”Peninggalan Pak Ishak yang menonjol adalah jembatan Komering,” kata Agus.
Sebagai contoh, Juni 2017 polisi Diraja Malaysia menembak mati tiga warga OKI dalam baku tembak di persimpangan Jalan Parit Bunga, Tangkak, Malaysia. Polisi Malaysia meyakini ketiga orang itu terlibat dalam perampokan nasabah bank di Johor sebelumnya, dengan nilai kerugian 70.000 ringgit Malaysia.
Meski sebenarnya tak ada catatan resmi soal ”kinerja” kejahatan sebagaimana yang acap dituduhkan kepada warga OKI tersebut, tak ayal membuat pendatang baru yang hendak pindah ke OKI sempat kelimpungan dan ragu-ragu.
Tokoh masyarakat OKI, Raden Muhamad Edi Kary, misalnya, merupakan saksi hidup bagaimana sebenarnya karakteristik orang OKI sebenarnya.
”Sebetulnya ketakutan dan pandangan orang luar itu hanya isu karena selama 50 tahun saya tinggal di sini tidak pernah mengalami hal yang ditakutkan itu, entah kriminal atau konflik lainnya,” kata Edi.
Edi Kary mengklaim bahwa ketakutan tersebut lebih merupakan isu yang sengaja ditiupkan untuk tujuan tertentu yang terkait dengan persaingan antarwilayah.
Peta kontestasi
Ada tiga pasangan bakal calon bupati dan bakal cawabup di ”Bumi Bende Seguguk” ini. Pasangan nomor urut satu, yakni H Iskandar SE- H Djafar Shodiq yang diusung PAN, PKB, Nasdem, Demokrat, dan PBB. H Iskandar merupakan bupati petahana sedangkan Dja’far Shodiq adalah kader Partai Golkar.
Dja’far merupakan anggota DPRD OKI periode 2014-2019 dan satu-satunya tokoh lintas timur dari Kecamatan Mesuji, OKI. Mantan Kades Desa Makarti Mulya Kecamatan Mesuji ini dikenal luas di masyarakat Lintas Timur meliputi Kecamatan Mesuji, Mesuji Raya, Mesuji Makmur, Lempuing, dan Lempuing Jaya hingga ke Pedamaran Timur.
Sosok ini tampaknya dipasang untuk melengkapi elektabilitas bupati petahana Iskandar SE, yang dalam Pilkada 2013 elektabilitasnya sudah cukup kuat di sisi barat Kabupaten OKI tetapi lemah di wilayah kabupaten sisi Lintas Timur (arah Lampung).
Iskandar memanfaatkan kuatnya sentimen warga OKI kepada mantan bupati yang juga putra daerah, Ishak Mekki. Ishak Mekki adalah mantan Bupati OKI dua periode yang kini menjadi Wakil Gubernur Sumsel dan sekaligus maju di Pemilihan Gubernur 2018.
Pasangan calon nomor urut dua adalah Abdiyanto H Fikri SH-Made Indrawan yang diusung mandiri oleh PDI-P. Abdiyanto dan Made merupakan Ketua dan Bendahara DPC PDI-P Kabupaten OKI. Keduanya juga anggota DPRD Kabupaten OKI untuk periode ketiga.
PDI-P adalah partai pemenang pemilu legislatif 2014 di OKI (19,82 persen) dan kerap memenangi pemilu legislatif. Kawasan OKI tampaknya memiliki basis pemilih partai banteng yang cukup militan.
Salah satunya Asep (50), warga Kayu Agung. Ia mengatakan, ”Kalau soal pilkada, kami pilih orang. Kalau soal partai, kami dari dulu tetap pilih PDI-P karena sudah turun-temurun di keluarga,” kata Asep.
Dengan militansi semacam ini, tak heran dalam pemilu kepala daerah kali ini, PDI-P cukup percaya diri memajukan kader parpol sendiri untuk bertanding tanpa berkoalisi dengan parpol lain.
Di atas kertas, pasangan ini tampaknya berupaya menghimpun massa pemilih PDI-P yang memang cukup militan di daerah ini. Namun, basis suara paslon ini diperkirakan cukup sempit jika melihat segmen keduanya yang tidak mewakili proporsi etnisitas OKI yang didominasi suku Ogan, Komering, dan para pemukim Jawa-Bali.
”Segmen pasangan Abdiyanto cukup sempit karena hanya menyasar kalangan nasionalis dan Jawa,” kata RM Edi Kary.
Dari segi idealisme, PDI-P juga tampak cukup percaya diri mengusung tema kebinekaan dengan menyodorkan Made Indrawan yang beragama Hindu.
Adapun pasangan calon nomor urut tiga adalah H Azhari Effendi SH-H Qomarus Zaman SPd yang diusung Golkar, Hanura, Gerindra, dan PKS. Azhari merupakan pengusaha di bidang perkebunan, sedangkan Qomarus adalah mantan Kadis Pendidikan OKI.
Pengusaha Azhari merupakan putra daerah yang kembali dari merantau untuk bertanding memperebutkan kursi bupati. Dia berhasil meraih dukungan Partai Golkar yang justru tidak mengajukan kadernya sendiri. Di atas kertas, pasangan ini menjadi pesaing kuat petahana jika merujuk pada penguasaan mesin partai.
Menilik kekuatan mesin partai, pasangan Azhari-Qomarus yang menguasai 17 kursi DPRD OKI, hanya selisih dua kursi dari pasangan petahana Iskandar-Dja’far Shodiq yang menguasai 19 kursi DPRD. Karena itu, sebagian warga menilai kekuatan petahana masih cukup dominan saat ini.
Sementara itu, dukungan mesin partai PDI-P yang hanya memiliki 9 kursi DPRD mesti bekerja ekstra keras untuk mempromosikan pasangan nomor urut dua Abdiyanto-Made Indrawan.
Pembangunan wilayah
Meski tingkat Indeks Pembangunan Manusia OKI menunjukkan angka relatif rendah ( 65,44), di lapangan tidak mudah menemukan jejak kemiskinan yang parah di daerah ini. Meski dalam tataran sederhana, kehidupan warga umumnya di OKI terbilang berkecukupan.
Sejauh ini fokus pemerintahan bupati petahana Iskandar, yaitu pembangunan di bidang infrastruktur dasar, listrik, sekolah, pelayanan kesehatan, dan pembangunan desa, tampaknya cukup membuahkan hasil.
Dari data BPS terpantau persentase penduduk miskin di daerah ini relatif tetap pada kisaran 15 persen per tahun dan mengalami pengurangan tetapi lambat. Kondisi ini tampaknya linier dengan karakteristik aktivitas ekonomi daerah dan topografi wilayah yang relatif berat.
Lebih dari tiga perempat kawasan OKI merupakan kategori tanah rawa, yang menyebabkan tidak mudah mengembangkan infrastruktur jalan yang awet di kawasan ini. Bupati Iskandar, contohnya, membangun Jalan Kayuagung Sepucuk Pedamaran Timur yang diselesaikan pada tahun 2017.
Meski demikian, jalan raya yang baru saja dibangun ini ternyata tak diimbangi perencanaan daerah yang komprehensif dan terintegrasi. Dari laman berita Tribunnews.com, Minggu (25/3/2018), diberitakan, jalan raya ini (jalur Sepucuk Kayuagung-Pedamaran Timur) tergenang luapan air Sungai Lebak purun setinggi 60 cm di berbagai segmen.
Luapan air ini menggenangi badan jalan sehingga jalan beton cor yang baru dibangun kembali hancur dan rusak parah. Tak hanya jalan raya, kawasan permukiman juga rentan terendam banjir.
Perkampungan Tanjung Serang yang masih merupakan wilayah ibu kota Kabupaten OKI, Kayu Agung, juga dilanda banjir, Kamis (29/3/2018). Kawasan di pinggiran Sungai Komering itu tergenang air setinggi pinggang, dengan kerugian sebanyak sekitar 750 rumah terendam.
Analisis sementara diperkirakan karena dam penahan dinding Sungai Komering lebih rendah dari jalan. Meski demikian, sejumlah warga menyalahkan berbagai proyek pembangunan tol dan kanalisasi air di perkebunan sawit yang telah menyebabkan air dari sungai-sungai besar di OKI tak punya jalur yang cukup sehingga luberannya melimpas keluar badan sungai.
Tampaknya, kebutuhan untuk pembangunan infrastruktur dan perencanaan pembangunan yang lebih terintegrasi menjadi kebutuhan mendesak kabupaten ini. Dengan demikian, berbagai produk unggulan daerah akan mudah dipasarkan dan pada gilirannya memberikan lapangan kerja dan kesejahteraan. Fenomena ”duta” dengan sendirinya akan meredup dan kembali menjadi warga yang baik. (TOTO SURYANINGTYAS/LITBANG KOMPAS)