Politik Aliran dan Massa “Pendeng Gepeng” Banyumas
Banyumas adalah sebuah enclave atau relung politik yang pada masa pergerakan kemerdekaan hingga masa Orde Baru cukup dikenal sebagai penghasil tokoh-tokoh kepemimpinan level nasional.
Meskipun wilayahnya kini dibatasi oleh kesatuan administrasi kabupaten yang lebih sempit, namun orang selalu merujuk pada cakupan pemaknaan yang lebih luas ketika membicarakan Banyumas.
Banyumas adalah nama eks karesidenan pada masa Hindia Belanda yang wilayah kekuasaannya dahulu meliputi Kabupaten Banyumas, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Purbalingga dan Kabupaten Banjarnegara.
Kesatuan wilayah ini juga disatukan oleh Bahasa Banyumasan, bahasa Jawa rendahan dengan dialek “Ngapak” yang mencirikan karakter egaliter orang-orang Banyumas. Bahasa ini, bahkan kerap dirujuk sebagai acuan ketika peneliti mempelajari Bahasa Jawa kuno.
Banyumas dikenal juga sebagai Kota Pejuang atau Kota Tentara karena banyaknya tokoh militer yang berasal dari daerah ini. Sebut saja Jenderal Soedirman, maka referensi sejarah akan merujuk pada wilayah Karesidenan Banyumas sebagai basis awal kelahiran maupun perjuangannya.
Selain Bapak Tentara Nasional Indonesia, juga terdapat nama tokoh militer lainnya, seperti Jenderal TNI Gatot Soebroto, Jendral TNI Soesilo Soedarman, Jenderal Surono Reksodimedjo, dan Soepardjo Rustam.
Suparjo Rustam, selain militer juga pernah menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Selain itu, terdapat juga Marsekal Muda TNI J Salatun, perencana berdirinya Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (LAPAN).
Banyumas juga merupakan tempat kelahiran dari Raden Mas Margono Djojohadikusumo, pendiri Bank Negara Indonesia. Ia adalah orang tua dari Begawan Ekonomi Indonesia, Soemitro Djojohadikusumo dan kakek mantan Pangkostrad Prabowo Subianto.
Kota ini juga melahirkan Margono Soekarjo, dokter pribumi pertama yang diakui oleh pemerintahan Hindia Belanda. Dalam bidang olahraga, terdapat nama pemain bulu tangkis Tontowi Ahmad. Banyumas juga menjadi tempat kelahiran beberapa artis seperti S Bagio, Deddy Dhukun Mayangsari, Pangky Suwito, dan Darto Helm. Di bidang sastra, nama Ahmad Tohari sangat lekat dengan kultur literer Banyumas.
Hari Widiyanto, budayawan dan pengamat politik Banyumas, memaparkan kaitan terbentuknya Banyumas sebagai enclave politik penghasil tokoh dengan kedudukan wilayah ini sebagai pusat peradaban kuno.
“Mengingat di Banyumas banyak sekali pusat-pusat peradaban berupa pusat kekuasaan kuno, maka Kabupaten Banyumas sejak dulu dikenal sebagai kabupaten penyedia kepemimpinan nasional di segala bidang,” ungkap Hari (03/4).
Dalam Babad Banyumas kerap disebut adanya Kerajaan Galuh Purba atau Galuh Sindula (dibangun sebelum abad 5 Masehi) dan Kerajaaan Kalingga yang muncul setelahnya. Pangeran Wangsakerta dari Cirebon yang menulis Babad Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara menyebutkan pada abad 7-8 M ada tiga wangsa (dinasti) yang berkembang di Jawa, yaitu Wangsa Kalingga, Wangsa Sanjaya, dan Wangsa Sailendra.
Catatan tersebut sesuai dengan buku yang ditulis oleh Fruin-Mees (Geschiedenis van Java, 1919). Selain itu wilayah eks Karesidenan Banyumas juga menjadi tempat munculnya Kerajaan atau Kadipaten Pasir Luhur dan tokoh legendaris Raden Banyak Catra atau Kamandaka.
Walaupun Banyumas memiliki jejak sejarah kerajaan dan ketokohan yang cukup kuat, namun kabupaten ini sekarang berada di sebuah masa yang gamang dalam melahirkan kepemimpinan. “Sekarang di Kabupaten Banyumas sendiri terjadi anomali, krisis kepemimpinan di tingkat lokal,” kata Hari.
Banyumas saat ini berada di sebuah masa yang gamang dalam melahirkan kepemimpinan.
Krisis Tokoh Lokal
Kabupaten Banyumas mungkin menjadi salah satu gambaran riil dilema kepemimpinan lokal saat ini. Berkurangnya calon-calon yang bertanding dalam pilkada serentak pada 171 daerah di Indonesia juga dirasakan di sini.
Berbeda dengan Pilkada Banyumas 2008 yang diikuti oleh empat kandidat dan Pilkada 2013 yang mampu menghadirkan enam pasang kandidat, dalam pilkada kali ini Kabupaten Banyumas hanya mampu memunculkan dua pasang kandidat untuk bertarung memperebutkan kursi kepemimpinan daerah.
Makin ketatnya aturan Komisi Pemilihan Umum terhadap persyaratan bagi kandidat perseorangan menjadi salah satu sebab. Sebab lain adalah kecenderungan memborong partai yang dilakukan kandidat.
Dan, partai-partai sekarang pada umumnya sudah cukup berpengalaman untuk tidak coba-coba dengan figur yang tidak memiliki peluang menang, sehingga memilih berkoalisi mendukung calon yang sudah memiliki popularitas tinggi.
Partai politik kini semakin pragmatis dalam mendukung calon yang menjamin kemenangan pilkada.
Pemilihan Bupati Banyumas 2018 hanya menghadirkan pasangan Mardjoko – Ifan Haryanto dan Achmad Husein – Sadewo Tri Lastiono.
Dengan adanya dua kontestan muka lama yaitu Mardjoko (mantan Bupati) dan Achmad Husein (petahana) pada Pilkada Banyumas 2018, dapat menjadi indikator bahwa sistem pengkaderan kepemimpinan di Banyumas kurang berjalan.
“Hal ini diakibatkan oleh partai politik, sebagai infrastruktur politik paling dasar dalam pengkaderan dan rekrutmen, berjalan lemah. Akibatnya, parpol tidak bisa memasok banyak kader yang mumpuni,” lanjut Hari.
Mardjoko adalah mantan Bupati Banyumas (2008-2013). Lahir di Purwokerto, 72 tahun yang lalu, Ia pernah menjabat sebagai Kepala Kantor Bea Cukai Ngurah Rai Bali (1992-1995) dan Deputi Pengendalian Penanaman Modal BPKM (2004-2006).
Pasangannya, Ifan Haryanto , adalah pendiri Perwakilan Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) di Inggris, Bendahara Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) (2012-sekarang), dan Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Bogor (2014-sekarang). Ifan juga berprofesi sebagai dosen Fakultas Pascasarjana Universitas Borobudur (2012-sekarang) dan Direktur Indonesian Center for Urban and Regional Studies (ICURS) (2011-sekarang).
Achmad Husein adalah petahana Bupati Banyumas (2013-2018) yang sebelumnya menjadi Wakil Bupati Banyumas mendampingi Mardjoko. Husein, yang kini berumur 59 tahun, sebelum terjun ke dunia politik merupakan insinyur yang bekerja di bidang pengelolaan air. Ia pernah menjabat sebagai Direktur Distrubusi PDAM Surabaya (2003-2005) dan Direktur Utama PDAM Kabupaten Banyumas(2005-2008).
Karirnya dalam politik diawali ketika Ia mendampingi Mardjoko sebagai calon wakil bupati dalam Pilkada 2008. Setelah menang dan menjabat sebagai Wakil Bupati hingga 2013, ia menyatakan berpisah dengan tuannya dan memilih jalan politik sendiri dalam pilkada selanjutnya dengan dukungan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Calon pasangannya, Sadewo Tri Lastiono, adalah pendiri dan pimpinan Kelompok Usaha Tiara Group (1990 – sekarang) yang memiliki Hotel Tiara Purwokerto. Sebelumnya, Ia juga telah terjun ke dunia politik sejak tahun 2004 dengan menjadi aktivis Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Karir politiknya terus menanjak hingga menjadi Anggota DPRD Banyumas Komisi C dari Fraksi PDI-P (2004-2009).
Dalam pemerintahan daerah, Ia menjabat sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Kabupaten Banyumas (2014-2019). Aktivitasnya di dunia usaha menjadikannya sebagai Ketua Dewan Pembina Gapensi Banyumas (2016-sekarang) dan Dewan Pembina Kadin Banyumas (2017-sekarang).
Nasionalis versus Islam-Nasionalis
Bagi Mardjoko, pilkada nanti adalah pilkada langsung ketiga yang akan ditempuhnya dan merupakan revans atau tanding ulang dengan mantan wakilnya.
Mardjoko terpilih menjadi Bupati Banyumas lewat pilkada 2008. Dalam pilkada langsung pertama di Banyumas tersebut, Mardjoko yang berpasangan dengan Achmad Husein diusung oleh PKB. Mereka memenangkan posisi kepala dan wakil kepala daerah dengan perolehan suara 36,35 persen.
Kemenangan pasangan ini seakan juga menjadi penegasan dari dominasi partai Islam-nasionalis atas partai nasionalis. Calon PKB mampu mengalahkan calon dari PDI-P yang sebelumnya menjadi pemenang pemilu, setelah calon yang diajukan PDI-P, Aris Wahyudi dan Asroru Maula, hanya mendapatkan suara 10,92 persen.
Banyumas menjadi wilayah kemenangan partai Islam nasionalis atas PDIP.
Namun, dominasi partai Islam-nasionalis tak berlanjut dalam pilkada berikutnya. Pecah kongsi antara Mardjoko dengan PKB dan juga dengan wakilnya membuat kekuatan Mardjoko maupun PKB goyah. Dalam pilkada tahun 2013 itu Mardjoko berpasangan dengan Gempol Suwandono, dokter dan Direktur RSUD Banyumas.
Mereka diusung oleh Partai Golkar, Partai Hanura, dan Partai Gerindra. Ketidakmampuan pasangan ini merangkul partai Islam-nasionalis bisa jadi merupakan awal dari turunnya elektabilitas mereka.
Pasangan hanya mampu meraup suara sebesar 29,44 persen, kalah cukup jauh dari calon yang diusung oleh koalisi partai nasionalis PDI-P dan partai Islam-nasionalis PPP. Pemenangnya adalah pasangan Achmad Husein-Budhi Setiawan yang diusung oleh koalisi dua partai itu, dengan perolehan suara 45,32 persen.
Budhi Setiawan dikenal sebagai aktivis PDI-P yang menjabat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Cabang (DPC) PDI-P Kabupaten Banyumas.
Sementara, partai Islam-nasionalis lainnya yang sebelumnya mendukung Mardjoko, yaitu PKB, mencalonkan pasangan Muhsonuddin–Hendri Anggoro Budi. Walaupun pasangan ini juga diusung oleh partai nasionalis Demokrat, namun menurunnya pamor partai tersebut di penghujung kekuasaan Susilo Bambang Yudhoyono, membuat koalisi mereka terasa mandul, hanya menghasilkan suara 12,71 persen untuk calonnya.
Pilkada 2018 di Banyumas sekali lagi akan menjadi ajang pembuktian keampuhan ramuan politik aliran. Apakah koalisi partai nasionalis dengan Islam-nasionalis yang akan memegang kendali suara, ataukah koalisi sesama nasionalis yang mampu menopang kemenangan kepala daerah baru.
Dalam pilkada Banyumas kali ini, Mardjoko dan Ifan Haryanto diusung oleh koalisi partai nasionalis (Golkar dan Gerindra) dan Islam tradisional (PKB dan PPP), Islam militan (PKS) serta partai Islam moderat (PAN) dengan total jumlah dukungan anggota DPRD mencapai 30 kursi.
Tiga partai tercatat sebagai partai menengah yaitu PKB, Golkar, dan Gerindra. PKB merupakan partai kedua terbesar di Kabupaten Banyumas, dengan perolehan tujuh kursi pada pemilu lalu, sedangkan Golkar dan Gerindra masing-masing mendapatkan enam kursi. PAN dan PKS masing-masing empat kursi, dan PPP tiga kursi.
“Dari awal, Mardjoko memang berusaha sekuat tenaga meraih dukungan dari parpol nasionalis-religius PPP dan PKB. Tampaknya Mardjoko sangat sadar, kunci mengalahkan bupati petahana Achmad Husein adalah dukungan basis massa kultural. Ormas berbasis kultural NU lagi-lagi menjadi rebutan dua kontestan,” kata Hari.
Sebaliknya, Achmad Husein dan Sadewo Tri Lastiono diusung oleh koalisi sesama partai nasionalis, gabungan partai pemenang dan partai kecil, yaitu PDI-P, Demokrat, dan Nasdem dengan total jumlah dukungan DPRD sebesar 20 kursi.
PDI-P merupakan partai terbesar di Banyumas yang memiliki 16 kursi, sedangkan Partai Demokrat tiga kursi dan Partai Nasdem satu kursi. Jika pada Pilkada 2013 Achmad Husein dan Budi Setiawan dikukung oleh PPP, kali ini tak satupun partai Islam-nasionalis yang mendukung Husein.
“Tetapi basis massa kultural kaum nahdliyin tidak lantas menjadi jaminan untuk memenangkan Mardjoko. Mengingat prinsip kaum nahdliyin dan kyai-kyainya ingin berada di mana-mana (prinsip dua kaki), maka kemungkinan terjadi pecah massa selalu ada.
Bahkan, kini tak sedikit kaum nahdliyin yang cenderung berada di kubu Achmad Hussein. Ada yang sembunyi-sembunyi, ada pula yang malu-malu hadir pada saat road show kegiatan dukung-mendukung Achmad Husein di beberapa tempat,” ungkap Hari.
Basis masa Islam kultural yang menjadi perebutan dua kontestan mempunyai akar pada keluarga Pesantren Al Ihya Kesugihan Cilacap yang pengaruhnya dominan pada pesantren-pesantren penting di Banyumas.
Basis masa Islam kultural menjadi perebutan dua kontestan pilkada.
Para tokoh kaum nahdliyin Kabupaten Banyumas pada umumnya bernaung pada kiblat politik dua pondok pesantren, yaitu Pondok Pesantren Miftahul Huda, Desa Pesawahan, Rawalo yang di dalamnya ada KH Habib Mahfudz (Ketua DPC PKB Kabupaten Banyumas), dan Pondok Pesantren At-Taujieh Al-Islamy Leler, Desa Randegan, Kebasen, di bawah Ketua Dewan Pertimbangan PPP KH Zuhrul Anam (Gus Anam).
Persaingan merebut suara pemilih di dalam Pilkada Banyumas 2018 tampaknya tidak lagi ditentukan oleh rekam jejak kinerja atau popularitas figur karena keduanya sama-sama terkenal. Persaingan tampaknya akan lebih ditentukan oleh militansi partai pengusung, terutama bergantung pada dua partai militan, PKS dan PDI-P.
Militansi PKS akan berhadapan dengan massa yang “pendeng gepeng dan pejah gesang ndherek Bu Mega (remuk redam dan mati hidup ikut Bu Mega). “
Jika Mardjoko menang, pastilah penentu kemenangannya adalah masa pemilih dari basis Islam militan yang bernaung di bawah PKS. Sebaliknya, jika Husein yang menang, pastilah massa ‘pendeng gepeng dan pejah gesang ndherek Bu Mega’ yang terbukti ampuh pada Pilkada 2018,” pungkas Hari.
Militansi PKS akan berhadapan dengan berhadapan dengan militansi PDIP.
Jika pasangan Mardjoko–Ifan yang menang, mungkin ramuan lama perpaduan kekuatan nasionalis-religius menjadi rumus yang masih cukup manjur dalam politik kekuasaan di Banyumas. Namun, jika Husein–Sadewo yang menang, bisa jadi resep politik harus ditulis ulang di kertas baru. (BAMBANG SETIAWAN/LITBANG KOMPAS)