Mengenali Pemilih Pilkada Jawa Timur
Partai politik hampir tidak menjadi variabel penting dalam menentukan pilihan di pemilihan kepala daerah Jawa Timur. Sosok, karakter, dan rekam jejak calon, baik kepala daerah maupun wakil kepala daerah, justru menjadi pertimbangan utama pemilih menentukan ke mana suara mereka akan diberikan.
Tidak ada kepastian pemilih partai otomatis akan memilih pasangan calon yang diusung partai pilihannya.
Kondisi ini terbaca dari hasil survei Litbang Kompas pertengahan Mei lalu. Kecenderungan pilihan orang lebih banyak dipengaruhi oleh sosok calon gubernur plus wakil gubernurnya.
Hampir mayoritas responden (86,1 persen) menyebutkan sosok dan rekam jejak calon menjadi pertimbangan utama mereka menentukan pilihan. Hanya kurang dari 5 persen responden yang menyebutkan variabel partai politik sebagai pertimbangan mereka.
Kecenderungan ini semakin mengukuhkan pilkada adalah kontestasi soal orang, tentang sosok, dan rekam jejak. Tidak heran jika kemudian popularitas sosok menjadi faktor utama yang menentukan, apakah dia punya potensi keterpilihan atau tidak.
Sejarah perhelatan pilkada Jawa Timur menyimpan catatan tersendiri soal ini. Di Pilkada 2008, misalnya, yang saat itu nama Wakil Gubernur petahana Soenarjo begitu kuat dikenal publik harus kalah dengan Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur Soekarwo.
Soekarwo mem-branding dirinya guna mendongkrak popularitasnya yang masih jauh dibandingkan Soenarjo, yang selain dikenal sebagai Wakil Gubernur, Soenarjo juga dikenal sebagai Ketua DPD Partai Golkar Jawa Timur sekaligus dalang yang sudah punya nama di masyarakat.
Upaya Soekarwo mem-branding dirinya dengan ikon produksi kacang dengan merek ”Pakde” bergambar ilustrasi wajahnya yang berkumis tebal relatif sukses melambungkan namanya di perbincangan masyarakat.
Ujungnya, tagline ”Pakde” menjadi panggilan yang melekat pada diri Soekarwo. Upaya ini dilakukan setidaknya sepanjang satu tahun sebelum digelarnya Pilkada 2008.
Kini hal yang sama juga dilakukan oleh Saifullah Yusuf, Wakil Gubernur petahana yang maju dalam pilkada Jawa Timur tahun ini. Kali ini Gus Ipul, demikian dia biasa dipanggil, menggunakan branding kopi yang menampilkan ilustrasi wajahnya yang juga dengan kumis tebal.
Tentu upaya-upaya mem-branding sosok seperti ini juga berlaku bagi calon-calon lainnya dengan derajat dan variasi yang berbeda. Hal ini untuk menegaskan persaingan di pilkada adalah tentang siapa si calon, siapa dia, bukan apa partai politik yang mengusungnya.
Identitas kepartaian
Meski peran partai politik tidak begitu menjamin mampu mendorong pemilih menentukan pilihan politiknya kepada pasangan calon yang diusung partainya, bukan berarti identitas partai kemudian hilang sama sekali dalam kontestasi pilkada.
Ada sejumlah hal yang menjelaskan bagaimana pengaruh partai tetap ada, bahkan mendominasi dalam proses pilkada ini. Pertama, partai politik pemilik saham suara dan kursi di parlemen yang menjadi rujukan utama bagi pasangan calon untuk maju.
Apalagi selama ini sepanjang pilkada langsung digelar sejak 2005, mayoritas pemenangan pilkada diusung oleh partai politik dibandingkan yang maju dari jalur perseorangan atau independen.
Kedua, dari hasil survei menangkap bahwa pengaruh partai politik tetap ada, tetapi pengaruhnya lebih pada di proses tahapan pilkada, bukan pada saat hari pemungutan suara.
Proses penguatan pengaruh partai ini dimulai sejak partai politik mendeklarasikan pasangan calon yang diusungnya, sejak saat itu pula partai politik sudah identik dengan pasangan calon yang diusungnya tersebut.
Partai-partai yang berhasil mengidentikkan dirinya dengan pasangan calon yang diusungnya relatif mampu mendorong pemilihnya untuk menentukan pilihan politiknya ke pasangan calon yang diusung partai tersebut.
Sebaliknya, partai-partai yang tidak maksimal melakukan peran ini cenderung gagal menyedot perhatian pemilihnya.
Hal ini bisa kita lihat pada distribusi pilihan responden di pilkada berdasarkan partai politik pilihannya. Partai-partai pengusung pasangan Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak, misalnya, cenderung berhasil mengidentikkan diri kepada pasangan calon yang diusungnya. Pemilih-pemilih dari Partai Golkar, Demokrat, Nasdem, PPP, dan Hanura, sebagian besar mengaku akan memilih Khofifah-Emil di pilkada nanti.
Menariknya, PAN, ketika di survei pertama (Februari 2018) banyak pemilihnya memberikan dukungan ke Khofifah-Emil, di survei kedua (Mei 2018) ini malah berbalik lebih banyak menjatuhkan pilihan ke pasangan Saifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno.
Boleh jadi pilihan pemilih PAN ini tidak lepas dari kampanye pasangan Saifullah-Puti terkait latar belakang Puti sebagai cucu Soekarno yang dalam sejarah Bung Karno menyatakan diri sebagai warga Muhamamdiyah. Apalagi di sejumlah pemberitaan, termasuk pesan berantai melalui sosial media, Puti sempat menyatakan diri sebagai keluarga Muhammadiyah.
Tentu, pemilih PAN yang memang sebagian besar berlatar belakang warga Muhammadiyah ini masih melihat faktor identitas yang sama sebagai faktor yang memengaruhi pilihan. Apalagi di atas kertas, selama ini sosok-sosok yang muncul, terutama di calon gubernurnya, sama-sama berlatar belakang warga nahdliyin.
Sebaliknya dari kalangan pemilih Saifullah-Puti, hanya pemilih PDI-P dan PKB yang relatif terlihat mampu didorong untuk menjatuhkan pilihan ke pasangan ini.
Hal ini terutama terjadi pada kelompok pemilih PDI-P. Separuh lebih (54,6 persen) pemilih partai berlambang kepala banteng mulut putih ini menjatuhkan pilihan ke pasangan Saifullah-Puti.
Sementara di kalangan pemilih PKB relatif kurang maksimal melakukan asosiasi pada pasangan Saifullah-Puti. Dari kelompok pemilih ini relatif terbagi merata kepada dua pasangan calon, bahkan pasangan Khofifah-Emil sedikit lebih banyak meraih dukungan pemilih PKB dibandingkan Saifullah-Puti.
Distribusi suara yang merata dari pemilih PKB ini tidak lepas dari faktor kedua sosok calon gubernur, Khofifah dan Saifullah, sebagai sama-sama kader NU.
Keduanya sama-sama didukung oleh kiai yang selama ini memiliki pengaruh kuat di kalangan pemilih nahdliyin. Apalagi kedua sosok calon gubernur ini juga aktif sebagai pengurus struktural di organisasi keagamaan tersebut.
Yang menarik justru pemilih di Partai Gerindra dan PKS. Kedua partai politik ini kurang diasosiasikan sebagai pendukung pasangan Saifullah-Puti. Hal ini terlihat dari hasil survei yang menyebutkan sebagian besar pemilih kedua partai ini justru memberikan dukungan kepada pasangan Khofifah-Emil.
Separuh lebih (55,2 persen) dari pemilih Gerindra memilih Khofifa-Emil, bahkan dari pemilih PKS angkanya lebih besar, yakni mencapai 70 persen.
Hal ini tidak lepas dari pola koalisi yang tidak biasa terjadi di pilkada Jawa Timur ini. Gerindra dan PKS yang selama ini menjadi partai oposisi terhadap pemerintah, di pilkada Jawa Timur ini justru satu paket dalam barisan koalisi bersama PDI Perjuangan yang selama ini dikenal sebagai partai utama pendukung pemerintah.
Boleh jadi kurang kuatnya asosiasi Gerindra dan PKS pada pasangan Saifullah-Puti, sedangkan PDI-P asosiasinya kuat ke pasangan ini, membuat pemilih Gerindra dan PKS lebih memilih Khofifah-Emil.
Faktor sosiologis
Selain variabel partai politik yang menarik dicermati dari hasil survei ini, faktor sosiologis juga menjadi hal penting untuk dikaji. Jika dilihat dari faktor sosiologis, pertarungan antarkedua pasangan calon sebenarnya terletak pada kelompok pemilih kelas menengah secara pendidikan.
Di kelas menengah pendidikan ini terjadi perbedaan mencolok dukungan dari responden. Pasangan Khofifah-Emil meraih 51,2 persen dukungan dari kelompok responden berpendidikan menengah, sedangkan pasangan Saifullah-Puti hanya 40,9 persen.
Sementara kelompok berpendidikan dasar dan tinggi cenderung terdistribusi merata kepada kedua pasangan calon. Dari sini jelas, pertarungan sesungguhnya adalah di kelompok pemilih dengan pendidikan menengah.
Sebaliknya, jika dilihat dari sisi kelas ekonomi pemilih, kelas menengah justru tidak menjadi ladang pertarungan karena di kelompok ini distribusi suaranya hampir sama dan merata pada kedua pasangan calon.
Di kategori sosial ekonomi, pertarungan justru terjadi di kelompok bawah dan atas. Dua kelompok ini terjadi perbedaan mencolok distribusi dukungan suara, terutama di kelompok kelas ekonomi atas yang cenderung mendukung Khofifah-Emil.
Sementara itu, dari sisi jender, tampak memang ada sedikit kecenderungan perempuan memilih calon gubernur dari kalangan perempuan. Sebanyak 50,9 persen kelompok perempuan responden memilih pasangan Khofifah-Emil.
Keberadaan Puti, meskipun sosok perempuan tteapi karena posisinya sebagai calon wakil gubernur, tidak banyak mencuri perhatian dari pemilih kalangan perempuan. Meski demikian, faktor jender tidak serta-merta menjadi penentu dalam menambah elektoral calon.
Pengajar Ilmu Politik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya, Malang, Juwita Hayyuning Prastiwi, memandang perilaku politik pemilih masih belum mengedepankan kepentingan perempuan. Tidak heran jika kemudian faktor jenis kelamin tidak menjadi faktor yang memengaruhi pilihan seseorang. ”Perilaku politik kita masih maskulin,” ujar Juwita.
Hal yang menarik dalam kontestasi ini justru bagaimana kedua pasangan calon menggaet pemilih mula dan muda. Mereka adalah generasi milenial yang juga peduli dalam politik. Di kelompok ini, lagi-lagi pasangan Khofifah-Emil lebih banyak direspons positif oleh pemilih di kalangan anak-anak muda ini. Sosok Emil sebagai kepala daerah muda di Trenggalek boleh jadi turut memberikan konstribusi untuk memengaruhi pilihan dari kelompok pemilih ini.
Tentu, banyak faktor di luar variabel partai politik dan hal-hal sosiologis yang memengaruhi perilaku memilih. Namun, faktor-faktor ini tetap penting untuk melihat secara kasatmata bagaimana peluang kedua pasangan calon. Di atas kertas, keduanya memang memiliki peluang yang sama dengan derajat yang berbeda.
Semua kembali pada kerja-kerja di udara untuk memengaruhi persepsi pemilih sekaligus kerja-kerja di darat untuk secara masif mendekati calon-calon pemilih untuk memberikan suaranya nanti pada 27 Juni. (Litbang Kompas)