Sudahkah Kita Aman di Ruang Medsos?
Siapa bilang bermain media sosial atau yang biasa disebut medsos tidak ada aturannya? Kelihatannya memang hanya menjelajahi lini masa, mengunggah foto dan video, atau berbagi komentar.
Akan tetapi, kewaspadaan tetap harus dimiliki pengguna mengingat sejumlah kejahatan seperti penipuan, pencurian data pribadi, bahkan penculikan bisa terjadi akibat unggahan kita di dunia maya.
Rasanya hampir tak ada yang luput dibagikan pengguna medsos saat ini. Bangun tidur, menu makan siang, mengantar anak sekolah, atau tempat nongkrong malam nanti bisa kabar terbaru.
Bahkan, data pribadi seperti nomor telepon genggam dan alamat rumah tanpa sadar juga turut dibagikan. Lihat saja di linimasa Facebook dan Instagram, misalnya.
Tidak salah jika generasi sekarang dijuluki oversharing generation saking detailnya kehidupan pribadi yang dibagikan di medsos. Kerugian akibat membagikan terlalu banyak informasi ini tidak hanya berupa finansial, seperti merusak reputasi dan kehilangan pekerjaan.
Salah satunya pernah dialami Banyu Biru ketika mengunggah surat keputusan pengangkatan dirinya sebagai anggota Badan Intelijen Negara. Alhasil, informasi yang harusnya disimpan ini membuatnya harus mengundurkan diri dari pekerjaan itu.
Kerugian lainnya adalah memberikan kesempatan kepada penjahat siber untuk beraksi, seperti melakukan pencurian data pribadi, pembajakan akun, hingga penipuan. Tahun 2016, jenis kejahatan ini adalah yang paling banyak ditangani Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya.
Jumlah kasusnya mencapai 1.207 kasus. Bahkan, berdasarkan laporan State of The Internet, tahun 2013 Indonesia pernah berada di urutan kedua negara dengan kejahatan siber tertinggi di dunia.
Dari jajak pendapat Kompas yang dilaksanakan pertengahan April 2018, ditemukan meski kecil, 5,9 persen, terdapat responden yang pernah menjadi korban penyalahgunaan data pribadi. Sementara itu, hampir 17 persen responden mengaku akunnya pernah dibajak pihak lain.
Kebiasaan pengguna medsos
Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan pengguna internet meningkat setiap tahun. Tahun 2017 saja sudah terdapat 143,26 juta pengguna internet. Sebanyak 87,13 persen di antaranya mengakses medsos.
Jumlah yang besar ini seharusnya dibarengi dengan literasi digital yang memadai untuk mencegah hal buruk yang akan menimpa pengguna.
Salah satunya adalah menyeleksi ajakan pertemanan yang masuk ke akun medsos. Kita tidak wajib menerima semua orang menjadi teman kita di dunia maya. Bahkan, lebih baik jika berteman dengan orang yang benar-benar kita kenal.
Hasil jajak pendapat Kompas menunjukkan mayoritas responden mengatakan selalu menyeleksi ajakan pertemanan di medsos. Akan tetapi, terdapat 14,7 persen responden yang hanya kadang-kadang bersikap selektif.
Bahkan, meski hanya sebagian kecil, sebanyak 7,8 persen responden sama sekali tidak menyeleksi undangan berteman yang masuk di akun medsos mereka.
Sikap selektif dalam berteman di medsos merupakan gerbang awal kehidupan di dunia maya. Di sinilah pengguna medsos, apa pun jenisnya, melahirkan ”kehadiran sosial” mereka. Apakah hidupnya ingin diketahui banyak orang atau hanya orang yang dia kenal semata. Celah inilah yang sering dimanfaatkan penipu dengan berpura-pura mengirim ajakan berteman.
Salah satu contohnya adalah aksi sindikat penipuan melalui Facebook yang pada tahun 2016 berhasil diuangkap aparat Subdirektorat Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Metro Jaya. Modusnya adalah pelaku membuat akun palsu dan mengirim ajakan pertemanan.
Ketika berinteraksi dengan calon korban, pelaku mengaku membutuhkan uang dan berjanji menikahi korban. Jumlah yang diminta tidak sedikit, Rp 650 juta.
Kejadian ini tentu menjadi pelajaran bagi warganet untuk tidak sembarang menerima ajakan pertemanan mengingat bahaya yang mengintai. Tidak semua akun asli dan dimiliki pengguna baik-baik. Pembuatan akun palsu yang menggunakan foto dan identitas orang lain juga sering ditemukan.
Hasil survei APJII juga menyatakan 83,98 persen pengguna internet di Indonesia sadar terhadap penipuan di internet.
Kesadaran yang baik ini hendaknya juga harus diikuti sikap dan perilaku yang bisa menjaga keamanan dalam kehidupan di dunia maya. Mengunci akun medsos, misalnya, ternyata belum menjadi pertimbangan utama responden.
Hasil jajak pendapat menunjukkan jumlah responden yang mengunci dan tidak mengunci akun medsosnya di angka yang relatif berimbang. Padahal, dengan mengatur akun menjadi private, kita lebih terlindungi karena hanya berbagi dengan teman atau orang yang telah kita pilih.
Semua jenis medsos sejatinya telah menyediakan pilihan pengaturan untuk privasi akun. Fitur ini berguna untuk mengatur siapa saja yang bisa melihat unggahan kita. Apalagi jika pengguna akun adalah orangtua yang telah memiliki anak, tentu sangat berbahaya jika foto-foto anak tersebar atau disimpan orang tidak dikenal.
Modus penculikan digital yang kini berkembang, yakni pelaku mengambil foto dan data diri anak, lalu mereka memajang foto anak-anak tersebut seolah anak mereka. Kasus ini pernah terjadi sekitar tahun 2015, saat itu terdapat akun di Instagram yang mengambil foto bayi milik warganet dan dipajang untuk dijual.
Fenomena orangtua membagikan foto buah hati berikut dengan kegiatannya memang lazim ditemukan pada orangtua zaman sekarang. Tanpa disadari, jika orangtua tidak menjaga keamanan akunnya, bukan tidak mungkin penculikan digital ini bisa terjadi.
Sayangnya, kebiasaan-kebiasaan dalam menggunakan medsos ternyata tidak berbeda antargenerasi responden sebagaimana ditunjukkan hasil jajak pendapat. Baik generasi milenial, X, maupun baby boomer tetap membutuhkan literasi yang sama untuk menjaga keamanan akun medsosnya.
Pagari akun medsos
Apa yang sudah pernah kita unggah akan tetap berada di dunia siber selamanya meski kita telah menghapusnya. Bukan tidak mungkin seseorang masih menyimpan dan bisa menyebarkan unggahan kita, terlebih yang bersifat data pribadi.
Berpikir dua kali, kalau perlu lebih, sebelum mengunggah sesuatu di medsos kini menjadi kewajiban utama untuk melindungi diri dan siapa pun yang ada di lingkaran pertemanan kita.
Dari sisi aturan hukum, pemerintah sudah mencoba melindungi pengguna melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang sudah secara tegas mengatur hukuman untuk pencurian identitas. Pidana penjara dan denda hingga miliaran rupiah menanti pelakunya.
Akan tetapi, kesadaran pengguna internet adalah yang utama. Pengguna medsos sendirilah yang bertugas untuk memperkecil kesempatan menjadi korban dari tindak kejahatan siber dengan menjaga keamanan diri dan lingkaran pertemanan kita terutama keluarga beserta berbagai informasi pribadinya.
Dunia siber jauh lebih luas dan berbahaya dari yang kita bayangkan. Namun, bisa juga menjadi arena permainan yang menyenangkan selama kita tahu aturan mainnya. (LITBANG KOMPAS)