Mencari Sosok Penyetara Ende
Menelusuri jalur utara jalan Trans Flores yang melintasi Kabupaten Ende seperti melintasi kawasan yang telantar. Kondisi jalanan rusak parah dengan kondisi yang sulit dilalui kendaraan bermotor.
Ketika Kompas melintasi ruas jalan Maujawa yang menghubungkan Kota Maumere dengan Maurole, laju sepeda motor harus dikurangi lantaran aspal yang menempel di permukaan jalan sudah terkelupas dan menyisakan batu-batu kali yang bertumpuk-tumpukan di permukaan tanah.
Ruas jalan yang berbatasan langsung dengan ujung tebing dan bibir laut Flores ini hanya menyisakan ruang untuk dilewati satu minibus.
Menurut warga yang sering melintasi ruas-ruas jalan tersebut wilayah mereka seperti tidak bertuan karena tidak pernah diperhatikan oleh pemerintah. Kesan ini sangat terasa ketika melintasi beberapa ruas jalan di Kecamatan Maurole dan Kecamatan Maukaro.
Wilayah utara seperti tidak bertuan karena tidak pernah diperhatikan oleh pemerintah.
Kontur jalan yang bergelombang ini diperparah dengan adanya lubang-lubang di tengah jalan. Beton penahan bahu jalan di sisi utara amblas karena dihantam oleh ombak laut Flores yang cukup besar. Kini, beton tersebut hanya menyisakan batu dan puing-puing yang berserakan di bibir pantai.
Menurut para pengemudi bus lintas kabupaten atau mobil sewaan, jalur utara sebenarnya favorit karena jarak tempuh yang lebih dekat dan kondisi medannya yang landai dan lurus.
Namun kondisi jalan yang rusak kerap membuat mereka lebih memilih untuk memutar ke selatan meskipun jarak tempuhnya lebih jauh dan medannya penuh tanjakan dan berkelok-kelok.
“Sayang mobilnya. Lewat utara mobilnya pasti ada yang rusak karena jalan rusaknya tidak hanya satu tempat. Ada tiga sampai empat tempat, mulai mau masuk Maurole sampai perbatasan Nagekeo,” tutur Muhammad (43) pemilik mobil sewa yang kerap hilir mudik mengantar penumpang dari Maumere hingga Labuan Bajo.
Kerusakan jalan yang paling parah dilintasi Kompas adalah jalur Maukaro (Ende) – Kaburea (Nagekeo). Sepanjang jalan dari Kampung Nabe hingga Kebaringa jalan yang masih kelihatan beraspal hanya beberapa ratus meter.
Selepas itu permukaan jalannya hanya berupa batu-batu kali yang berserakan di tengah jalan. Sepanjang perjalanan kurang lebih satu jam hanya ada satu pengendara motor yang berpapasan dengan Kompas.
Kesenjangan Utara
Kawasan utara Kabupaten Ende merupakan daerah-daerah yang berada di jalur trans Flores bagian utara di sepanjang pantai Laut Flores. Ada 4 kecamatan di kawasan ini, yaitu Kota Baru, Maurole, Wewaria, dan Maukaro.
Secara fisik, pembangunan di empat kecamatan ini tidak semaju kawasan selatan. Indikator nyatanya adalah kondisi jalan trans Flores yang terputus di beberapa titik karena kondisinya yang rusak.
Bangunan fisik pendukung kegiatan ekonomi seperti pasar, pelabuhan, terminal, dan kantor bank boleh dibilang masih jarang dilihat di perlintasan jalan dengan panjang kurang lebih 150 kilometer.
Pengamatan Kompas di sepanjang jalur Kota Baru – Maukaro, hanya ada satu bangunan BRI unit Maurole dengan ATM, pasar plus pelabuhan penyeberangan di Ropa, dan beberapa titik yang menjadi tempat jual beli warga.
Secara umum, jalur utara terkesan lamban dalam kegiatan ekonomi sehingga kondisi daerahnya sepi. Alih-alih mencari fasilitas umum, rumah makan dan toko kelontong saja bisa dihitung dengan jari.
Kebutuhan BBM dijual langsung oleh warga dalam botol minuman kemasan berukuran 1 liter dengan harga Rp 12.000-Rp 20.000. Tidak ada satu pun SPBU yang tersedia di sepanjang jalur ini.
Dari empat kecamatan yang ada di jalur ini, Kecamatan Maurole yang terbilang paling maju dan paling bergairah kehidupan ekonominya. Kehadiran pasar dan pelabuhan nelayan di pantai Ropa telah mendorong kegiatan perdagangan antarwarga bahkan dengan beberapa daerah di sekitarnya.
Kondisi infrastruktur di Maurole yang lebih baik membuat mobilisasi warga ke daerah-daerah di sekitar Maurole lebih lancar. Bahkan, untuk kegiatan ekonomi yang lebih besar warga bisa menjangkau daerah-daerah yang lebih maju di jalur selatan hingga ke kota Ende.
Dalam perencanaan pembangunan Ende, Maurole merupakan salah satu kecamatan yang diunggulkan sebagai kandidat ibu kota Kabupaten Ende, jika Kota Ende dimekarkan menjadi daerah otonom baru sebagai kotamadya.
Maurole merupakan salah satu kecamatan yang diunggulkan sebagai kandidat ibu kota Kabupaten Ende
Konfigurasi Sosial
Kabupaten Ende merupakan daerah dengan keragaman sosial dari segi etnis dan agama. Kabupaten yang letaknya di bagian tengah Pulau Flores ini memiliki luas 2.047 kilometer persegi yang terdiri dari 21 kecamatan, 255 desa, dan 23 kelurahan dengan total penduduk 282 154 jiwa pada 2016.
Masyarakat adat di Kabupaten Ende terdiri dari tiga etnis yakni etnis Ende, etnis Lio dan etnis Nage yang merupakan penduduk asli Kabupaten Ende.
Pengelompokan etnis ini diuraikan dalam naskah akademik Rancangan Peraturan Daerah Tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Ende yang dibawakan oleh tim penyusun dari Universitas Flores pada 24 Oktober 2015.
Ketiga etnis ini dikelompokkan berdasarkan perspektif bahasa daerah yang digunakan masyarakat adat di Kabupaten Ende terdapat tiga kelompok besar yakni, bahasa Jao (Etnis Ende), Aku (Etnis Lio) dan Bahasa Ngao (Etnis Nage) untuk menyebutkan saya.
“Dulu Belanda mengelompokan masyarakat Flores ke dalam beberapa kelompok etnis hanya dari perbedaan penyebutan kata saya dalam tiap-tiap bahasa daerah,” kata pengamat sosial budaya Nagekeo Cyrilus Bau Engo (60) di Boawae, Nagekeo.
Secara geografis ketiga etnis ini menyebar di bagian barat, tengah, timur dan utara kabupaten Ende. Etnis Nage berada di bagian barat hingga ke perbatasan Kabupaten Nagekeo. Etnis Ende di bagian tengah (Kota Ende) hingga ke bagian timur. Sementara etnis Lio berada di sebelah utara hingga perbatasan Kabupaten Sikka.
Selain ketiga etnis tersebut terdapat beberapa etnis pendatang yang mendiami Kota Ende, dan wilayah-wilayah lain di seputar Kabupaten Ende. Etnis pendatang ini didominasi oleh suku Jawa, Bugis, Makassar, Buton, China, Timor, dan etnis-etnis lain yang ada di Pulau Flores.
Kehadiran suku-suku pendatang yang bisa berbaur dengan penduduk asli membuat Ende menjadi salah satu daerah yang memiliki tingkat keragaman yang tinggi di Flores.
Dari segi agama, mayoritas penduduk Kabupaten Ende adalah penganut agama Katolik yang tersebar secara merata di 21 kecamatan. BPS NTT mencatat, pada 2016 jumlah penganut agama Katolik mencapai 72,7 persen. Agama Katolik sudah dianut sejak awal abad XVI bersamaan dengan kegiatan penyebaran agama Katolik yang dilakukan oleh para misionaris Dominikan dari Portugis.
Agama Islam memiliki penganut yang cukup besar pula disini. Secara statistik, penganut Islam di Ende mencapai 25,4 persen dan tersebar secara variatif di seluruh kecamatan. Konsentrasi penganut Islam terbanyak berada di Kecamatan Pulau Ende, Ende Selatan, Ende Utara, dan Ndori. Di Kecamatan Ende Timur, Ende Tengah, dan Wolowaru proporsi penganut Islam relatif berimbang dengan penganut Katolik.
Menurut Sosiolog Universitas Muhammadiyah Kupang Ahmad Atang, secara kultur karakter umat Islam di Ende menyerupai karakter penganut Katolik. Mereka sama-sama penduduk asli namun menerima pengaruh agama yang berbeda.
“Islam di Ende merupakan Islam pribumi karena agama ini dianut langsung oleh penduduk pribumi. Karena itu secara kultur hampir tidak bisa dibedakan dengan penduduk asli Kabupaten Ende yang beragama Katolik,” ungkap Ahmad.
Konstelasi Pilkada
Setelah melalui proses penyaringan dalam bursa calon Bupati Ende sejak tahun lalu, hanya empat sosok yang sukses melenggang sebagai calon bupati dan calon wakil bupati untuk pemilihan bupati pada 27 Juni 2018. Empat sosok yang terhimpun menjadi dua pasangan calon tersebut adalah Don Bosco Wangge yang berpasangan dengan Munawar dan Marsel Petu yang berpasangan dengan Djafar Achmad.
Pasangan calon pertama diusung oleh Partai Gerindra dan PAN dengan 6 kursi, sementara pasangan kedua diusung oleh Partai Golkar, PDIP, PKB, Nasdem, Demokrat, PKS, dan PKPI. Tujuh partai ini memboyong 21 kursi yang mereka miliki untuk mendukung calon paslon petahana.
Don Bosco Wangge dan Marsel Petu sebetulnya sosok lama yang pernah berkompetisi dalam Pilbup Ende tahun 2008. Saat itu Wangge yang berpasangan dengan Achmad Mochdar bisa mengungguli 6 paslon lainnya termasuk Marsel dengan pasangannya Stefanus Tani Temu. Wangge unggul dengan 41,94 persen dukungan suara. Sementara Marsel hanya meraup dukungan suara sebesar 8,71 persen.
Kedua sosok ini kembali bertarung dalam Pilbup Ende tahun 2013 yang diikuti oleh 4 pasangan calon. Saat itu calon bupati petahana Don Bosco Wangge menggandeng wakil yang baru, yaitu Dominikus M Mere. Sementara Marsel Petu maju dengan menggandeng Djafar Achmad yang mewakili elemen umat Islam di Ende.
Persaingan kedua tokoh ini untuk menjadi orang nomor satu di Kabupaten Ende saat itu terbilang sengit karena kontestasi di antara mereka tidak tuntas dalam satu putaran. Pada putaran kedua, posisi Don Bosco Wangge-Dominikus M Mere berhasil digoyang oleh penantangnya. Hasil akhir pilbup yang diumumkan oleh KPU menempatkan Marsel Petu-Djafar Achmad sebagai pemenang Pilbup Ende.
Wangge dan pasangannya berhasil meraih dukungan sebanyak 45,89 persen suara, sementara Marsel Petu-Djafar Achmad bisa meraup hingga 54,11 persen. Dengan selisih perolehan suara yang relatif jauh ini KPU menetapkan Marsel Petu-Djafar Achmad sebagai pemenang Pilbup Ende tahun 2013.
Pada Pilbup Ende 2018 ini masyarakat melihat pertarungan yang seru akan terjadi kembali karena kedua sosok ini sudah menjadi rival politik selama dua kali pilkada. Rivalitas keduanya kembali akan sengit karena KPU hanya meloloskan kedua pasangan ini.
Ini akan menjadi pertarungan head to head antara Don Bosco Wangge yang kalah tahun 2013 dengan Marsel Petu yang ingin melanjutkan kekuasaannya sebagai bupati satu periode lagi.
Pertarungan head to head antara Don Bosco Wangge yang kalah tahun 2013 dengan Marsel Petu
Anggota KPU Kabupaten Ende, Olimpius Desrin yakin bahwa baik Wangge maupun Marsel tidak akan mengulur peluang mereka untuk menang. Wangge yang pernah menjadi Bupati Ende periode 2008-2013 pasti akan memanfaatkan semua sumber daya yang dimiliki agar bisa meraih kembali jabatan tersebut.
Sementara Marsel yang sedang menjabat bupati pun akan melakukan berbagai upaya agar jabatan bupati bisa dilanjutkan kembali pada periode kedua.
Jika melihat pola kontestasi antara Don Bosco Wangge dengan Marsel Petu sejak Pilbup Ende 2008, konfigurasi calon yang diusung selalu memperhitungkan memperlihatkan keterwakilan etnis dan wilayah. Don Bosco Wangge merepresentasikan sosok dari etnis Lio yang berada di sebelah utara, sementara Marsel Petu merepresentasikan sosok dari etnis Ende bagian selatan.
Untuk pendamping mereka, terutama dalam pilbup 2018 ini baik Munawar (wakil untuk Wangge) maupun Djafar Achmad (wakil dari Marsel) sama-sama berasal dari Ende Utara dan merepresentasikan umat Islam.
Pemilihan cawabup dari kawasan utara yang didominasi umat Islam diperkirakan sebagai strategi bagi Wangge dan Marsel untuk meraih pemilih Islam yang secara kuantitatif mayoritasnya berada di Ende bagian utara.
Pembangunan Daerah
Laju pembangunan Kabupaten Ende selama beberapa tahun terakhir ini terbilang stagnan karena sektor-sektor kegiatan ekonomi yang menopang pembangunan daerah bergerak lamban. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB yang menjadi indikator dinamika kegiatan sektor-sektor ekonomi di Kabupaten Ende terlihat mandek, terutama sejak tahun 2014.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Ende merekam laju pertumbuhan PDRB (berdasarkan lapangan usaha) daerah ini di angka 5,01 persen. Angka ini terpaut 0,4 persen di bawah laju pertumbuhan PDRB Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Tahun 2015 laju pertumbuhan PDRB tercatat pada angka 5,09 persen atau meningkat 0,9 persen. Peningkatan ini bahkan melampaui laju PDRB NTT yang hanya mencapai 5,02 persen. Sayangnya, laju pertumbuhan ini kembali melorot di angka 5,06 persen pada 2016 sementara laju pertumbuhan PDRB provinsi meningkat drastis di angka 5,18 persen.
Laju PDRB yang fluktuatif dalam kurun waktu 2014-2016 tersebut mengindikasikan dinamika kegiatan ekonomi yang kurang stabil sehingga memengaruhi kinerja PDRB kabupaten secara menyeluruh.
Sektor pertanian dan perdagangan (besar dan eceran) merupakan sektor yang mengalami penurunan selama tiga tahun ini. Padahal, kedua sektor ini menjadi tulang punggung kegiatan ekonomi masyarakat.
Jika laju pertumbuhan ini dipetakan secara menyeluruh sejak Kabupaten Ende dipimpin oleh bupati hasil pilkada langsung tahun 2008, laju pembangunan daerah saat ini bisa dikatakan lebih lamban dibandingkan dengan periode sebelumnya. Laju pertumbuhan PDRB tahun 2011-2013 menunjukkan angka peningkatan yang positif dari 5,12 persen pada 2011 menjadi 5,33 persen pada 2013.
PDRB yang meningkat secara konsisten selama 3 tahun tersebut memperlihatkan angka laju pertumbuhan yang positif meskipun besaran angka pertumbuhannya masih di bawah angka laju pertumbuhan PDRB Provinsi NTT.
Sebagai perbandingan, laju pertumbuhan PDRB NTT pada 2011 berada di angka 5,67 persen, turun menjadi 5,46 persen pada 2012, dan turun lagi menjadi 5,41 persen pada 2013.
Kondisi yang berbeda terjadi pada sektor pembangunan kualitas manusia yang memperlihatkan tren kenaikan yang selalu lebih tinggi dibanding provinsi. Angka indeks pembangunan manusia (IPM) Kabupaten Ende dari tahun 2011 hingga 2016 memperlihatkan peningkatan yang cukup baik, dari 62,78 menjadi 65,74.
Sebaliknya, IPM NTT juga memperlihatkan peningkatan pada kurun waktu yang sama. Namun, peningkatan tersebut berjalan relatif lamban yang bisa dilihat dari angka IPM tahun 2011 sebesar 60,24 persen. Hingga tahun 2016 IPM provinsi hanya mentok di angka 63,13. Dengan kata lain, laju IPM Kabupaten Ende bergerak lebih pesat ketimbang IPM Provinsi NTT.
Isu kesenjangan pembangunan ekonomi antara kawasan selatan dan utara harus segera ditanggapi oleh para calon bupati yang bertarung sekarang. Boleh jadi pertumbuhan pembangunan Kabupaten yang mulai lamban selama beberapa tahun terakhir ini dipicu oleh kelambanan mobilisasi orang dan barang lantaran infrastruktur jalan yang rusak.
Jalan trans Flores memang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat namun Pemkab Ende bisa berkontribusi membangun fasilitas umum yang lebih memadai dan mudah terjangkau untuk merangsang kegiatan ekonomi warga. (SULTANI/LITBANG KOMPAS)