Sisi Lain Elektabilitas Partai Politik
Partai politik pendatang baru di Pemilihan Umum 2019 harus bekerja ekstra untuk melawan partai-partai politik lama yang sudah berpengalaman dalam kontestasi politik lima tahunan tersebut.
Partai politik papan atas dan menengah tidak hanya sudah membangun infrastruktur mapan, namun mereka juga memiliki pemilih loyal yang menjadi basis utama partai untuk bertahan.
Loyalitas pemilih dari partai-partai besar dan menengah ini terekam dari hasil survei periodik Kompas. Loyalitas ini ditarik dari sejauh mana potensi pemilih partai politik di Pemilu 2014 silam akan memilih kembali partai politik pilihannya tersebut di Pemilu 2019.
Data hasil survei menunjukkan tidak semua partai politik memiliki pemilih dengan loyalitas yang tinggi.
Artinya, tingkat perubahan pilihan (volatilitas) juga terjadi pada sejumlah pemilih di semua partai politik. Ada tingkat loyalitas pemilih yang berbeda diantara partai politik.
Menariknya, tingkat loyalitas pemilih ini juga linier dengan keberadaan partai politik tertentu sesuai dengan kategori elektabilitasnya.
Dari kategori tingkat keterpilihan partai lebih dari 10 persen, misalnya, tingkat loyalitas pemilihnya juga tercatat paling tinggi, yakni rata-rata di atas 60 persen.
Dari kelompok ini, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golongan Karya, dan Partai Gerakan Indonesia Raya tercatat paling tinggi tingkat loyalitas pemilihnya.
Salah satu partai yang elektabilitasnya tidak masuk kategori ini, namun berada di kategori 4 % s/d 10 % yakni Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Bulan Bintang dengan elektabilitas di bawah 4 persen juga masuk dalam kelompok loyalitas pemilih di atas 60 persen.
Tingginya loyalitas pemilih yang diwujudkan dalam niat kembali memilih partai yang sama ini mengisyaratkan benang merah dari keempat partai.
PDI Perjuangan, misalnya, orang memahami partai dibangun berdasar atas ikatan emosional dan psikologis yang kuat bersama kaum nasionalis marhaen dengan kekuatan figur Megawati Soekarnoputeri sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan.
Partai ini pun selama ini memposisikan dirinya sebagai penerus cita-cita Soekarno sebagai sosok yang melekat sebagai ikon nasionalisme negeri ini. Sentimen ideologis dan kekuatan figur sang ketua umum inilah yang menjadi kekuatan partai berlambang kepala banteng ini.
Hal yang sama juga terjadi dengan Partai Golkar. Partai yang besar dan dominan di era Orde Baru ini memiliki ikatan kolektif yang kuat dengan masyarakat Indonesia. Tidak heran jika kemudian partai ini masih bertahan di papan atas.
Guncangan politik yang menerpa partai ini tidak membuat Golkar mudah digoyahkan dan keluar dari strata partai papan atas.
Tidak itu saja, di tengah guncangan dan serangan politik yang kencang, termasuk upaya pembubaran partai saat Dekrit di era Presiden Abdurrrahman Wahid, Golkar malah memenangi Pemilu 2004. Hanya lima tahun setelah gelombang reformasi meruntuhkan rezim Orde Baru yang menjadi penanda dan penopang partai beringin ini.
Jika PDI Perjuangan lebih bertumpu pada sosok elite atau ketua umumnya, Golkar bertumpu pada infrastruktur politik dan sistem keorganisasian partainya yang sudah mapan.
Sementara itu Gerindra tidak jauh berbeda dengan PDI Perjuangan. Partai ini juga dibangun oleh kekuatan sosok Prabowo Subianto. Elektabilitas Prabowo dalam bursa calon presiden selalu linier dengan tingkat keterpilihan Partai Gerindra.
Elektabilitas Prabowo linier dengan elektabilitas Gerindra
Upaya partai ini mengusung ketua umumnya dalam pemilihan presiden 2019 juga tidak lepas untuk menjaga soliditas partai, meskipun di tengah sejumlah hasil survei, termasuk survei Litbang Kompas, yang menempatkan jarak elektabilitas Prabowo dengan Jokowi sebagai petahana semakin melebar.
Tidak hanya itu, keterpilihan Prabowo pun juga cenderung menurun. Namun, harus diakui, kuatnya sosok Prabowo menjadi tumpuan masa depan Gerindra.
Slogan “Gerindra Menang, Prabowo Presiden” yang pernah didengungkan di Pemilu 2014 menjadi potret betapa kuatnya sosok Prabowo ini bagi Gerindra. Substansi yang sama dari slogan itu tetap dikumandangkan Gerindra menjelang Pemilu 2019 ini.
Lalu bagaimana dengan PKB? Apa yang membuat partai ini masuk kategori partai dengan loyalitas pemilih yang cukup tinggi? Tak lain karena basis tradisional partai ini yang mayoritas warga nahdliyin.
Selain itu, upaya partai ini menjadikan ketua umumnya, Muhaimin Iskandar, sebagai bakal calon wakil presiden disinyalir menjadi langkah partai untuk “naik kelas” tidak sekadar supporter yang selama ini dilakukan, terutama di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo.
Upaya partai menjadikan ketua umum sebagai bakal cawapres, merupakan upaya "naik kelas"
PKB berupaya menjadi “player” dengan menempatkan ketua umumnya tersebut sebagai bakal calon presiden. Tidak itu saja, partai ini bahkan berani pasang target memasangkan Muhaimin sebagai calon wakil presiden dari Jokowi dengan mendeklarasikan “JOIN” atau “Jokowi-Muhaimin”.
Senada dengan PKB, PBB juga memiliki karakter pemilih yang khas. Sebagai partai Islam dan dalam sejarah pendiriannya tidak lepas dari romantisme keberadaan Partai Masyumi di era 1955, PBB memiliki pemilih yang relatif loyal.
Padahal partai ini gagal mendapatkan kursi di DPR akibat tidak memenuhi syarat minimal ambang batas parlemen. Namun kesetiaan para kader dan simpatisan menunjukkan PBB memang dibangun atas dasar kesamaan ideologi yang terilhami Masyumi.
Apalagi partai ini memiliki sosok Yusril Ihza Mahendra yang selama ini dikenal tangkas dalam memenangkan upaya-upaya hukum. Sosok Yusril juga menjadi andalan PBB.
Dari sini jelas partai-partai yang berada dalam kategori dengan loyalitas tinggi dari pemilihnya, tidak lepas dari sisi basis massa, karakter ideologinya, dan tentu saja sosok yang kuat dalam partai tersebut.
Sementara partai-partai lainnya masuk dalam kelompok partai-partai dengan potensi loyalitas pemilih mencapai rentang 30 s/d 60 persen. Masuk dalam kategori ini adalah Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Hati Nurani Rakyat, dan Partai Nasdem.
Menariknya, Demokrat yang notabene memiliki sosok SBY yang juga mantan presiden, justru tidak memiliki pemilih dengan tingkat loyalitas tinggi.
Fakta hasil pemilu yang diraih Demokrat yang begitu dinamis, dari mulai Pemilu 2004 berada di kelas menengah, kemudian Pemilu 2009 menjadi pemenang, dan di Pemilu 2014 kembali ke kelas partai menengah, meneguhkan ketergantungan partai ini pada sosok SBY.
Ketika SBY sudah tidak menjabat sebagai presiden, pamor partai ini pun bergeser.
Pemilih Cair
Loyalitas pemilih memang menjadi modal partai politik untuk membangun kepercayaan dirinya. Namun, loyalitas ini juga dihadapkan pada potensi masih cairnya pemilih di Indonesia.
Salah satu gejala yang sering muncul dari survei-survei politik mengkonfirmasi, angka pemilih yang belum menentukan pilihan (undicided voters) umumnya berkisar 20-30 persen. Hal ini memiliki arti, potensi swing voters dalam konstelasi politik Indonesia tidak bisa hilang alias akan tetap ada.
Pemilih mengambang di Indonesia tidak bisa hilang, berkisar di angka 20-30 persen.
Selain angka pemilih mengambang yang keberadaannya tetap bertahan, di dalam pilihan-pilihan pemilih tetap menyimpan potensi mengambang juga.
Lihat saja dalam elektabilitas partai politik dalam survei Litbang Kompas, semua pilihan responden kepada partai politik memiliki derajat yang berbeda.
Di satu sisi ada pemilih yang secara kuat sudah menetapkan pilihan dan bahkan yakin pilihannya tidak berubah (strong voters). Di sisi yang lain, ada pemilih yang masih bimbang apakah pilihannya benar atau salah (swing voters).
Pemilih kategori ini masih membuka diri untuk mengubah pilihan. Secara subtansi mereka masuk dalam kategori bimbang atau mengambang juga. Artinya, politik yang cair adalah kondisi yang tidak mungkin untuk dihindari.
Demikian juga dengan elektabilitas partai-partai politik. Jika dilihat di masing-masing partai, tampak justru pemilih partai yang bersikap bimbang lebih banyak dibandingkan pemilih yang tak tergoyahkan dengan pilihannya (diehard voters).
Terutama partai-partai dengan tingkat elektabilitas tinggi, seperti PDI Perjuangan, Gerindra, dan Golkar, rata-rata separuh pemilihnya mengaku masih berpeluang berubah pilihan. PDI Perjuangan, misalnya, dengan elektabilitas mencapai 33 persen, sebanyak 53,4 persen diantaranya mengaku masih bisa berubah pilihan.
Hal ini menegaskan secara riil berdasarkan hasil survei ini, tingkat keterpilihan PDI Perjuangan kurang lebih separuh dari angka elektabilitasnya. Hal yang sama juga berlaku pada Partai Gerindra, Golkar, dan partai lainnya.
Tingkat keterpilihan partai-partai bisa jadi kurang lebih separuh dari angka elektabilitasnya
Di balik cairnya pemilih ini, ada satu sisi karakter pemilih yang menarik dicermati. Dari pemilih setiap partai politik, sebagian besar memang sosok pemilih moderat. Karakter moderat dipresentasikan dari sosok yang terbuka, inklusif, dan cenderung otonom dalam pilihan politik.
Karakter seperti inilah yang mendominasi pemilih di tiap partai. Hal ini semakin menguatkan betapa cairnya konstelasi pilihan pemilih. Di satu sisi sebagian besar pemilih kita cenderung moderat dengan karakter yang melekat di dalamnya, meskipun ada sejumlah partai tertentu memiliki derajat pemilih konservatif lebih tinggi dibandingkan partai politik lainnya.
Partai baru
Cairnya pilihan politik inilah yang kemudian menguatkan sinyalemen bahwa segala kemungkinan bisa terjadi dalam politik. Politik adalah seni kemungkinan. Konfigurasi inilah yang kemudian mengundang partisipasi publik dengan lahirnya partai-partai baru dalam pemilihan umum.
Eksistensi Partai Berkarya, Partai Garuda, Partai Perindo, dan Partai Solidaritas Indonesia sebagai pendatang baru di Pemilu 2019, sedikit banyak memberi warna dalam pilihan politik di pemilu nanti.
Namun, ada gejala yang umum terjadi terkait keberadaan partai baru. Sejarah pemilu menyebutkan partai baru yang sekadar baru tanpa memiliki modal sosial dan modal politik, termasuk sosok yang cukup kuat dalam konstelasi politik nasional, cenderung hanya berada di elektoral terendah.
Partai baru tanpa modal sosial, modal politik dan sosok kuat, cenderung elektoral rendah
Hasil survei Litbang Kompas mencatat keempat partai pendatang baru ini masuk dalam kelompok partai peraih elektoral di bawah 4 persen. Hanya Perindo yang sukses mendulang dukungan lebih banyak dibandingkan tiga partai baru lainnya.
Hal ini disinyalir kencangnya iklan partai ini, terutama di jaringan media milik sang ketua umumnya, Hary Tanoesoedibjo, sehingga menjadikan partai ini berpotensi mendulang suara lebih tinggi, bahkan berpeluang lolos ambang batas parlemen.
Tentu, semakin tingginya pemilih yang masih bimbang dan lebih banyaknya pemilih moderat dengan karakter yang terbuka, inklusif, dan otonom dalam pilihan politik, menjadi kesempatan semua partai politik, termasuk partai politik baru menarik simpati.
Di tengah arus demokrasi, tingginya jumlah pemilih cair dan moderat ini memberi ruang publik dan pasar politik yang sehat karena memaksa semua partai politik menawarkan sesuatu yang baru, menarik, dan menguntungkan pemilih.
Pemilih moderat cenderung kalkulatif dan rasional. Inilah pasar pemilih yang harus diperebutkan setelah partai-partai berhasil mengamankan pemilih loyalnya. (YOHAN WAHYU/LITBANG KOMPAS)