Pertarungan Probolinggo Minus Petahana
Dominasi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Kota Probolinggo sepertinya dipertaruhkan dalam kontestasi pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Probolinggo 27 Juni mendatang.
Tidak direkomendasikannya kepala daerah petahana yang berasal dari partai ini turut menjadi faktor yang memengaruhi peluang partai ini mempertahakan dominasinya.
Keputusan DPP PDI Perjuangan tidak memberikan rekomendasi kepada Rukmini untuk menjadi calon Wali Kota Probolinggo, juga dinilai janggal oleh kader-kader partai banteng di Kota Probolinggo.
Sejumlah hal disebutkan, mulai dari popularitas dan elektabilitas Rukmini sebagai kepala daerah petahana yang melebihi calon lainnya, termasuk pasangan calon yang akhirnya diusung PDIP, Syamsu Alam – Kulup Widyono.
Salah satu hasil survei internal yang dilakukan oleh DPC PDIP Kota Probolinggo yang bekerja sama dengan Universitas Panca Marga Probolinggo menyebutkan, elektabilitas Rukmini paling tinggi diantara semua kandidat wali kota yang masuk bursa.
Hal inilah yang dikhawatirkan akan berpengaruh pada peluang kemenangan PDIP pada pilkada yang wilayahnya menjadi salah satu basis di daerah Pandalungan ini.
Rukmini sendiri menyatakan legowo dengan keputusan DPP PDI Perjuangan yang memberikan rekomendasinya kepada pasangan Syamsu Alam - Kulub Widiyono. “Secara pribadi, saya legowo, apapun yang menjadi keputusan partai, itu yang dijalankan,” kata Rukmini di awal tahun setelah turun rekomendasi partai.
Rukmini adalah wali kota yang menggantikan posisi sang suami, Buchori, yang sebelumnya sudah menjabat Wali Kota Probolinggo selama dua periode.
Tidak direkomendasikannya wali kota petahana ini memang sedikit banyak menjadi sedikit tidak biasa.
Bagaimanapun sosok petahana memiliki nilai plus tersendiri dalam sebuah kontestasi politik. Mulai dari jaringan infrastruktur pemerintahan dan birokrasi, meskipun di atas kertas sudah ada larangan, jamak terjadi politisasi birokrasi susah untuk dideteksi.
Selain itu petahana juga banyak kesempatan tampil ke publik dalam kaitannya sebagai kepala daerah. Hal-hal seperti ini menjadi kelebihan dari calon kepala daerah dari unsur petahana.
Meskipun demikian, sisi positifnya boleh jadi tidak lepas dari upaya mereduksi potensi politik dinasti di tingkatan lokal. Seperti halnya yang terjadi di Kabupaten Probolinggo dengan adanya Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari yang notabene istri mantan Bupati Probolinggo, Hasan Aminuddin.
Di Kota Probolinggo, sosok Rukmini lahir juga tidak lepas dari peran sang suami, Buchori yang tak lain adalah mantan Wali Kota Probolinggo selama dua periode sebelum Rukmini.
Kini dengan tidak direkomnya Rukmini, potensi politik kekerabatan atau politik dinasti yang sedang dibangun di Kota Probolinggo pun perlahan melemah dengan gagalnya Rukmini maju kembali sebagai calon wali kota. Suaminya yang juga mantan Wali Kota Probolinggo selama dua periode, Buchori, mendukung pasangan Habib Hadi Zainal Abidin dan Soufis Subri.
Pasangan ini diusung koalisi PKB, Demokrat dan PKS. Buchori sendiri meskipun tercatat sebagai kader PDIP, dikenal juga sebagai tokoh Ansor dan Banser di Probolinggo. Jadi tidak heran jika kemudian setelah istrinya gagal maju, Buchori lebih mendukung pasangan Habib-Soufis.
Peta Kekuatan
Di atas kertas, pasangan nomor urut 4, Habib -Soufis ini disinyalir memiliki peluang lebih besar dibandingkan ketiga pasangan calon lainnya. Pasangan ini mengantongi dukungan 7 kursi di DPRD Kota Probolinggo atau 23,3 persen suara parlemen.
Dukungan mantan Wali Kota Probolinggo Buchori kepada pasangan ini sedikit banyak akan berpengaruh pada tingkat keterpilihan mereka. Sosok Buchori yang memiliki jaringan kuat karena dua periode menjadi wali kota dan terbukti mampu mengantarkan istrinya, Rukmini menang pilkada Kota Probolinggo 2013.
Sedikit banyak jaringan Buchori yang bisa saja beririsan dengan kader-kader PDIP dan tentu nahdliyin disinyalir akan berdampak positif bagi pasangan Habib-Soufis ini.
Tentu hal ini menjadi ancaman serius bagi pasangan Syamsu Alam-Kulup Widyono yang diusung oleh PDIP. Gagalnya Rukmini mendapatkan rekomendasi dari PDIP disebut-sebut akan berpotensi pecahnya suara dari simpatisan partai ini. Terutama dengan sikap Buchori yang cenderung mendukung pasangan Habib-Soufis.
Pasangan Syamsu-Kulup sendiri hanya diusung oleh PDIP karena kursinya sudah cukup memenuhi syarat mengajukan pasangan calon sendiri tanpa harus berkoalisi dengan partai politik lainnya. Di parlemen, PDIP memiliki 8 kursi di DPRD Kota Probolinggo.
Selain pasangan dari PDIP, pasangan yang diusung partai politik adalah Fernandan Zulkarnain – Zulfikar Imawan. Pasangan ini diboyong oleh koalisi empat partai politik, yakni Gerindra, PPP, Nasdem, dan Golkar. Koalisi ini mengumpulkan 15 kursi DPRD Kota Probolinggo atau sekitar separuh dari total kursi parlemen.
Jelas jika memenangi kontestasi, pasangan Fernandan-Zulfikar lebih mudah mendapatkan dukungan parlemen karena modal dukungannya sudah lebih besar dibandingkan pasangan calon lainnya.
Sementara itu satu-satunya pasangan calon dari jalur perseorangan adalah Suwito-Ferry Rahyuwono. Pasangan ini adalah sama-sama berlatarbelakang profesional, pekerja swasta yang memberanikan diri masuk dalam gelanggang politik, meskipun harus melalui jalur nonpartai politik.
Melalui jalur ini tidak mudah bagi pasangan Suwito-Ferry untuk mengumpulkan dukungan. Dari dokumen yang diunggah KPU mencatat pasangan ini harus beberapa kali melakukan perbaikan berkas dukungan terkait kelengkapan syarat dukungan dari warga sebagai syarat dari jalur perseorangan ini.
Elektabilitas
Dari keempat pasangan calon ini, seperti yang disinggung di atas, pasangan nomor urut 4, Habib-Soufis memiliki peluang keterpilihan lebih besar dibandingkan padangan calon lainnya. Setidaknya ini bisa dikutip dari hasil survei Social and Education Center (SEC) Probolinggo.
Lembaga survei tingkat lokal ini mengungkap hasil survei tingkat keterpilihan atau elektabilitas calon Wali Kota dan Wakil Walikota Probolinggo dalam Pilkada 2018, hampir semua pasangan calon meraih di bawah 30 persen. Secara umum keempat pasangan calon, bisa dikatakan memiliki peluang untuk dipilih, memimpin masyarakat Kota Probolinggo.
Namun, survei juga menangkap pasangan calon nomor urut 4, Habib - Soufis menjadi pasangan calon paling tinggi elektabilitasya, yakni sebesar 29,9 persen. Kemudian disusul pasangan nomor urut 2 Fernanda - Zulfikar (24,3 persen), pasangan calon nomor urut 3 Syamsu – Kulup (3,0 persen) dan di posisi paling buncit pasangan calon dari jalur perseorangan, nomor Suwito-Fery (1,0 persen).
Survei juga merekam belum banyak responden yang menjawab pilihan mereka. Hanya 58,2 persen warga yang sudah menentukan pilihan. Sisanya, sebanyak 41,8 persen belum menentukan pilihannya.
SEC mencatat mereka adalah pemilih rasional yang tidak berafiliasi pada parpol atau tokoh tertentu. Dengan begitu pasangan calon dan tim pemenangan harus bekerja ekstra keras untuk menggaet pemilih tidak loyal atau swing voter tersebut.
Meratanya tingkat elektabilitas pasangan calon juga tidak lepas dari tidak ikut sertanya petahana sebagai pasangan calon di pilkada. Kontestasi pilkada Kota Probolinggo tentu berbeda jika diikuti oleh petahana yang memiliki modal awal popularitas dan sekaligus elektabilitas lebih tinggi dari pasangan lainnya. Ketika pilkada minus petahana, ajang perebutan suara pun lebih mencair dan terbuka. (YOHAN WAHYU/LITBANG KOMPAS)