Tak Perlu Bertengkar di Prabumulih
Seinggok Sepemunyian
Janganlah Kite Bebele Bence
Semboyan Kota Prabumulih yang kemudian dibuat lagu tersebut memberi pesan bahwa masyarakat Prabumulih merupakan masyarakat yang cinta damai, kompak, akur, seiring-sejalan. Bebele bence atau pertengkaran merupakan perkara yang dihindari di Prabumulih. Apakah nuansa ”emoh” bertengkar inilah yang membuat Pilkada Prabumulih 2018 hanya mengusung satu pasang calon wali kota?
KPUD Kota Prabumulih hanya menetapkan satu pasangan calon, Ridho Yahya dan Ardiansyah Fikri, sebagai calon wali kota dan wakil wali kota Prabumulih 2018. Pasangan petahana ini diusung oleh 9 partai yang menguasai semua kursi di DPRD Prabumulih, yaitu PPP, Partai Nasdem, PAN, Partai Demokrat, PKB, PKPI, PBB, Partai Golkar, PDI Perjuangan, serta dua partai pendukung yang tidak memiliki kursi di DPRD, yakni PKS dan Gerindra.
Di luar jalur partai tak muncul juga calon dari jalur perseorangan. Berkebalikan dengan sepinya dinamika pilkada, Prabumulih lebih ramai dalam bidang ekonomi.
Kota kelas nasional
Terletak di tengah-tengah Provinsi Sumatera Selatan, Prabumulih merupakan kota hasil pemekaran Kabupaten Muara Enim pada 2001. Prabumulih dilewati oleh Jalur Lintas Tengah Sumatera. Kemudahan transportasi dan keterhubungan dengan daerah lain menjadikan Prabumulih sebagai tujuan belanja oleh masyarakat dari daerah lain, seperti Muara Enim, Ogan Ilir, ataupun Panukal Abab Lematang Ilir (PALI).
Dengan topografi yang relatif datar, pembangunan sarana dan prasarana di Prabumulih lebih mudah dilakukan. Tak heran, ketika berkunjung ke Prabumulih, kita akan disambut dengan jalan beraspal yang lebar dan tertata, kantor pemerintahan yang megah dan luas, serta berbagai patung di setiap sudut kota.
Di Prabumulih, kita dapat menemukan tiruan Patung Pemuda Membangun di Pancoran, Jakarta, Patung Selamat Datang layaknya di Bundaran HI, ataupun Patung Arjuna Wiwaha seperti di ujung Jalan Thamrin. Pembangunan patung dengan referensi Jakarta ini menunjukkan bahwa Prabumulih lebih mengidentifikasi diri dengan Jakarta, ibu kota Indonesia, daripada dengan Palembang, ibu kota Provinsi Sumatera Selatan.
Dengan jarak 95 kilometer dari ibu kota provinsi, Prabumulih lebih bebas menentukan ciri khasnya sendiri, jauh dari bayang-bayang kemegahan Palembang.
Prabumulih lebih mengidentifikasi diri dengan Jakarta, ibu kota Indonesia.
Dengan luas wilayah 434,46 km2 atau dua pertiga luas Jakarta (661,5 km²), menurut proyeksi 2016, Prabumulih hanya dihuni oleh 179.563 penduduk sehingga memiliki kepadatan 413 jiwa/km2.
Kepadatan Prabumulih ini hanya 1/37 dari kepadatan Jakarta yang mencapai 15.517,38 jiwa/km2, bahkan hanya 1/10 dari kepadatan Palembang sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Selatan yang memiliki kepadatan 4.339,30 jiwa/km2.
Satu-satunya keramaian mencolok adalah pasar Prabumulih. Di pasar ini dapat dilihat landmark buah nanas di atas skybridge yang membelah jalan. Patung nanas ini mengingatkan bahwa Prabumulih juga dikenal sebagai kota nanas.
Anehnya, walaupun dijuluki kota penghasil nanas, perekonomian Prabumulih tidak disokong oleh pertanian ataupun perkebunan. Seperti kota pada umumnya, struktur ekonomi Prabumulih disokong oleh perdagangan dan jasa.
PDRB Prabumulih didominasi oleh perdagangan besar dan eceran (22,92 persen), konstruksi (19,86 persen), serta didukung oleh sektor pertambangan dan penggalian (11,68 persen). Sektor pertanian sendiri hanya menyumbang 6,97 persen dari PDRB Prabumulih.
Sebagai salah satu kota penting di Sumatera Selatan, Prabumulih mencatat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi selama periode 2012-2016, dengan kisaran 4-12 persen, dengan kenaikan tertinggi pada tahun 2014, yaitu 11,51 persen.
Kenaikan tersebut didukung oleh kenaikan sektor pertambangan dan penggalian sebesar 65,17 persen, terutama subsektor pertambangan minyak gas dan panas bumi yang mencapai 89,40 persen. Hal ini menegaskan julukan lain Prabumulih sebagai pusat eksploitasi minyak dan lumbung gas bumi nasional.
Perkembangan yang mencolok juga terjadi di sektor konstruksi yang mengalami kenaikan sebesar 14,2 persen pada 2016. Hal itu didukung oleh pembangunan jaringan gas kota yang menyeluruh di Kota Prabumulih dengan biaya hampir Rp 500 miliar. Proyek tersebut berperan besar dalam pertumbuhan kategori konstruksi selama 2016. Pertumbuhan tersebut tak bisa dipisahkan dari keberadaan Pertamina EP aset 2 di Prabumulih.
Di lingkup provinsi, Prabumulih mencatatkan laju pertumbuhan PDRB harga konstan tertinggi sebesar 6,81 persen pada 2016, jauh di atas rata-rata Sumatera Selatan 5,03 persen, bahkan melebihi Kota Palembang yang hanya 5,76 persen.
Mungkin, inilah makna patung-patung ala Jakarta di Prabumulih. Prabumulih tak ingin dilihat sebagai kota ”kelas” provinsi, tetapi ingin dipandang sebagai kota kelas nasional yang menjadikan Jakarta sebagai pembandingnya.
Penuh prestasi
Capaian gemilang Prabumulih di bidang ekonomi ini menjadi ”jualan” sang calon tunggal yang kebetulan juga petahana. Ridho Yahya, sang calon wali kota, merupakan wali kota petahana (2013-2018) yang sebelumnya menjabat wakil wali kota (2008-2013). Calon wakilnya, Andriansyah Fikri, merupakan wakil wali kota petahana (2013-2018).
Menariknya, pada Pilkada 2008, mereka bertarung sebagai calon wakil wali kota. Dengan pengalaman bertarung di pilkada sejak 2008, nama Ridho ataupun Andriansyah sudah sangat dikenal oleh warga Prabumulih.
Sebagai wali kota, Ridho Yahya banyak prestasi. Berbagai penghargaan telah diterimanya sebagai wali kota ataupun bagi Kota Prabumulih. Sebut saja penghargaan Prastika Parama dari Kementerian Kesehatan sebagai kota yang menetapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) pada 2017, Adipura 2017, Manggala Karya Kencana 2017 di bidang program KB, penghargaan Penyusunan Laporan Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah 2016.
Ridho juga menerima Satya Lencana Kebaktian Sosial, Wredatama Nugraha Madya sebagai pembina umum karang taruna kabupaten/kota terbaik 2016, dan masih banyak lagi. Berbagai penghargaan yang diterima Prabumulih ini ditata dengan apik di tangga Kantor Pemerintahan Prabumulih.
Selain penghargaan, Prabumulih juga dikenal karena program populisnya. Sebut saja program pembangunan rumah tanpa APBD bagi rakyak miskin. Program ini menyentuh langsung kebutuhan akan rumah yang layak bagi warga di Prabumulih.
Menjadi menarik karena program ini tidak dilaksanakan dengan APBD, tetapi dari iuran pegawai negeri sipil di Prabumulih. Tak heran, di lobi gedung Pemerintahan Prbumulih dipajang ratusan foto rumah yang telah berhasil dengan program ini.
Prabumulih juga dikenal karena program populisnya.
Pantas disebut juga program pembangunan jaringan gas bumi di Prabumulih. Program ini merupakan program raksasa karena ditarget memasok 32.000 sambungan gas ke rumah tangga di Prabumulih. Tak heran, perekonomian Prabumulih naik secara signifikan saat pelaksanaan program ini di tahun 2016.
Prestasi sedemikian membuat Ridho Yahya dan Andriansyah Fikri sangat percaya diri dan mendapatkan dukungan maksimal dari DPRD. Selain itu, mereka tak harus memperkenalkan diri di depan calon pendukungnya. Ketenaran ditambah prestasi membuat calon lawan berpikir ulang sebelum bertarung melawan sang petahana.
Berkaca pada Pilkada 2008 dan 2013 di Prabumulih, persentase kemenangan yang didapatkan oleh pasangan calon pemenang semakin besar, yakni 36,53 persen pada 2008 dan 40,65 persen pada 2013. Peningkatan persentase kemenangan wali kota bisa jadi akan semakin tinggi mengingat Pilkada 2018 hanya mengusung satu calon yang sudah sangat dikenal.
Dihadang persyaratan
Dalam proses pencalonan Pilkada Prabumulih 2018 pernah muncul beberapa calon penantang petahana. Namun, mereka akhirnya harus kembali berhitung di hadapan syarat pencalonan.
Bagi calon dari partai politik, sesuai Pasal 5 PKPU Nomor 3 Tahun 2017, mereka perlu didukung oleh 20 persen kursi di DPRD. Untuk DPRD Kota Prabumulih yang memiliki 25 kursi, calon perlu dukungan dari minimal 5 kursi. Melihat syarat tersebut, tak ada partai yang dapat mengusung calon sendiri. PPP yang merupakan partai pemenang pemilu di Prabumulih 2014 pun hanya memiliki 4 kursi di DPRD.
Tiadanya parpol dominan memaksa fraksi di DPRD berkoalisi dalam mengusung calon kepala daerah. Dalam hal ini, calon yang ingin diusung oleh partai politik harus mendekati dan mengikuti mekanisme pencalonan yang dibuat oleh setiap partai politik. Suara-suara tentang mahar politik yang diterjemahkan sebagai biaya riil bagi calon kepala daerah tak luput membayangi calon yang ingin maju dengan dukungan minimal 2 partai politik.
Tantangan lain dapat dilihat dari jalur perseorangan. Sesuai Pasal 9 PKPU Nomor 3 Tahun 2017, bagi daerah dengan DPT pemilu terakhir di bawah 2 juta suara, calon kepala daerah perlu dukungan minimal 10 persen suara. Dengan DPT Prabumulih 2014 sejumlah 127.966, calon perseorangan perlu dukungan 12.797 suara agar dapat mencalonkan diri.
Tak berhenti di situ, kesiapan dukungan calon dari jalur partai politik ataupun dari jalur perseorangan juga dibayangi oleh kekuatan lawan. Lawan yang akan dihadapi dalam Pilkada Prabumulih 2018 adalah wali kota dan wakil wali kota petahana dengan rekam jejak yang panjang di Prabumulih. Melihat kesiapan yang besar sekaligus lawan yang kuat, di tahap akhir pencalonan tak ada calon yang maju melawan petahana.
Dalam proses pencalonan sempat muncul beberapa nama, seperti Hanan, Ahmad Palo, Kamirul, Rizal Kennedy, Adi Susanto, dan TR Hulu. Bahkan, ada nama yang dideklarasikan oleh partai yang duduk di DPRD, PBB dan PKPI, yaitu TR Hulu. Dalam perjalanan waktu, ternyata kedua partai tersebut mengalihkan dukungan kepada wali kota petahana sehingga semua partai memberikan dukungan kepada calon tunggal.
Selalu menang
Sebagai calon tunggal, Ridho Yahya dan Ardiansyah Fikri bertarung dengan kotak kosong. Yang disebut dengan kotak kosong bukanlah kotak yang secara fisik. Dalam praktiknya, saat pemilihan, para pemilih akan diberi pilihan dua gambar dalam kertas suara: satu gambar adalah foto pasangan sang calon tunggal dan satu lagi tanpa foto, hanya gambar kotak.
Inilah yang disebut dengan kotak kosong. Dengan cara tersebut, kemenangan calon tunggal disyaratkan sebesar 50 persen suara sah plus satu. Dengan demikian, tetap ada kemungkinan bahwa para pemilih lebih memilih kotak kosong sehingga sang calon tunggal kalah.
Fenomena calon tunggal tak hanya dialami Prabumulih. Dalam Pilkada 2018 tercatat 15 pasangan calon kepala daerah yang akan melawan kotak kosong. Jika ditelisik lebih lanjut, semua calon tunggal tersebut merupakan petahana, kebanyakan bupati/wali kota atau wakilnya, dan hanya satu yang bukan petahana, yaitu pada Pilkada Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta).
Dengan catatan, calon tunggal di Pilkada Kabupaten Padang Lawas pun merupakan wali kota dari Kota Padang Sidimpuan.
Pilkada dengan calon tunggal ini juga bukanlah fenomena baru. Melihat ke belakang, pada Pilkada 2015, terdapat 269 pemilihan kepala daerah dengan tiga calon tunggal, yakni Kabupaten Tasikmalaya (Jabar), Kabupaten Blitar (Jatim), dan Kabupaten Timur Tengah Utara (NTT).
Pada Pilkada 2017 terjadi peningkatan jumlah pilkada dengan calon tunggal. Terdapat 9 calon tunggal dari 102 daerah yang melakukan pemilihan langsung, yaitu Kabupaten Pati (Jateng), Kabupaten Tambrauw (Papua Barat), Kabupaten Landak (Kalbar), Kabupaten Buton (Sultra), Kabupaten Tulang Bawang Barat (Lampung), Kabupaten Maluku Tengah (Maluku), Kota Tebing Tinggi (Sumut), Kota Sorong (Papua Barat), dan Kota Jayapura (Papua).
Peningkatan jumlah pilkada dengan calon tunggal juga diikuti dengan peningkatan persentase pilkada dengan calon tunggal apabila dibandingkan dengan total pilkada di tahun tersebut, yaitu 1,1 persen di tahun 2015 menjadi 8,8 persen di tahun 2017.
Dari data hasil pemilihan yang dirilis KPU, dapat dilihat, pertama, semua calon tunggal, baik di Pilkada 2015 maupun Pilkada 2017, merupakan petahana, entah keduanya, ataupun salah satu calon. Kedua, semua pasangan calon tunggal mendapatkan dukungan maksimal dari partai politik yang ada di DPRD, bahkan beberapa pasangan calon memborong dukungan dari semua partai politik yang ada di DPRD.
Ketiga, dari sisi keberhasilan, semua pasangan calon tunggal ternyata mampu memenangi kontestasi, dengan kemenangan rata-rata di atas 70 persen suara, bahkan di beberapa daerah berhasil memperoleh suara di atas 90 persen. Kemenangan terkecil terjadi di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, dengan perolehan ”hanya” 55,07 persen suara.
Utang yang mengganjal kemenangan
Di luar prestasi petahana yang gemilang dan tak terbantahkan lagi, muncul persoalan yang tak bisa dianggap sepi, yaitu utang dan kampanye kotak kosong.
Proyek pembangunan di Prabumulih 2017 ternyata tak semuanya menggunakan dana tahunan. Ada proyek yang dilaksanakan atas dasar utang yang sedianya akan dibayarkan pada tahun 2018.
Muncul persoalan, yaitu utang dan kampanye kotak kosong.
Persoalannya, saat jatuh tempo pembayaran, sang petahana sedang bertarung mempertahankan posisinya. Richard Cahyadi, sebagai penjabat wali kota, tidak bersedia membayar utang tersebut sebelum ada audit dari BPK.
Akibatnya, Gapensi dan Hipmi Prabumulih mempersoalkannya. Tujuh puluh persen utang mereka belum dibayarkan oleh pemkot, padahal mereka sudah merasa ikut membangun Prabumulih. Mereka mengadukan hal tersebut ke DPRD Prabumulih. (TribunSumsel.com, 27/4/2018)
Persoalan utang konstruksi yang belum terbayar ini tak dapat dipandang sebelah mata mengingat sektor konstruksi menyumbang seperlima dari PDRB Prabumulih. Secara politis, hal ini juga dapat memperpanas Pilkada Prabumulih.
Secara praktis, persoalan utang ini akan mengganjal atau minimal mengurangi kelancaran kemenangan sang calon tunggal. Selain itu, persoalan utang ini dapat mencoreng rapor gemilang mereka sebagai petahana di Prabumulih. Dengan demikian, sang calon tunggal mau tidak mau harus menang.
Melawan kotak kosong
Selain utang, kemenangan sang calon tunggal dihadang secara langsung oleh kampanye kotak kosong. Di Prabumulih muncul kampanye dari Tim Kotak Kosong. Gerakan ini, menurut salah satu ketuanya, Azadin, muncul pada Januari 2018, hampir berbarengan dengan penetapan calon wali kota oleh KPUD Prabumulih.
Kotak kosong ini memberikan ruang berkumpul dan bersuara bagi mereka yang tidak setuju terhadap majunya sang petahana. Dinamika perlawanan kotak kosong semakin nyata dengan dibukanya posko pemenangan kotak kosong dengan dukungan relawan yang menamakan diri Tim Pemenangan Kotak Kosong (Tim PKK).
Dari berbagai pemberitaan dan nama-nama yang muncul, tim ini terstruktur, layaknya tim sukses calon wali kota. Di dalamnya terdapat posisi Ketua Dewan Penasihat, Koordinator Posko, dan relawan. Bahkan, dari empat posko yang dibuat, masing-masing memiliki klasifikasi yang jelas, sebagai posko pemenangan, posko relawan, posko konsumsi, ataupun sebagai posko logistik.
Munculnya nama-nama yang jelas sebagai bagian dari kampanye kotak kosong dapat dilihat sebagai sebuah tanda geliat demokrasi yang positif. Suara-suara ketidaksetujuan terhadap sang calon tunggal tidak muncul sebagai teror yang tersembunyi, tetapi jelas terorganisasi dan tertampung. Kotak kosong yang anonim dalam kertas suara pemilihan dikampanyekan dengan nyata oleh tim ini.
Tim ini berkampanye agar pemilih datang ke pemilihan walaupun tidak setuju dengan sang calon tunggal. Pemilih disadarkan bahwa masih ada pilihan yang dapat diambil untuk menyuarakan ketidaksetujuan. Dengan demikian, kampanye yang dilakukan Tim Pemenangan Kotak Kosong ini bukan hal yang melanggar hukum, malah membantu tugas KPUD mengampanyekan tentang adanya pilihan lain.
Partisipasi pemilih
Bagi KPUD Prabumulih, pilkada dengan calon tunggal menjadi tantangan tersendiri. Masyarakat yang melihat adanya hanya satu calon rentan untuk berpikir bahwa suara mereka tak diperlukan lagi karena calon pasti menang. Padahal, tidak demikian. KPUD ditantang untuk meningkatkan partisipasi pemilih, minimal sama dengan pilkada sebelumnya.
Ketua KPUD Kota Prabumulih M Takhyul SIP menyatakan bahwa target partisipasi pemilih dalam Pilkada 2018 ini adalah 79 persen. Angka tersebut naik dari partisipasi riil pilkada sebelumnya sebesar 76,27 persen di Prabumulih.
Dengan sosialisasi yang telah dilakukan bertahap sejak 2017 yang akan memuncak setelah Lebaran 2018, KPUD Prabumulih optimistis target partisipasi pemilih akan tercapai. Menggunakan taktik panas di akhir, KPUD Kota Prabumulih berusaha memusatkan kegiatan pasca-Lebaran sehingga masyarakat merasa diingatkan kembali.
Optimisme tersebut, di lapangan, didukung baik oleh sang calon tunggal maupun oleh gerakan kampanye kotak kosong.
Dalam Pasal 54 UU No 10 Tahun 2016, kemenangan calon tunggal didapat jika ia berhasil mendapatkan 50 persen plus satu suara sah. Kalau kalah, dan ini belum pernah terjadi dalam Pilkada 2015 dan 2017, calon dapat maju dalam pemilihan berikutnya yang digelar satu tahun kemudian. Jika tetap kalah, akan ditunjuk pejabat untuk menjadi kepala daerah.
Oleh karena itu, tantangan bagi Ridho Yahya dan Andriansyah Fikri adalah mengerahkan semua pendukung mereka untuk datang ke TPS pada waktu pemilu dan memilih mereka. Dengan tambahan dukungan partai-partai pendukung, kemungkinan menang semakin besar. Hal itu sangat disadari oleh Ridho dan Andriansyah.
Tak heran, dalam salah satu kampanye resmi yang dijalankan oleh pasangan ini, mereka tak ngotot memaparkan banyak program. Mereka menggunakan kampanye dengan bentuk senam sore massal. Dengan menggandeng instruktur senam, pasangan ini menyapa calon pemilih untuk datang ke TPS pada hari pemungutan suara.
Dengan terus terang, pasangan ini menjelaskan bahwa status mereka sebagai calon tunggal belumlah jaminan kemenangan. Terdapat lawan nyata mereka di bilik pemilihan, yaitu kotak kosong. Oleh karena itu, setiap suara pendukung sangat diperlukan.
Dengan tujuan menyaingi sang petahana, tim kotak kosong mengampanyekan agar para pemilih menggunakan hak suaranya karena masih ada pilihan apabila tidak setuju terhadap sang calon tunggal.
Status sebagai calon tunggal belumlah jaminan kemenangan.
Kesadaran yang dibangun oleh Tim PKK bahwa masih ada pilihan, ditambah dengan kampanye calon tunggal agar para pemilih memilihnya, diharapkan mendorong pemilih Prabumulih yang berjumlah 125.866 jiwa menggunakan hak pilihnya.
Di titik ini, kampanye kotak kosong dan reaksi dari calon tunggal sama-sama menguntungkan bagi kenaikan partisipasi pemilih, yang berarti juga mendukung kinerja KPUD Prabumulih. Dengan demikian, tantangan selanjutnya bagi KPUD Prabumulih adalah netral dalam bekerja.
Pesta demokrasi
Dalam demokrasi, perbedaan pendapat bukanlah hal yang tabu, tetapi malah difasilitasi dan diatur, salah satunya melalui pemilu. Majunya calon tunggal di Prabumulih ternyata tidak membungkam munculnya perbedaan pendapat. Suara dari mereka yang tidak setuju terhadap sang petahana terfasilitasi dengan kampanye kotak kosong.
Dengan cara masing-masing, kedua kubu berlomba-lomba mengerahkan pemilih untuk menggunakan hak suaranya. Inilah yang diharapkan dapat menambah legitimasi bagi Pilkada Prabumulih.
Bertambahnya partisipasi pemilih mengindikasikan bahwa demokrasi semakin dirasakan sebagai pesta oleh semakin banyak warga. Dengan demikian, siapa pun yang menang, entah calon tunggal maupun kotak kosong, boleh berbangga bahwa kemenangan mereka didukung oleh semakin besar warga.
Sebaliknya, jika kalah, mereka perlu kembali ingat akan semboyan Prabumulih, ”Seinggok Sepemunyian”, kompak, akur, seiring-sejalan. ”Janganlah kite bebele bence”, tak perlu kita bertengkar!*** (Robertus Mahatma Chryshna/Litbang Kompas)