Pemenangnya Sudah Pasti Zaenal Arifin
Sekalipun pemilihan kepala daerah Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, baru akan dilaksanakan pada 27 Juni, pemenangnya sudah dapat dipastikan dari sekarang. Tak dapat diragukan, pemenangnya pasti calon bupati bernama Zaenal Arifin. Mengapa Zaenal Arifin sudah pasti menang?
Pilkada Kabupaten Magelang memang memiliki keunikan tersendiri karena kedua kandidat bupati sama-sama bernama Zaenal Arifin. Keduanya saat ini merupakan pejabat eksekutif Kabupaten Magelang.
Yang satu Zaenal Arifin sebagai bupati, sementara yang lain HM Zaenal Arifin sebagai wakil bupati.
Pasangan ini dalam Pilkada 2018 pecah kongsi, masing-masing maju sebagai calon bupati memperebutkan pucuk pimpinan daerah untuk periode 2019-2024. Zaenal Arifin yang mana yang akan menang, nomor urut satu atau nomor urut dua?
Dalam pilkada sebelumnya, 2013, mereka berpasangan memenangi pertarungan melawan lima pasang kandidat lain dengan perolehan suara 33,9 persen.
Saat itu ”dobel Zaenal” yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) mengalahkan pasangan Rohadi Pratoto-M Achadi, Susilo-Mujadin Putu Murja, M Arwan-Haiban Hadjid, Majidun-Sad Priyo Putro, dan pasangan perseorangan Handoko-Eko Purnomo.
Sekarang, petahana Zaenal Arifin berpasangan dengan Edi Cahyana yang diusung koalisi besar PDI-P, PKB, PAN, PPP, dan Demokrat. Koalisi ini memiliki 32 kursi DPRD. Adapun HM Zaenal Arifin menggandeng Rohadi Pratoto, bakal calon yang dikalahkannya dalam pilkada sebelumnya, yang diusung koalisi Partai Gerindra, Golkar, dan PKS dengan total 18 kursi DPRD.
Zaenal Arifin (42) cukup beruntung dapat menduduki posisi bupati dalam usia yang muda (37 tahun) saat terpilih. Jalur politik yang dilaluinya lewat PDI-P memberinya jalan yang lebar untuk mencapai pucuk pimpinan daerah.
Sebelum terpilih lewat pilkada lima tahun lalu, ia adalah Wakil Ketua DPC PDI-P Kabupaten Magelang dan anggota DPRD Kabupaten Magelang (2009-2013).
Sementara itu, HM Zaenal Arifin (54) tampaknya harus menapak jalan politik yang lebih berliku meskipun dari segi pengalaman lebih komplet. Ia sudah menjadi anggota DPRD Kabupaten Magelang sejak 1999.
Karier politiknya yang cemerlang kemudian membawanya menjadi anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah (2004-2008). Lalu, pada Pilkada 2008 ia juga didapuk menjadi calon wakil dari Singgih Sanyoto dan berhasil menduduki kursi Wakil Bupati Magelang (2009-2014).
Setelah itu, HM Zaenal Arifin harus rela menekan ambisi politiknya ketika PDI-P lebih memilih Zaenal Arifin muda sebagai calon bupati, sedangkan dirinya ditempatkan sebagai pendampingnya. Kemenangan ”duo Zaenal” dalam Pilkada 2013 membuatnya tetap menjadi wakil bupati untuk periode 2014-2019.
HM Zaenal Arifin saat ini maju didampingi oleh Rohadi Pratoto, figur yang sudah malang-melintang dalam birokrasi Kabupaten Magelang. Ia cukup dikenal, selain karena pada pilkada sebelumnya telah mencalonkan diri, juga karena karier birokrasinya dibangun dari level bawah hingga atas di Magelang ataupun Jawa Tengah.
Lulusan APDN Semarang (1983) dan Fakultas Hukum UGM ini memulai karier sebagai Staf Biro Hukum Setda Provinsi Jawa Tengah. Kariernya terus melesat sehingga dapat menjadi Camat Srumbung (1991-1993) lalu Camat Borobudur (1993-1997).
Selepas itu berbagai jabatan birokrasi dilaluinya hingga menjadi Kepala Bappeda Kabupaten Magelang (2009-2013). Selain di pemerintahan, Rohadi juga pernah menjadi dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang (1987-1989) dan Ketua KNPI Kabupaten Magelang (2002-2007).
Perpaduan politisi dan birokrat pada pasangan Zaenal-Rohadi tampaknya cukup kuat, terlebih mereka didukung militansi Partai Gerindra dan PKS. Jika lawannya bukan petahana, paket pasangan yang bertagar ”Zaroh” (Zaenal-Rohadi) ini pastilah menjadi pasangan yang berpeluang memenangi pilkada.
Namun, paket Zaroh harus menghadapi dua tembok besar di hadapan mereka. Pertama, petahana bupati didukung partai terbesar (PDI-P) yang kemungkinan cukup solid mendukung paket pasangan bertagar ”Padi” tersebut. Kedua, dukungan Islam tradisional kepada pasangan Padi yang terepresentasi secara nyata kepada sosok calon wakil bupati, Edi Cahyana.
Figur Edi terbilang komplet: pengusaha, politisi, dan tokoh organisasi keagamaan. Ia adalah Direktur CV Sidodadi Kaliabu (1991-sekarang) dan sebelumnya pernah menjadi anggota DPRD Kabupaten Magelang (1999-2004).
Edi juga dekat dengan Nahdlatul Ulama (NU) karena perjalanan hidupnya tak lepas dari organisasi keagamaan yang bermuara ke NU. Ia pernah menjadi Ketua DPAC PKB Kecamatan Salaman, Wakil Ketua MWCNU Kecamatan Salaman, dan Bendahara PCNU Kabupaten Magelang (2014-sekarang).
Peran kiai dan partai
Suratman (60), pedagang tembakau di Pasar Muntilan, hingga kini belum tahu akan memilih yang mana di antara dua pasang kandidat yang berlaga itu. ”Ngikut apa kata kiai aja nanti,” kata Suratman.
Kiai yang dimaksud adalah pemimpin Pondok Pesantren Nurul Fallah yang terletak di Desa Tegalrandu, Kecamatan Srumbung, Magelang. Saat ini, pondok pesantren itu dipimpin KH Muhammad Wahib setelah kiai kondang pendahulunya meninggal tahun lalu.
Pondok pesantren hingga sekarang masih menjadi rujukan bagi sejumlah orang di Magelang, terutama dalam kaitan dengan pilihan politik warga NU. Salah satu yang dijadikan patokan warga NU di sini adalah Pondok Pesantren Nurul Fallah yang sebelumnya dipimpin oleh kiai karismatik KH Abdul Rozaq (wafat 2017).
KH Abdul Rozaq dipandang memiliki peranan yang sangat penting dalam memenangkan Pilkada 2008. Saat itu sebagai pemimpin pondok pesantren yang juga merupakan Ketua DPC PPP Kabupaten Magelang, ia justru mengalihkan dukungan kepada calon yang diusung PDI-P, yaitu Singgih Sanyoto-HM Zaenal Arifin.
Pasangan ini pun menang dengan gemilang, memperoleh 84,02 persen suara. Perolehan suara itu jauh meninggalkan pesaing yang didukung Golkar, PKB, dan PPP, yaitu pasangan Hartono-Ady Setiawan. Sejak saat itu, arus politik yang dibawa oleh Pondok Pesantren Nurul Fallah menjadi bagian yang cukup penting dalam perhelatan politik.
Dalam pilkada kali ini, selain diusung PDI-P, pasangan Zaenal Arifin-Edi Cahyana juga didukung PKB dan PPP sehingga secara formal menjadi kekuatan nasionalis-religius yang kokoh.
Dukungan formal itu kian kokoh mengingat salah satu tokoh agama yang saat ini sangat berpengaruh di Magelang, KH Muhammad Yusuf Chudlori atau yang biasa disapa Gus Yusuf, mendukung pasangan ini, terutama kepada sosok calon wakil bupati Edi Cahyana yang berasal dari kalangan NU. Gus Yusuf adalah Pemimpin Pondok Pesantren Tegalrejo, Magelang.
”Gus Yusuf itu anak muda hebat, dinamis, pengaruhnya luas, tidak fanatik, sangat moderat dan pintar. Ia punya pengaruh yang besar sebagai kiai yang sangat menentukan di dalam politik Magelang saat ini,” kata Oei Hang Djien (OHD), pendiri Museum OHD Magelang.
Namun, dukungan sebaliknya juga diberikan sejumlah tokoh NU lain kepada pasangan Zaenal-Rohadi. Pasangan Zaroh ini memperoleh dukungan personal dari jajaran tanfidziyah dan suriyah PCNU Kabupatan Magelang, di antaranya KH Mansyur Khadiq, KH Said Asrori, KH Zaenal Arifin, KH Minan Ansori, KH Toha Mansyur, KH Ali Anshori, dan Ketua PCNU Dr Mahsun.
Selain dukungan informal dari sejumlah tokoh NU, Zaenal-Rohadi juga memiliki modal soliditas dukungan partai yang cukup solid. Menurut Erik Prasetya, anggota tim pemenangan pasangan Zaroh, salah satu yang diandalkan untuk menghadapi petahana adalah soliditas partai koalisi, terutama Gerindra dan PKS.
Golkar baru bergabung untuk mengusulkan belakangan, yang awalnya adalah Gerindra dan PKS sebagai kekuatan utama pendukung pasangan Zaenal–Rohadi. ”Mereka juga didukung partai-partai yang tidak ada perwakilannya di parlemen, seperti Partai Nasdem, PKPI, PBB, Hanura, dan partai baru Berkarya,” kata Erik di posko pemenangan Partai Gerindra, Magelang, 31 Maret 2018.
Walau demikian, soliditas basis massa partai lawannya, yakni PDI-P, juga kekuatan yang sejak awal pilkada langsung tahun 2008 di Magelang belum bisa dipatahkan oleh kekuatan partai lain. Bahkan, terkadang calon pemilih tidak perlu mengenal lebih jauh siapa tokoh yang dipertandingkan. Mereka memilih karena partai pengusungnya.
”Di sini (Borobudur) yang kuat PDI-P. Nanti saya memilih calon, ya, melihat siapa yang diusung oleh PDI-P,” kata Guntur (45), penyedia jasa transportasi di kawasan Borobudur. Hingga tiga bulan sebelum pilkada 27 Juni, ia belum tahu siapa calon yang diusung PDI-P.
Persoalan Magelang
Stagnasi dalam perekonomian menjadi ciri cenderung melekat di Kabupaten Magelang. Meskipun wilayah ini memiliki sejumlah obyek wisata unggulan, terutama Borobudur, kapitalisasi ke arah industri pariwisata berkelas internasional terasa tertinggal. Tak hanya di bidang pariwisata, industri dan pengembangan aspek-aspek ekonomi lain pun berjalan lambat.
Kondisi ini cukup berpengaruh pada perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang tertinggal dibandingkan beberapa wilayah lain di Jawa Tengah. Pada 2017, misalnya, IPM Kabupaten Magelang hanya 68,39 dan berada di bawah IPM Provinsi Jawa Tengah yang 70,52 atau nasional yang mencapai 70,81.
Kuatnya kepemimpinan daerah dalam memegang kendali atas tawaran-tawaran industrialisasi wilayah ditengarai oleh sejumlah kalangan pengusaha menjadi salah satu sebab terkuncinya Kabupaten Magelang dari perubahan.
Sejak dipimpin oleh figur yang dikenal jujur dan sangat antikorupsi, Singgih Sanyoto (2004-2014), birokrasi Magelang memang menjadi sepi dari kasus-kasus korupsi. Namun, ketakutan untuk mengambil langkah progresif juga menjadi dilema tersendiri, yang menjadikan pembangunan tak beranjak pesat.
Mengambil langkah aman dalam menjalankan kekuasaan tampaknya juga menjadi pilihan yang cenderung dianut penerusnya, Zaenal Arifin, yang memiliki karakter kepemimpinan serupa dengan pendahulunya.
Pilkada 2018, oleh kalangan pengusaha, khususnya yang bergerak di bidang pariwisata, diharapkan memberi nuansa baru kepemimpinan.
”Selama ini, kami bergerak sendiri, tidak ada arahan dari pemerintah daerah untuk membangun kawasan di sekitar Borobudur ini. Harapan kami, bupati yang akan datang dapat menjadi penggerak bagi kemajuan destinasi internasional ini,” ujar Agnes Wahyu, Manajer Operasional Ndalem Nitihardjan Guesthouse di kawasan Borobudur. (LITBANG KOMPAS)