Korupsi Kepala Daerah Mengiringi Kontestasi
Pertarungan politik memperebutkan kursi Wali Kota dan Wakil Wali Kota Malang pada awalnya berlangsung seperti pilkada pada umumnya. Banyak pihak memperkirakan Wali Kota Petahana akan mulus meraih kemenangan dibandingkan dua pasangan penantangnya.
Namun, kasus korupsi yang melibatkan petahana di tengah tahapan pilkada, berpotensi membuyarkan semua prediksi. Akhir Maret lalu, Wali Kota Malang Muhammad Anton ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi karena diduga menerima suap pembahasan APBD-P Pemerintah Kota Malang tahun 2015.
Penahanan Anton dinilai akan berdampak pada proses tahapan pilkada yang harus dilalui. Anton adalah salah satu calon wali kota yang diunggulkan karena menjadi petahana.
Tidak berhenti di situ, seminggu kemudian KPK juga menahan lima anggota DPRD Kota Malang yang menjadi tersangka kasus yang sama. Penahanan anggota DPRD Kota Malang pun juga menjerat lainnya, sehingga total 19 anggota legislatif tersebut menjadi tahanan KPK.
Salah satu orang anggota DPRD Kota Malang yang turut ditahan dalam kasus dugaan suap pembahasan APBD Kota Malang ini adalah Ya’qud Ananda Gudban. Ananda adalah salah satu calon wali kota pesaing Anton.
Praktis, dari ketiga pasangan calon yang berlaga di Pilkada Kota Malang, dua calon wali kota nya tidak bisa mengikuti proses tahapan pilkada, terutama kampanye, karena ditahan KPK.
Dari ketiga pasangan calon, yakni Ya’qud Ananda Gudhan – Wanedi yang diusung PAN, PDIP, Hanura, PPP, kemudian pasangan Muhammad Anton - Syamsul Mahmud yang diusung koalisi PKB, PKS, dan Gerindra, dan pasangan Sutiaji - Sofyan Edi Jarwoko yang diusung Demokrat dan Golkar, hanya pasangan Sutiaji - Sofyan Edi Jarwoko yang lengkap.
Dari tiga calon walikota yang bertarung, dua calon ditangkap KPK.
Ketua Komisi Pemilihan Umum Kota Malang Zaenudin sendiri menyatakan, meskipun dua calon wali kota ditahan KPK, proses pilkada tidak bisa dihentikan.
Sepertinya pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Malang bisa masuk rekor sejarah kontestasi politik. Betapa tidak, dimana ada dua kontestannya tidak bisa berkampanye karena terjerat kasus korupsi.
Terpaksa, kontestasi pun tidak berimbang dari segi kehadiran lengkap sebagai pasangan calon. Sementara pasangan calon yang masih lengkap komposisinya, bisa mendulang keuntungan dengan situasi ini.
Hal ini setidaknya bisa dilihat dari debat pilkada Kota Malang yang hanya dihadiri satu pasangan calon lengkap, calon wali kota dan calon wakil wali kota. Sementara dua pasangan calon lainnya hanya dihadiri calon wakil wali kota.
Padahal di aturan KPU jelas menyebutkan pasangan calon wajib hadir dalam debat pilkada yang diselenggarakan oleh KPU. Melihat fenomena korupsi ini, bisa jadi proses kampanye di Pilkada Kota Malang berjalan pincang dan mengurangi bobot jujur dan adil dalam proses pilkada.
Petahana Masih Kuat
Meskipun berada dalam tahanan KPK, Wali Kota Malang petahana yang juga menjadi calon wali kota di pilkada tahun ini, Muhammad Anton, dinilai masih cukup tangguh dan tak gampang untuk dikalahkan.
Kasus korupsi yang menjeratnya, tidak serta merta merosotkan tingkat keterpilihannya. Setidaknya hasil survei Program Studi Ilmu Politik FISIP UB (Universitas Brawijaya) pada April lalu menunjukkan elektabilitas Anton yang kini berstatus tersangka dan menjadi tahanan KPK, menempati posisi teratas, mengalahkan dua pasangan calon lainnya.
Survei yang dilakukan terhadap 400 responden pada April 2018 ini melalui dua sistem. Sistem pertama dilakukan dengan pertanyaan terbuka, dalam arti tidak diberikan pilihan nama.
Hasilnya, elektabilitas Anton sebagai petahana mencapai 44 persen, kemudian disusul penantangnya Ya’qud Ananda Gudban 29,5 persen dan Sutiaji yang notabene wakil wali kota petahana di angka 18,3 persen.
Sementara di model pertanyaan tertutup dengan memberikan pilihan jawaban, Anton yang diusung PKB, Gerindra, dan PKS itu menduduki peringkat pertama dengan tingkat keterpilihan mencapai 76 persen.
Sementara Sutiaji yang diusung Golkar-Demokrat 51,8 persen dan Nanda–panggilan Ya’qud Ananda Gudban– yang diusung koalisi PDIP, PAN, PPP, dan Hanura memiliki potensi keterpilihan mencapai 46,8 persen.
Jika dibandingkan dua model pertanyaan dalam survei tersebut, jelas sekali dengan model diberikan pilihan tertutup asosiasi publik di Malang masih kuat kepada petahana.
Model diberikan pilihan tertutup asosiasi publik di Malang masih kuat kepada petahana.
Hal ini diperkuat fakta bahwa selain Anton yang menjadi wali kota petahana, Sutiaji yang juga wakil wali kota petahana pun mendapat apresiasi lebih tinggi dari Nanda.
Hal ini berbeda tidak seperti saat model bertanya terbuka yang lebih menempatkan Nanda lebih tinggi dibandingkan Sutiaji. Hal ini tentu tidak lepas dari faktor popularitas yang melekat dalam diri petahana itu sendiri.
Staf pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Brawijaya Juwita Hayyuning Prastiwi menyebut masih kuatnya petahana di kalangan pemilih Kota Malang tidak lepas dari karakter pemilih Anton yang relatif loyal.
“Pemilih Abah Anton (panggilan khas Anton) termasuk loyal karena sudah dibangun sejak lama di Malang,” ujar Juwita. Sebelum menjabat wali kota, Anton memang dikenal sebagai seorang pengusaha sukses yang dekat dengan banyak kalangan di Kota Malang, termasuk dengan tokoh-tokoh masyarakat.
Tidak heran jika saat pilkada Kota Malang 2013, saat itu Anton berpasangan dengan Sutiadji memenangi pilkada hanya dengan satu putaran dengan enam pasangan calon. Pasangan Anton-Sutiaji berhasil mengantongi 43,2 persen suara.
Sebuah hasil yang menakjubkan untuk ukuran pendatang baru dalam kontestasi politik dan dengan enam pasangan calon yang di atas kertas persebaran suaranya lebih lebar. Namun, Anton membuktikan kemanangannya yang menjadi fenomena baru di kota pendidikan ini.
Anton sendiri dikenal sebagai Wali Kota Malang pertama yang berasal dari etnis Tionghoa dan pertama kali dari kalangan pengusaha. Anton juga dikenal dekat dengan komunitas muslim karena posisinya sebagai Ketua Persatuan Islam Tionghoa Indonesia Kota Malang.
Kemenangan Anton saat Pilkada 2013 juga membuyarkan banyak analisis ketika itu yang lebih menempatkan istri Wali Kota Malang petahana, Heri Pudji Utami dan Sri Rahayu (anggota DPR RI FPDIP, istri tokoh PDIP Jatim Sirmadji) sebagai unggulan. Kedua nama srikandi ini diprediksi bersaing ketat dan memiliki peluang besar untuk menang.
Namun, Anton sukses membalikkan prediksi saat itu. Sejumlah kiat dan strateginya untuk lebih turun ke bawah, blusukan, menyapa warga, mencoba mengenalkan dirinya langsung di tengah-tengah masyarakat menjadi strategi jitu mengalahkan lawan-lawannya.
Bahkan ada satu kesempatan tim sukses Anton menggelar acara keagamaan, seperti kegiatan ziarah ke wali limo yang digelar secara gratis. Kegiatan-kegiatan semacam ini direspon positif pemilih.
Selain kreatifitas dalam berkampanye mendekati pemilih, pecahnya suara pemilih PDIP, baik ke Heri Pudji Utami maupun Sri Rahayu sebagai sama-sama berlatarbelakang PDIP membuat suara pemilih partai ini pecah dan tidak solid.
Saat itu Sri Rahayu mendapakan rekom PDIP, sedangkan Heri Pudji Utami memilih Golkar dan PAN sebagai kendaraan politiknya. Akibatnya, suara pemilih PDIP pun terpecah. Inilah yang menjadi poin keuntungan Anton dalam merebut massa PDIP.
Blusukan menjadi cara para penantang di masa lalu untuk mengalahkan kandidat.
Kini, dengan menyandang status tahanan KPK, sedikit banyak akan berpengaruh pada proses kampanye Anton. Tentu kesempatan untuk blusukan, mendekati masyarakat, datang dari satu rumah warga ke rumah warga yang lain, menjadi sesuatu yang tidak mungkin dilakukan Anton. Jeruji tahanan membatasinya.
Hal yang sama juga dirasakan oleh Ya’qud Ananda Gudban yang sebelumnya mampu menarik perhatian publik melalui iklan-iklan kampanyenya di sosial media yang kreatif, kini berat sudah untuk berjuang mengalahkan petahana dari balik jeruji. Diakui atau tidak, pilkada Kota Malang tak ubahnya sebagai kontestasi yang selalu dibayangi dengan kasus korupsi.
Tahapan pilkada ke depan tentu akan memengaruhi kualitas hasil pilkada dengan dua orang kontestannya yang harus mendekam di balik jeruji akibat tuduhan korupsi. (YOHAN WAHYU/ LITBANG KOMPAS)