Dunia Terbalik di Klungkung
Perjuangan yang keras untuk kesetaraan dan semangat puputan yang terus menyala menjadikan Klungkung sebagai wilayah antihegemoni struktural. Lewat pilkada, masyarakat Klungkung, khususnya kalangan jabawangsa, coba membalik piramida kekuasaan ke dalam tatanan kosmologi baru.
Klungkung pernah menjadi wilayah yang sangat penting dalam sejarah Bali ketika awal penetrasi Kerajaan Majapahit dari Jawa dan agama Hindu di Pulau Dewata. Klungkung menjadi wilayah masuknya agama Hindu ke Bali yang dibawa oleh orang-orang Majapahit.
Setelah Kerajaan Majapahit runtuh, hampir dua abad kemudian berdiri Kerajaan Klungkung pada abad ke-17 dan menjadikannya kerajaan Hindu yang paling berpengaruh tidak hanya di Pulau Bali tetapi juga sampai ke Blambangan (Banyuwangi, Pasuruan, Lombok, dan Halmahera).
Namun, lewat proses sejarah, Kerajaan Klungkung kemudian terpecah-pecah dan menjadi cikal bakal berdirinya kerajaan-kerajaan lain di Bali.
Pada masa penjajahan Belanda, Kerajaan Klungkung menjadi benteng terakhir pertahanan Bali. Perang puputan melawan Belanda yang berlangsung tahun 1908 tidak hanya mengakhiri kejayaan Klungkung, tetapi juga mengakhiri era kerajaan-kerajaan Bali secara keseluruhan. Kultur politik yang ditanamkan pada masa penjajahan Belanda pun makin dominan menguasai Bali.
Menurut antropolog Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, I Nyoman Yoga Segara, dalam upaya menguasai Bali, Belanda menerapkan konsep keseragaman ke dalam kompleksitas hierarki perkastaan sehingga rakyat dapat dikontrol dan dikuasai.
Kata wangsa berubah atau sengaja diubah pengertiannya menjadi kasta, mengikuti sistem yang berlaku di India, dengan memasukkan kelas sudra sebagai kelas terbawah. Derajat sudra lalu disamakan dengan wangsa jaba.
Kelas wesya (waisya) pun sengaja dibuat untuk menunjuk keturunan wangsa ksatria yang berasal dari luar keturunan keluarga Satria Dalem atau Sri Kresna Kepakisan (Raja Bali pertama), atau penggawa kerajaan yang tidak lagi menjadi bagian kekuasaan raja.
Istilah wangsa sebagai penghalusan istilah kasta inilah yang akhirnya menjadi satu-satunya acuan untuk menyebut pelapisan masyarakat Bali, yang pelaksanaannya kemudian secara ketat diberlakukan mulai masa kerajaan dan kolonial Belanda (I Nyoman Yoga Segara, Perkawinan Nyerod: Kontestasi, Negosiasi, dan Komodifikasi di Atas Mozaik Kebudayaan Bali, 2015).
Hierarki yang kemudian dipahami secara luas dari kelas yang tertinggi ke terendah adalah brahmana, ksatria, wesya, dan sudra (jaba).
Dalam kosmologi tradisional, kelas sudra yang jumlahnya diperkirakan mencapai 90 persen dari total populasi umumnya bekerja sebagai petani atau buruh, kelas wesya kebanyakan merupakan pedagang dan pegawai pemerintahan, kelas ksatria mencakup prajurit, bangsawan dan raja, sedangkan brahmana merupakan kelas pendeta.
Konsep dewaraja yang dominan mengukuhkan sistem kasta yang dipakai kolonial Belanda untuk membuat masyarakat Bali tertib sehingga mudah diatur dan tunduk. Pemberian gelar-gelar pada raja, yang dikemudian hari akan dipertahankan sebagai gelar kebangsawanan yang tidak boleh hilang, oleh Belanda sebetulnya lebih dimaksudkan bagaimana rakyat Bali dapat tunduk kepada rajanya (Segara, 2015: 68).
Menurut sejarawan dari Universitas California, Geffry Robinson, masuknya kolonialisme membuat puri yang bersahabat dengan Belanda diberikan privilese, sedangkan yang menentang diberangus. Pada masa tersebut, puri menjadi media perantara antara pemerintah kolonial dan masyarakat Bali yang dijajah.
Puri yang merupakan simbol kelompok bangsawan dan penguasa tanah dan modal menjadi patron bagi kelompok jabawangsa yang kebanyakan merupakan kalangan petani. Masyarakat Bali yang pada umumnya terikat dalam feodalisme parekan (hamba/klien) dapat dikendalikan dengan mudah lewat puri yang merupakan alat kolonial dalam menjalankan roda pemerintahan di Bali (Robinson, 2006).
Meski demikian, wilayah Klungkung tetap menampilkan karakternya sendiri yang terasa berbeda dari daerah lain. Perpaduan antara semangat kesetaraan dan jiwa puputan menjadi modal dasar yang kental menginisiasi perubahan di kemudian hari.
Dosen ilmu politik Universitas Ngurah Rai, Denpasar, Luh Riniti Rahayu, memaparkan, kalau dulu bangsawan sangat dihormati, sekarang hegemoni dari kalangan bangsawan sudah memudar. ”Di Bali sudah mulai terjadi pergolakan antara lapis bangsawan dan lapis biasa. Tanda-tandanya, mereka bikin pura sendiri. Contohnya di Klungkung, pada tahun lalu berdiri Pura Pasek.
Dulunya lapisan bawah ini menjadi satu dengan pura milik bangsawan atau raja di Klungkung. Namun, pada praktiknya masih terjadi diskriminasi dalam pura itu, misalnya mereka duduknya tidak boleh di bagian atas.
Hanya yang bangsawan yang boleh duduk di bagian atas. Lama-lama lapisan bawah merasa kok tidak setara? Kesetaraan itu muncul lalu mereka pisah dari pura bangsawan dengan membikin pura sendiri, Pura Pasek Pedawa di Dasa Pedawa.
Itu menunjukkan adanya kebangkitan lapisan bawah, mereka merasa tidak lagi harus di bawah. ”Perasaan kesetaraan itu mulai muncul,” ujarnya. Tumbuhnya kesadaran akan kesetaraan yang berembus di landasan semangat puputan, semangat bertempur sampai penghabisan, menempatkan Klungkung sebagai wilayah yang antihegemoni struktural.
Hingga kini, Kabupaten Klungkung menampilkan ciri kuat tersebut, terutama dalam perebutan kekuasaan. Di wilayah inilah, untuk pertama kalinya di Bali orang-orang dari kalangan jaba atau sudra berhasil membalik kosmologi kekuasaan dengan memenangkan posisi sebagai kepala daerah mengalahkan kalangan bangsawan.
Pada pemilihan kepala daerah oleh anggota DPRD tahun 2003, I Wayan Candra yang berasal dari kalangan jaba berhasil terpilih sebagai Bupati Klungkung. Jabatan ini kemudian dilanjutkan ketika dalam pilkada langsung 2008 ia kembali terpilih dan menduduki jabatan hingga 2013.
Upaya kalangan jaba untuk meruntuhkan dominasi kekuasaan di bidang pemerintahan yang selama masa kerajaan, era penjajahan, dan Orde Baru dikuasai oleh kalangan tri wangsa (brahmana, ksatria, dan wesya) kemudian dilanjutkan pada pilkada langsung 2013.
I Nyoman Suwirta dan I Made Kasta, pasangan yang keduanya berasal dari kalangan jaba, berhasil memenangkan pilkada melawan tiga pasangan lain yang mengusung kandidat dari kalangan puri dan brahmana.
Takik hidup Suwirta
I Nyoman Suwirta lahir pada 1 Desember 1967 di Pulau Ceningan. Pulau ini bersama Pulau Nusa Penida dan Nusa Lembongan menjadi satu wilayah Kecamatan Nusa Penida yang merupakan bagian dari Kabupaten Klungkung.
Tiga pulau tersebut termasuk daerah yang mengalami perkembangan cukup lambat di Nusa Penida dengan infrastruktur yang serba tertinggal.
Kondisi alam yang tandus dan topografi yang sulit menjadikan Nusa Penida sebagai lumbung kemiskinan di Klungkung. Dalam sejarah, Nusa Penida merupakan wilayah yang banyak dihuni oleh kalangan jaba dan pada masa lalu menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Klungkung.
Suwirta dipandang cukup berhasil mengubah Nusa Penida. Kerja kerasnya membangun wilayah kepulauan itu memperkecil kesenjangannya dengan Kecamatan Klungkung daratan lainnya, terutama dalam hal infrastruktur jalan, jaringan listrik, dan ketersediaan air bersih.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, pertumbuhan ekonomi Klungkung melebihi pertumbuhan ekonomi Bali. Dalam kurun waktu dua tahun sejak 2015, pertumbuhan ekonomi Klungkung naik dari semula 6,11 persen menjadi 6,26 persen pada 2016. Sementara pertumbuhan ekonomi Bali tercatat 6,04 persen tahun 2015 dan 6,24 persen pada 2016.
Selain itu, rasio gini atau tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh Kabupaten Klungkung juga lebih rendah dari Provinsi Bali. Rasio gini Klungkung tahun 2016 di kisaran angka 0,3601, sementara Provinsi Bali 0,366.
Perjalanan hidup Suwirta hingga mencapai puncak kekuasaan sebagai Bupati Klungkung adalah sebuah perjuangan penaklukan melalui takik-takik terendah hingga tertinggi. Terlahir dari keluarga miskin, Suwirta hampir saja tak melanjutkan sekolahnya setamat sekolah dasar.
Ia harus merantau ke Pulau Nusa Penida dan bekerja sebagai penjaga ayam boiler sebelum akhirnya disekolahkan oleh tuannya ke SMP Nusa Penida sambil tetap bekerja menjaga ayam. Setamat SMP ia kembali merantau ke Kota Semarapura, ibu kota Kabupaten Klungkung, mengabdi di Puri Smaranegara sembari melanjutkan sekolah di SMA 1 Klungkung.
Setamat SMA pada 1987, Suwirta bekerja di Koperasi Srinadi di Klungkung sebelum akhirnya melanjutkan studinya ke perguruan tinggi.
Di Koperasi Srinadi ia meniti karier, mulai dari kolektor (tukang pungut tabungan) yang juga harus merayu-rayu pedagang pasar agar mau menjadi anggota koperasi hingga akhirnya menduduki posisi manajer. Di tangannya, Koperasi Srinadi perlahan berubah menjadi koperasi besar yang memiliki beragam prestasi lokal dan nasional di Bali.
Bekal itulah yang kemudian membawanya ke karier yang lebih tinggi, Ketua Dekopinda Kabupaten Klungkung (2010-2013) dan pengurus KONI Klungkung tahun 2011-2013.
Takdir pun akhirnya mengarahkannya ke jalan kekuasaan ketika Suwirta menang dalam Pilkada Klungkung 2013. Saat itu ia menggandeng I Made Kasta, anggota DPRD Klungkung (2009-2013) yang juga merupakan Bendesa Adat Desa Akah. Dalam Pilkada 2018, Suwirta kembali melanjutkan duetnya dengan I Made Kasta.
Kembali melawan puri
Pilkada Klungkung 2018 hanya diikuti oleh dua pasang kandidat. Suwirta-Kasta akan berhadapan dengan pasangan Tjokorda Bagus Oka-I Ketut Mandia (Paket Bagia). Tjokorda Bagus Oka, biasa disapa Tjok Bagus, adalah bangsawan Puri Agung Klungkung yang juga menjadi dosen ilmu matematika di Universitas Udayana, Denpasar. Dalam pilkada sebelumnya (2013), Tjok Bagus telah maju sebagai calon bupati dengan diusung koalisi Golkar, Demokrat, PKPB, dan PKPI.
Ketika itu, Tjok Bagus berpasangan dengan IB Adnyana. Namun, pasangan ini kalah dengan hanya menjadi peraih suara kedua terbanyak dengan mendapatkan 25,42 persen suara. Mereka diungguli Nyoman Suwirta- I Made Kasta (Paket Suwasta) yang diusung Gerindra, PNBKI, dan PKPB) yang meraih kemenangan dengan 31,9 persen suara.
Sekarang, Tjok Bagus berpasangan dengan I Ketut Mandia, anggota DPRD Bali (2009-2018). Mandia juga seorang pengusaha dan ketua yayasan di dua sekolah sekolah menengah kejuruan. Pasangan Tjok Bagus-Mandia diusung koalisi PDI-P dan PKPI yang memiliki modal sembilan kursi DPRD. Sebaliknya, pasangan Suwirta-Kasta diusung koalisi Gerindra, Golkar, Demokrat, dan Nasdem dengan modal 21 kursi DPRD.
Apakah kalangan jaba akan makin kuat menunjukkan keseimbangan kosmisnya ataukah kalangan puri yang akan kembali membalik piramida kekuasaan. Pilkada 27 Juni nanti akan menjadi babak penentuan. (BAMBANG SETIAWAN/LITBANG KOMPAS)