”Post Truth” Survei Opini Publik
Produk liberalisasi politik 1998 tidak hanya terbentuknya institusionalisasi politik yang demokratik sebagaimana menguatnya posisi dan peran lembaga perwakilan rakyat dalam format negara pasca-Orde Baru.
Namun, buah liberalisasi politik yang menempatkan publik sebagai sentral dari kekuasaan politik juga dirasakan sejalan dengan kehadiran beragam lembaga survei dan hasil survei yang mengagregasi opini individu serta menyandingkannya sejajar dalam ruang publik yang demokratik.
Sejalan dengan itu, dapat dinyatakan di sini bahwa survei opini publik tidak lain merupakan anak kandung reformasi 1998. Semenjak 1998, survei menjadi sangat populer.
Berbagai kosakata yang sebelumnya lekat dalam dunia penelitian ilmiah, seperti polling, survei, quick count, sampling, random, dan margin of error, menjadi diksi yang umum terdengar.
Survei menjadi instrumen yang dimanfaatkan oleh tiap-tiap komponen dalam kehidupan perpolitikkan di negeri ini. Terlebih, semenjak survei mampu membuktikan kesahihannya dalam membaca perilaku politik masyarakat, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap survei pun demikian tinggi.
Pada awal reformasi, tidak kurang dua pertiga dari anggota masyarakat di negeri ini memercayai hasil survei sebagai sebuah kebenaran.
Fakta juga menunjukkan, sedemikian tingginya survei dijunjung, membuat survei tidak hanya menjadi instrumen pengumpulan publik yang dilakukan oleh tiap-tiap institusi demokratis yang bersandar pada kultur kekuasaan sentral pada anggotanya.
Pada tiap-tiap institusi yang jelas-jelas menjunjung hierarki kekuasaan absolut hanya pada pemimpinnya pun mempraktikkan survei.
Dalam hal ini, tidak hanya partai politik, sosok calon pemimpin yang tengah berkontestasi, ataupun institusi pemerintahan yang memerlukan respons publik terhadap segenap layanan yang dilakukannya, beberapa lembaga keagamaan dan militer pun tidak jarang menggunakan survei terhadap para anggotanya sebagai basis pengambilan keputusan.
Singkatnya, eksistensi survei opini publik tidak hanya semata hanya sebagai instrumen pengumpulan opini. Lebih dari itu, survei sudah menjadi penanda yang tidak dapat terpisahkan dalam kehidupan perpolitikan selepas era 1998.
Sebenarnya, kehadiran survei-survei berbasis opini masyarakat di negeri ini bukan sesuatu yang baru. Sejarah penyelenggaraan survei opini publik sudah diketahui jejaknya semenjak awal era awal 1970-an.
Saat itu, negara memiliki kuasa penuh dalam penyelenggaraan survei. Pada era ini mulai terdapat beberapa institusi di luar negara, seperti media massa ataupun lembaga swasta partikelir berorientasi bisnis yang juga menyelenggarakan survei.
Namun, dalam format kekuasaan politik negara yang sangat dominan, tiada satu pun warna politik berbeda yang tersimpulkan dari hasil berbagai survei yang dilakukan.
Dapat disimpulkan, pendefinisian kebenaran yang diperoleh secara ilmiah sepenuhnya menjadi domain negara. Bahkan, dalam banyak kasus survei opini publik yang terselenggara, tidak banyak informasi temuan yang terpublikasikan.
Sekalipun terpublikasikan, dalam kultur politik yang terbangun secara otoritarian, survei opini menjadi kehilangan esensinya. Survei opini publik lebih mirip suatu paduan suara opini publik dengan negara sebagai konduktornya.
Secara metodologi, survei pada era ini pun berbalut ketidaksempurnaan. Keterbatasan pada ruang gerak penyelenggaraan berbaur dengan rendahnya kualitas manajemen penyelenggaraan, luas cakupan, metode, hingga akurasi temuan. Pada era ini, survei cenderung bersifat nonsaintifik.
Hanya saja, reformasi politik Mei 1998 yang mengubah secara drastis tatanan perpolitikan bangsa secara langsung juga mengubah eksistensi survei opini publik.
Dalam kultur politik yang demokratik, esensi keberadaan survei opini publik menjadi semakin ideal.
Sebagaimana dipaparkan sebelumnya, antusiasme penyelenggaraan survei terjadi pada setiap elemen bangsa. Bersamaan dengan itu, perbaikan kualitas penyelenggaraan dan metodologi pun berlangsung secara simultan.
Apalagi, selepas era 1998 diikuti oleh ratusan penyelenggaraan pemilihan umum langsung dalam skala nasional ataupun lokal.
Namun, sayangnya, hingga dua dekade berlalu, posisi sentral survei opini publik sebagai salah satu instrumen yang paling efektif dalam mengumpulkan opini masyarakat di negeri ini justru semakin menjauh dari idealisasi survei itu sendiri.
Kebenaran yang menjadi dasar pencarian pengetahuan melalui survei dengan seperangkat metode yang menopangnya menjadi bermakna relatif dan semakin kabur. Interpretasi kebenaran menjadi semakin personal yang cenderung menjungkirbalikkan rasionalitas yang dipahami sebelumnya.
Fakta terbaru, bagaimana mungkin memahami dan meyakini suatu kebenaran survei jika di dalam model penyelenggaraan survei yang pada waktu penyelenggaran yang relatif tidak jauh berjarak tetapi menghasilkan kesimpulan yang justru bertolak belakang 180 derajat?
Pada umumnya, terkait dengan maraknya survei yang dilakukan terhadap calon presiden ataupun partai politik, menunjukkan hasil masih tingginya kinerja kepemimpinan Presiden Joko Widodo, kecenderungan semakin meningkatnya elektabilitas Jokowi sebagai petahana, dan keunggulan PDI-P dibandingkan dengan partai politik lain.
Berbagai lembaga survei yang sudah punya pengalaman relatif panjang dalam bersurvei semacam ini hingga lembaga yang tergolong baru: Lembaga Survei Indonesia, Litbang Kompas, Saiful Mujani Research Consulting, Indikator Politik Indonesia, Cyrus Network, Kedai Kopi, dan beberapa lainnya, menyimpulkan temuan yang relatif sama.
Namun, baru-baru ini dunia penyelenggaraan survei di negeri ini dikejutkan oleh publikasi survei Indonesia Network Election Survey (INES) terkait dengan elektabilitas para calon presiden dan partai politik yang kontroversial.
Intinya, hasil survei justru menempatkan Prabowo Subianto, sebagai pesaing Jokowi, dalam posisi teratas. Begitu pula, Partai Gerindra juga menjadi pemenang jika survei dilakukan saat ini.
Proporsi elektabilitas opini publik yang dipublikasikan INES mirip dengan lembaga lain tetapi berbeda calon dan partai pemenangnya.
Apabila ditelusuri, bukan baru kali ini saja INES memaparkan hasil yang kontroversial. Jelang Pemilu 2014, tepatnya pada awal April, INES juga menampilkan survei sejenis dengan hasil yang konsisten memenangkan Prabowo Subianto dan Gerindra.
Hasil survei tersebut sangat bertolak belakang dengan temuan lembaga survei lain yang memenangkan Joko Widodo sebagai calon presiden dan PDI-P dalam pemilu.
Bahkan, saat itu yang juga tidak kurang menggegerkan, INES tidak cukup hanya bersandar pada publikasi pemberitaan media massa saat itu.
Lembaga survei ini pun menggunakan sarana periklanan media cetak dalam menyebarluaskan hasil surveinya. (Kompas, 2 April 2014)
Bagaimana suatu survei didesain tidak lagi sebagai suatu upaya pencarian kebenaran ilmiah, tetapi sebagai instrumen yang melegitimasikan ataupun mendelegitimasikan suatu kepentingan politik semakin marak semenjak 2014.
Paling memprihatinkan, survei yang bersandar pada pencatatan fakta pilihan para pemilih–bukan pencatatan opini yang dapat berubah–dalam pemilu pun tidak lepas dari kepentingan demikian.
Kasus hitung cepat (quick count) Pemilu Presiden 2014 yang membelah dua kelompok hasil survei dalam hasil yang berseberangan menjadi contoh.
Kondisi pengaburan fakta yang berlangsung dengan labelisasi survei saintifik semacam ini menjadi suatu penanda yang khas era pasca-kebenaran (post-truth).
Dalam era semacam itu, fakta obyektif yang terbangun dari opini publik tidak lagi menjadi satu-satunya pegangan kebenaran dan kini tengah diperhadapkan oleh tekanan arus fakta keyakinan emosional personal yang juga berwujud survei. (Litbang Kompas)