Benarkah Jokowi Makin Aman di Jawa?
Berbagai prediksi kemenangan pasangan calon gubernur seusai pilkada serentak 2018 mengindikasikan posisi politik keterpilihan Joko Widodo dalam Pemilu 2019 semakin menguat. Benarkah demikian?
Dengan menggunakan dasar analisis jumlah kemenangan sebagian besar pasangan calon gubernur yang didukung oleh partai-partai politik pendukung pemerintahan Jokowi, pertanyaan di atas dapat dibenarkan.
Partai-partai pendukung pemerintahan, yakni Nasdem, Golkar, PPP, PKB, Hanura, PKPI, hingga PDI-P masing-masing mengklaim kemenangan kader partai yang diusung. Jika bukan kadernya, dukungan terhadap sosok politik yang dilakukan dengan berkoalisi bersama partai lain juga dinyatakan sebagai kemenangan.
Sekalipun menunjukkan dinamika kemenangan dan kekalahan dalam penguasaan politik di tiap-tiap daerah, model analisis demikian jelas menempatkan partai pendukung pemerintah tampak berjaya.
Sebaliknya, pilkada serentak kali ini menempatkan sebagian besar partai-partai politik di luar pemerintahan semakin menyusut pamor penguasaan politiknya.
Partai Gerindra dan PKS, misalnya, menjadi partai politik yang rendah jumlah kemenangan yang dicapai dalam jabatan-jabatan gubernur. Paling mencolok, calon-calon gubernur dari kedua partai ini, seperti di Jawa Barat dan Jawa Tengah, kandas.
Perlawanan masif yang dilakukan partai dan para pendukung di kedua daerah tersebut memang berbuah hasil yang mengejutkan. Akan tetapi, tetap saja tidak mampu menguasai kursi gubernur.
Padahal, Jawa Barat dan Jawa Tengah adalah wilayah simbolik bagi kekuatan politik saat ini. Jawa Barat, misalnya, selama ini sebagai benteng pendukung partai-partai politik yang berseberangan dengan pemerintahan.
Penguasaan Gerindra dan terutama PKS selama ini dalam pilkada, pemilu legislatif hingga Pemilu Presiden 2014 menjadikan Jawa Barat sebagai pusat kekuatan kedua partai. Prabowo Subianto berjaya dan menang di daerah ini dalam Pemilu Presiden 2014. Sejak Pilkada 2008, kursi gubernur milik PKS bersama kadernya.
Sebaliknya, Jawa Tengah menjadi simbol kekuatan PDI-P bersama kadernya, Joko Widodo. Selama ini, masih belum ada satu kekuatan politik yang mampu menggantikan penguasaan PDI-P di Jawa Tengah.
Itulah mengapa menguasai Jawa Barat dan Jawa Tengah adalah suatu keharusan, yang sekaligus menguasai jantung kemenangan simbolik politik. Dalam pilkada kali ini, barisan partai pendukung pemerintahan Jokowi mampu memenangi pertarungan.
Persoalannya, model analisis yang menghubungkan kemenangan kader partai dan partai pengusungnya dengan peluang keterpilihan politik Presiden Jokowi ataupun peluang partai-partai pengusungnya dalam Pemilu 2019 punya celah kelemahan.
Model analisis demikian bersifat tidak langsung (indirect causality) dan cenderung spekulatif. Sistem pemilu demokrasi yang dipraktikan jelas mendudukan subyek politik merupakan individu yang memiliki hak memilih secara langsung presiden ataupun partai politik.
Oleh karena itu, menjadi pertanyaan krusial, apakah dengan sendirinya jika kemenangan calon-calon gubernur dalam pilkada akan berelasi positif terhadap potensi kemenangan calon presiden ataupun partai politik? Benarkah Presiden Jokowi Berjaya dengan hasil pilkada kali ini?
***
Dengan menggunakan model analisis berbasis pilihan individu sebagai pemilih yang diperoleh dari hasil-hasil survei opini, secara langsung (direct causality) posisi politik Jokowi tergambarkan saat ini.
Begitu pula dengan membandingkan dua hasil survei, baik survei yang dilakukan sebelum pilkada (survei pra pilkada) dan survei setelah pilkada (exit poll), lebih presisi tergambarkan perubahan politik yang berlangsung terkait dengan penyelenggaraan pilkada.
Tidak tersanggahkan, posisi keterpilihan Jokowi memang menguat setelah pilkada serempak 2018. Hasil exit poll menunjukkan, dari tiga provinsi Pulau Jawa: Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, elektabilitas Jokowi sebesar 55 persen.
Prabowo, sebagai pesaing terdekatnya, hanya mampu menguasai 23,3 persen dukungan, tidak sampai separuh bagian dari pendukung Jokowi. Tidak lebih dari 5 persen dukungan tersebar pada tokoh-tokoh politik lain yang dianggap layak dipilih sebagai presiden.
Elektabilitas Jokowi di Jawa berada di angka 55 persen.
Sementara itu, dari hasil survei ini tampak pula sebanyak 16,3 persen pemilih tidak menjawab ataupun mengaku belum punya pilihan pasti.
Jika dielaborasi, sebaran dukungan terhadap Jokowi ataupun Prabowo tidak seragam. Sekalipun Jokowi unggul di ketiga provinsi, di Jawa Barat persaingan antarkeduanya tergolong sengit, tidak terpaut jauh.
Pada kedua provinsi lain, jarak elektabilitas menjauh. Jokowi tampak dominan di Jawa Tengah, menguasai hingga lebih dari dua pertiga pemilih. Di Jawa Timur, ia menguasai hingga 59,7 persen dukungan (Grafik 1).
Dukungan terhadap Jokowi disimpulkan menguat, lantaran dibandingkan dengan survei yang dilakukan sebelum pilkada menunjukkan adanya peningkatan dukungan.
Peningkatan cukup signifikan terjadi justru di Jawa Barat dan juga di Jawa Tengah, wilayah yang menjadi pertarungan simbolik politik bagi kedua tokoh.
Di Jawa Barat, jika setelah pilkada Jokowi unggul dengan penguasaan hingga 40 persen, sebelumnya ia hanya mampu menguasai 36,3 persen saja dan sebaliknya Prabowo mampu menguasai hingga 40,1 persen.
Peningkatan yang signifikan juga terjadi di Jawa Tengah. Dukungan saat ini sebesar 68,2 persen merupakan yang tertinggi setelah pada survei sebelumnya, dukungan terhadap Jokowi sebesar 61,2 persen.
Peningkatan di kedua provinsi di atas tidak terjadi di Jawa Timur. Proporsi dukungan sebelum dan setelah pilkada relatif sama besar. Pada sisi lain, justru terjadi penurunan dukungan terhadap Prabowo di Jawa Timur (Grafik 2).
***
Membandingkan kedua hasil survei juga mengungkapkan bahwa perubahan dukungan yang terjadi berkaitan pula dengan sosok-sosok calon gubernur dalam pilkada.
Setiap daerah pola yang terjadi berbeda-beda. Di Jawa Barat, misalnya, peningkatan dukungan terhadap Jokowi berelasi dengan dukungan pemilih pada pasangan calon gubernur baik pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul, Tb Hasanuddin-Anton Charliyan, dan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi.
Perubahan dukungan terhadap Jokowi yang cukup signifikan berasal dari para pemilih Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul (6,6 persen) dan pendukung pasangan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi (7,6 persen).
Umumnya, para pemilih Sudrajat-Ahmad Syaikhu mendukung Prabowo. Namun, yang menarik, becermin pada hasil kedua survei, terdapat pula peningkatan yang cukup signifikan dari para pemilih pasangan ini kepada Jokowi.
Jika pada survei sebelum pilkada hanya 11 persen para pendukung Sudrajat-Ahmad Syaikhu yang juga mendukung Jokowi sebagai presiden, setelah pilkada menjadi 16,5 persen (Grafik 3).
Konfigurasi perubahan dukungan di Jawa Barat semakin menarik dicermati, terutama dalam memahami peningkatan dukungan terhadap pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu pada hari pencoblosan.
Dengan mengkaji kedua hasil survei, peningkatan dukungan terhadap Sudrajat-Ahmad Syaikhu secara masif tampaknya lebih cenderung terjadi pada para pemilih PKS dan tidak secara signifikan pada para pemilih Gerindra.
Implikasinya pada pilihan calon presiden. Pada periode yang sama, proporsi dukungan PKS terhadap Prabowo meningkat (4,5 persen) dan terhadap Jokowi menurun (5,4 persen). Namun, proporsi pemilih Gerindra yang memilih Jokowi justru meningkat, dari sebelumnya hanya 10,1 persen menjadi 15 persen.
Dengan kedua data hasil survei, menguatkan kesan bahwa dinamika perubahan dukungan di Jawa Barat tampaknya lebih menempatkan kekuatan PKS sebagai determinan.
Kondisi di Jawa Barat agak berbeda dengan yang terjadi di Jawa Tengah maupun di Jawa Timur. Di Jawa Tengah, misalnya, hasil pilkada secara signifikan semakin meningkatkan posisi keterpilihan Jokowi. Mayoritas pendukung Ganjar-Pranowo-Taj Yasin memilih Jokowi, dan semakin menguat pola dukungannya setelah pilkada.
Akan tetapi, menarik mencermati, bahwa peningkatan dukungan terhadap Jokowi juga terjadi pada para pendukung Sudirman Said-Ida Fauziah (Grafik 4).
Satu sisi, hasil demikian seolah menunjukkan tidak adanya relasi antara dukungan pilkada dan dukungan pencalonan presiden.
Di sisi lain, juga menarik dicermati jika tingginya dukungan terhadap Jokowi dari kalangan pemilih Sudirman Said-Ida Fauziah, tidak lepas pula dari posisi dukungan pemilih PKB sebagai partai pendukung Sudirman Said-Ida Fauziah. Hampir dua pertiga pendukung PKB di Jawa Tengah secara konsisten mendukung Jokowi.
Dinamika perubahan dukungan di Jawa Barat dan Jawa Tengah cenderung tidak banyak terjadi di Jawa Timur. Perbandingan kedua hasil survei memang menunjukkan terjadi peningkatan secara signifikan dukungan terhadap Jokowi dari para pemilih Saifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno (Grafik 5).
Penelusuran lebih jauh, pola dukungan semacam itu lebih banyak disebabkan semakin menguatnya dukungan terhadap Jokowi dari para pemilih Saifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno yang berasal dari PDI-P.
Sementara konfigurasi dukungan partai-partai lain terhadap calon presiden cenderung tetap. Para pemilih Gerindra dan PKS di Jawa Timur, misalnya, masih dominan memilih Prabowo. Begitu pula partai-partai pendukung pemerintahan, lebih dominan memilih Jokowi.
Dengan membandingkan kedua hasil survei, Pilkada 2018 seolah menjadi karpet merah pencalonan presiden yang membuat langkah Jokowi sejauh ini semakin melenggang (Bestian Nainggolan/Litbang Kompas).