Di Bawah Bayang-bayang Politik Uang
Bawaslu RI pada Februari 2018 menyatakan bahwa Provinsi Lampung merupakan daerah paling rawan politik uang ketiga di Indonesia dalam pelaksanaan Pilkada 2018. Pernyataan ini bukan tanpa dasar.
Pengalaman Pemilihan Gubernur Lampung 2014 yang diduga kental dengan praktik politik uang merupakan alasan kuat untuk memberikan peringatan tersebut.
Pilgub Lampung 2014 diwarnai oleh dugaan aksi pembagian uang dan barang oleh pasangan calon yang memenangi kontestasi, yaitu Ridho Ficardo-Bachtiar Basri. Seperti halnya Pilkada 2018, saat itu kontestasi diikuti empat pasang calon, yaitu Berlian Tihang-Mukhlis Basri, Ridho Ficardo-Bachtiar Basri, Herman HN-Zainudin Hasan, dan Alzier Dianis Thabrani-Lukman Hakim.
Saat itu, pasangan calon Herman HN-Zainudin Hasan yang menduduki peringkat kedua dalam perolehan suara menggugat kemenangan Ridho Ficardo-Bachtiar Basri ke Mahkamah Konstitusi karena menduga kemenangan itu disokong oleh praktik pembelian suara dengan cara pembagian uang dan barang.
Meski gugatan itu kalah karena MK menganggap tidak cukup bukti, tiga pemimpin Bawaslu Lampung mendapat sanksi administrasi berupa peringatan keras dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). DKPP menilai tiga pemimpin Bawaslu Lampung telah melanggar kode etik sebagai pengawas pemilu dengan tidak menangani dugaan pelanggaran pembagian uang dan barang.
Kasus pembelian suara lewat pembagian uang dan barang tersebut ditengarai berkaitan dengan Sugar Group Company (SGC), pemilik perkebunan dan produsen gula terbesar di Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Data di laman Asosiasi Gula Indonesia menyebutkan, perkebunan tebu SGC membentang luas lebih dari 65.00 hektar di Kabupaten Lampung Tengah dan Tulang Bawang.
SGC diduga membutuhkan jaminan untuk memperpanjang izin hak guna usaha (HGU) perkebunannya di Lampung. Salah seorang tokoh yang menghubungkan SGC dengan Ridho Ficardo-Bachtiar Basri adalah Fauzi Thoha, salah satu direktur SGC yang juga ayah kandung Ridho Ficardo.
Riset yang dilakukan Ward Berenschot dan Darmawan Purba seperti tercantum di laman Inside Indonesia pada 3 Juli 2014 menyebutkan SGC mengeluarkan dana sekitar Rp 500 miliar untuk kampanye Ridho Ficardo-Bachtiar Basri.
Saat itu, selain membagikan paket 2 kilogram gula dengan tempelan foto Ridho Ficardo-Bachtiar Basri ke seantero Lampung, pasangan ini juga membagikan uang Rp 50.000 kepada pemilih menjelang pencoblosan, menyelenggarakan konser musik, dan pertunjukan wayang orang dengan dalang terkenal dari Jakarta.
Kontestasi
Pilgub Lampung 2018 diikuti empat pasang calon, yaitu pasangan petahana Ridho Ficardo-Bachtiar Basri, Herman HN-Sutono, Arinal Djunaidi-Chusnunia Chalim, dan Mustafa-Ahmad Jajuli.
Di atas kertas, dukungan mesin politik ke empat pasang calon hampir sama kuatnya. Pasangan nomor urut satu, Ridho Ficardo-Bachtiar Basri, mengantongi dukungan 25 kursi dari koalisi Partai Demokrat, Gerindra, dan PPP. Selain sebagai petahana Gubernur Lampung, Ridho adalah juga Ketua DPD Partai Demokrat Provinsi Lampung sejak 2011.
Herman HN-Sutono memperoleh dukungan 17 kursi DPRD dari PDI-P. Dibandingkan tiga pasangan lainnya, dukungan jumlah kursi pasangan ini paling sedikit. Namun, PDI-P menguasai DPRD tingkat II di 11 dari 15 kabupaten/kota yang ada di Lampung.
Bisa jadi pasangan ini adalah penantang kuat pasangan petahana karena Herman HN adalah peraih suara kedua terbanyak (33,12 persen) setelah Ridho (44,96 persen) pada Pilgub Lampung 2014. Saat itu Herman berpasangan dengan Zainudin Hasan yang saat ini menjabat Bupati Lampung Selatan. Herman juga menjabat Wali Kota Bandar Lampung dua periode sejak 2010 dan di periode kedua ia meraup suara hingga 86,66 persen.
Pasangan calon nomor urut tiga adalah Arinal Djunaidi-Chusnunia Chalim yang diusung Partai Golkar, PKB, dan PAN. Arinal adalah Ketua DPD Partai Golkar Lampung sejak 2017 dan cukup lama menjabat Sekretaris Daerah Provinsi Lampung hingga 2014.
Partai Golkar merupakan urutan ketiga peraih suara terbanyak di Provinsi Lampung pada Pileg 2014. Sementara Chusnunia Chalim, yang akrab dipanggil Nunik, sebelum pencalonan adalah Bupati Lampung Timur sejak 2016 dan politisi PKB yang duduk di DPR selama dua periode sejak 2009.
Pasangan ini juga merupakan pasangan calon terkaya dibandingkan dengan pasangan gubernur-wakil gubernur Lampung lainnya, seperti tercatat di dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) 2018 yang dikeluarkan oleh KPK.
Mustafa-Ahmad Jajuli merupakan pasangan nomor urut empat yang didukung Partai Nasdem, PKS, dan Hanura. Mustafa sendiri menjabat sebagai Bupati Lampung Tengah sejak terpilih tahun 2016. Namun, Mustafa saat ini harus berada di balik jeruji karena tertangkap tangan oleh KPK memberikan sejumlah uang kepada anggota DPRD Kabupaten Lampung Tengah beberapa hari setelah pengumuman pencalonannya oleh KPU Lampung. Faktor ini bisa menjadi penghambat pasangan ini untuk memenangi kontestasi.
Dengan modalitas politik dan jaringan, tampaknya tiga pasangan calon berpeluang merebut kursi Lampung 1. Baik kekuatan mesin partai maupun dukungan kolektif dari jaringan yang dikuasai tiga pasangan calon bisa menjadi amunisi meraup suara terbanyak. Bagi Mustafa-Ahmad Jajuli, cukup berat untuk memenangi persaingan tersebut karena secara mendasar peluangnya untuk bertemu langsung dengan para konstituen di Lampung terhalang oleh jeruji besi KPK.
Politik uang
Lantas, apakah kekhawatiran Bawaslu RI bisa menjadi kenyataan di pilgub Lampung ini? Tampaknya, aroma pembelian suara seperti yang dikhawatirkan oleh Bawaslu RI mulai tercium. Beberapa media cetak lokal maupun daring telah memberitakan tentang adanya pembagian susu kaleng dan poster bergambar salah satu calon gubernur Lampung di Kabupaten Lampung Tengah serta adanya pembagian uang transportasi oleh tim salah satu pasangan calon di Kabupaten Pringsewu.
Namun, belum terdengar berita mengenai adanya penetapan tersangka pelanggar aturan pilkada apalagi diskualifikasi pasangan calon yang diduga melakukan politik uang. Kasus pembagian uang transportasi Rp 20.000 kepada sekitar 200 orang di Pringsewu bahkan tak bisa dilanjutkan untuk masuk tahap penyidikan karena terdapat perbedaan pandangan di Sentra Pelayanan Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakumdu) antara Panwaslu, kepolisian, dan kejaksaan.
Putusan akhir menetapkan bahwa pada peristiwa pembagian uang transportasi tersebut tidak memenuhi unsur pelanggaran. Jika pihak penyelenggara pilkada masih belum sepakat tentang apa yang dinyatakan sebagai praktik politik uang atau pembelian suara oleh peserta pilkada ataupun timnya, bagaimana sikap masyarakat Lampung sendiri terhadap politik uang? Seberapa jauh tingkat toleransi mereka terhadap praktik tersebut?
Pandangan masyarakat Lampung terkait hal tersebut cukup tergambarkan dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Robi Cahyadi, Dede Mariana, Mudiyati Rahmatunnisa, dan Leo Agustino yang terbit di jurnal Mimbar pada Desember 2017.
Penelitian dilakukan terhadap para pemilih di mana daerah tempat tinggalnya menggelar pilkada kabupaten/kota, yaitu Bandar Lampung dan Way Kanan pada 2015 dan Pringsewu pada 2017. Hasilnya memperlihatkan para pemilih di tiga wilayah tersebut memberi toleransi pada praktik pembelian suara dengan menyatakan harapan akan adanya pembagian uang ataupun barang dalam kampanye pasangan calon.
Dalam pemilihan wali kota dan wakil wali kota Bandar Lampung 2015 tersebut, dari 662 responden sebanyak 15,4 persen menyatakan mengharapkan pembagian uang dan barang ketika datang ke acara kampanye salah satu pasangan calon. Sementara itu, atas pertanyaan tentang model pembelian suara yang diyakini akan terjadi, sebanyak 47,3 persen meyakini dalam bentuk praktik kecurangan pemilu (electoral fraud) dan 29,1 persen berbentuk pembelian suara secara langsung.
Serupa dengan masyarakat Bandar Lampung, sebanyak 26,6 persen responden di Kabupaten Pringsewu berharap memperoleh barang atau uang selama masa kampanye pemilihan bupati dan wakil bupati. Sementara pola-pola pembelian suara yang diyakini terjadi di sana adalah pembelian suara secara langsung (21,6 persen), praktik kecurangan pemilu (20,7 persen), serta penggunaan atribut identitas (20,2 persen), baik agama maupun etnis.
Hasil riset di Kabupaten Way Kanan menunjukkan angka yang lebih besar dibandingkan di Bandar Lampung dan Pringsewu. Sebanyak 28,6 persen responden menyatakan pembagian barang atau uang merupakan hal yang wajar dan harus dilakukan oleh pasangan calon sebagai bentuk kompensasi atas hilangnya waktu kerja mereka karena menghadiri kampanye.
Di samping itu, bentuk-bentuk pembelian suara yang diyakini terjadi pada pilkada di Way Kanan adalah pembelian suara secara langsung (40 persen), kecurangan pemilu (27,2 persen), dan hadiah dari kandidat (11,6 persen).
Sosial ekonomi
Keyakinan responden tentang pola pembelian suara melalui praktik kecurangan pemilu di tiga wilayah di atas tampaknya tecermin dalam kasus dugaan pembagian gula di Pilgub Lampung 2014 di mana tiga pemimpin Bawaslu Lampung mendapat sanksi keras dari DKPP. Praktik pembiaran oleh pengawas pilkada diduga kembali terjadi saat ini.
Dari sisi pemilih, hasil riset di atas memperlihatkan bahwa responden pun cukup toleran terhadap praktik pembelian suara yang dilakukan peserta pilkada ataupun praktik kecurangan pemilu oleh penyelenggara pilkada. Seperti peribahasa tumbu bertemu tutup, fenomena praktik politik uang di Lampung berpeluang berulang karena pihak-pihak yang terlibat sudah klop, cocok satu sama lain.
Penelitian Robi Cahyadi dan kawan-kawan di atas menyimpulkan bahwa pembelian suara dalam pemilihan kepala daerah di Lampung disebabkan oleh beberapa hal, yakni, pertama, pemilih masih ragu dengan pilihannya sehingga mereka cenderung menunggu apa yang bisa diberikan oleh para kandidat.
Kedua, perilaku umum dari para kandidat yang selalu membagikan barang atau uang yang dipandang sebagai bagian dari budaya. Ketiga, mayoritas pemilih di Kabupaten Way Kanan dan Pringsewu menganggap telah kehilangan waktu bekerja karena terlibat dalam proses pemilu sehingga mengurangi pendapatan mereka. Oleh karena itu, hal yang wajar jika mereka memperoleh imbalan uang atau barang.
Faktor sosial ekonomi kemungkinan turut menentukan maraknya praktik politik uang di masyarakat. Kabupaten Way Kanan dan Pringsewu termasuk peringkat bawah di Provinsi Lampung dalam hal pendapatan per kapita.
Data BPS Provinsi Lampung tahun 2016 memperlihatkan dari 15 kabupaten dan kota di Lampung, pendapatan per kapita Kabupaten Way Kanan berada di peringkat ke-11 dengan Rp 25,27 juta per tahun, sedangkan Pringsewu ada di peringkat ke-13 dengan jumlah Rp 22,78 juta per tahun.
Provinsi Lampung sendiri berada di peringkat ke-22 dari 34 provinsi di Indonesia dengan nilai Rp 25,57 juta per tahun. Melihat jumlah-jumlah itu, rasanya wajar kalau untuk berdemokrasi menjadi sutu hal yang mewah, lha masalah perut saja belum selesai.... (BI PURWANTARI/LITBANG KOMPAS)