Pemain Pendatang Baru Muara Enim
Melampaui berbagai hasil survei elektabilitas prapilkada, pasangan calon Ahmad Yani-Juarsah memenangkan Pilkada Kabupaten Muara Enim 2018. Memanfaatkan label sebagai ”pemain baru” dan memainkan sentimen putra daerah, pasangan ini berhasil mengambil hati para pemilih di Muara Enim.
Ahmad Yani-Juarsah yang diusung oleh Partai Hanura, Demokrat, dan PKB mengungguli ketiga pasangan calon yang lain berdasarkan hasil rekapitulasi perhitungan suara KPU Muara Enim.
Pasangan calon nomor urut empat ini memimpin perolehan suara dengan 96.571 suara atau 33,58 persen. Pasangan calon nomor urut dua, Nurul Aman-Thamrin, mengikuti dengan 73.211 suara atau 25,46 persen.
Menyusul kemudian pasangan nomor urut tiga, Shinta-Syuryadi, dengan 62.462 suara atau 21,72 persen. Di posisi terakhir, pasangan nomor urut satu, Syamsul-Hanan, dengan 55.261 suara atau 19,22 persen.
Jumlah suara sah yang masuk ke KPU Muara Enim dari 20 kecamatan sejumlah 287.505 suara, sedangkan jumlah suara tidak sah sebanyak 13.249 suara. Dengan demikian, total seluruh suara yang masuk, baik sah maupun tidak sah, sebesar 300.754 suara.
Ahmad Yani-Juarsah maju pilkada dengan dukungan 11 kursi DPRD gabungan dari tiga partai, yaitu Hanura (3), Demokrat (5), dan PKB (3).
Di pentas politik Kabupaten Muara Enim, baik Ahmad Yani maupun Juarsah merupakan pemain baru. Sebelumnya mereka lebih dikenal di tingkat provinsi.
Sang calon bupati, Ahmad Yani merupakan anggota DPRD Provinsi Sumatera Selatan, sedangkan wakilnya, Juarsah, merupakan Wakil Ketua DPW PKB Provinsi Sumatera Selatan.
Peserta pilkada
Koalisi di Kabupaten Muara Enim memang tak terhindarkan. Dengan total 45 kursi di DPRD, tak ada partai yang dapat mengusung sendiri calonnya. Diperlukan 9 kursi (20 persen) untuk mencalonkan bupati dan wakil bupati di Kabupaten Muara Enim.
Dari empat pasangan calon yang berlaga di Pilkada Muara Enim 2018, tiga pasangan maju dari jalur partai, sedangkan satu pasangan dari jalur perseorangan. PDI-P sebagai partai pemenang pemilu di Muara Enim pun tak dapat mengusung sendiri calonnya karena hanya mengantongi 8 kursi.
Pasangan nomor urut satu adalah Syamsul Bahri dan Hanan Zulkarnain. Pasangan ini mendapatkan dukungan dari PAN (3), Gerindra (3), Nasdem (4), dan PBB (3) dengan total dukungan 13 kursi DPRD.
Pasangan nomor ini sempat mendapatkan dukungan dari Partai Golkar. Namun, dukungan itu kandas setelah diangkatnya kembali Muzakir Sai Sohar, bupati petahana, menjadi Ketua DPP Partai Golkar Kabupaten Muara Enim. Partai Golkar lantas mengalihkan dukungan ke pasangan calon nomor urut 3.
Syamsul Bahri merupakan seorang PNS, Kepala Dinas Pengairan Provinsi Sumatera Selatan. Sementara calon wakilnya, Hanan Zulkarnain, merupakan tokoh lama di Muara Enim yang ”turun gunung”. Pada 2003-2008, ia pernah menjadi Wakil Bupati Muara Enim.
Pasangan selanjutnya, nomor urut dua, adalah Nurul Aman dan Thamrin AZ. Pasangan ini didukung oleh PDI-P (8) dan PPP (4) dengan total dukungan 12 kursi di DPRD. Sang calon bupati, Nurul Aman, merupakan wakil bupati petahana sekaligus Ketua DPD Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Ia mencoba naik kelas dengan menggandeng Thamrin AZ. Thamrin merupakan kader PDI-P yang pernah menjabat Ketua DPRD Kabupaten Muara Enim selama dua periode. Saat ini, ia merupakan anggota DPRD Kabupaten Muara Enim.
Dari sisi dukungan logistik, pasangan nomor urut dua ini memiliki harta terdaftar (LHKPN) yang paling besar dibandingkan tiga pasangan calon yang lain.
Urutannya, pasangan calon nomor urut dua dengan harta gabungan Rp 18,7 miliar, pasangan nomor urut satu dengan harta gabungan Rp 10,3 miliar, pasangan nomor urut empat dengan harta gabungan Rp 7,6 miliar, dan terakhir pasangan nomor urut tiga dengan harta gabungan Rp 6,2 miliar.
Pasangan nomor urut tiga adalah Shinta Paramita Sari dan Syuryadi. Pasangan ini maju dari jalur perseorangan. Dengan DPT Kabupaten Muara Enim terakhir (2014) sejumlah 413.506 suara, mengacu pada UU Pemilu tahun 2016, calon dari jalur perseorangan membutuhkan minimal 8,5 persen dukungan atau 35.149 dukungan suara.
Pasangan ini maju dengan 38.825 dukungan suara. Sang calon bupati, Shinta Paramita Sari, merupakan istri Muzakir Sai Sohar, sang bupati petahana. Shinta merupakan doktor hukum pidana lulusan Universitas Padjadjaran yang aktif sebagai dosen dan PNS di Muara Enim.
Wakilnya, Syuryadi Amirudin, merupakan Ketua DPD Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Kabupaten Muara Enim. Selain itu, Syuryadi Amirudin juga merupakan seorang pimpinan pondok pesantren.
Melawan ”status quo”
Dari keempat pasangan calon, tiga pasangan dapat dikategorikan berhubungan/pernah berhubungan dengan kekuasaan di Muara Enim.
Pasangan calon nomor urut satu masuk dalam kategori ini karena memiliki wakil yang merupakan mantan Wakil Bupati Muara Enim. Pasangan nomor urut dua juga masuk dalam kategori status quo karena sang calon bupati merupakan wakil bupati petahana.
Nuansa status quo yang ingin dipertahankan paling terasa dari pasangan calon nomor urut tiga. Walaupun maju dari jalur perseorangan, sang calon bupati merupakan istri petahana. Dukungan total dari sang petahana bagi pasangan ini merepresentasikan politik dinasti yang ingin dibangun di Muara Enim.
Totalitas dukungan Muzaki Sai Sohar bagi sang istri dibuktikan menjelang penetapan pasangan calon di awal 2018. Muzakir Sai Sohar, bupati petahana yang juga merupakan Ketua DPD Golkar Kabupaten Muara Enim, sempat dipecat sebagai Ketua DPD Golkar Kabupaten Muara Enim.
Hal ini karena alih-alih mendukung pasangan calon nomor urut satu sebagai calon pilihan partai, ia malah mendukung istrinya maju menjadi calon bupati dari jalur perseorangan. Dengan demikian, Partai Golkar yang tidak secara resmi mengusung calon bupati di Muara Enim sempat mendukung pasangan calon nomor urut satu.
Selang lima bulan, pada Mei 2018, Muzakir Sai Sohar kembali memimpin Golkar Kabupaten Muara Enim dan segera mengalihkan dukungan Partai Golkar untuk memenangkan istrinya yang sudah maju dari jalur perseorangan.
Melawan tiga pasangan calon yang berhubungan dengan status quo dan berbangga akan pengalaman dalam perpolitikan di Muara Enim, Ahmad Yani-Juarsah malah mengambil jarak: maju sebagai ”pemain baru”.
Penegasan sebagai pasangan yang jauh dari lingkaran kekuasaan malah membuat pasangan ini mendapat simpati tersendiri di antara pemilih Muara Enim. Pasangan ini tidak dapat mengklaim keberhasilan yang dibuat oleh petahana dan bupati sebelumnya.
Di sisi lain, mereka dianggap tidak bertanggung jawab terhadap kesalahan dan kegagalan ”rezim” yang berkuasa di Muara Enim. Tampaknya, racikan strategi paslon pasangan calon nomor urut empat ini cukup berhasil.
Tambang dan kemiskinan
Dikenal sebagai penghasil minyak bumi, gas, dan batubara, Muara Enim memiliki produk domestik regional bruto (PDRB) yang cukup tinggi di Sumatera Selatan. Pada 2016, PDRB Muara Enim mencapai Rp 42,6 triliun, nomor tiga se-Sumatera Selatan di bawah Kota Palembang Rp 118,7 triliun dan Kabupaten Musi Banyuasin Rp 55,4 triliun.
Struktur ekonomi Muara Enim 2016 disokong 53 persen oleh sektor pertambangan dan penggalian, diikuti sektor industri pengolahan (14 persen). Sektor lain, yaitu pertanian, kehutanan, dan perikanan, hanya menyumbang 11 persen walaupun hampir 80 persen wilayah Muara Enim merupakan daerah pertanian.
Nilai uang yang menggembirakan dari minyak bumi, gas alam, dan batubara ternyata tak dibarengi dengan nilai pemerataan kesejahteraan. Rasio gini di Kabupaten Muara Enim 2016 berada di angka 0,33.
Walaupun termasuk dalam ketimpangan rendah, di bawah rata-rata Sumatera Selatan, 0,35, ketimpangan di Muara Enim masih menduduki nomor 10 dari 17 daerah di Sumatera Selatan. Posisi tersebut tak lebih baik bila dibandingkan dengan rata-rata ketimpangan nasional 2016 di daerah perdesaan sebesar 0,31.
Popularitas Muara Enim sebagai penghasil migas utama di Indonesia tak membuat kabupaten ini bebas dari persoalan kemiskinan. Bahkan, di level provinsi, Muara Enim berada dalam jajaran kabupaten dengan tingkat penduduk miskin yang tinggi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2016, persentase penduduk miskin di Muara Enim mencapai 13,56 persen. Dibandingkan dengan daerah lain di Sumatera Selatan, persentase tersebut menduduki urutan ke-9 dari 17 kabupaten/kota di Sumatera Selatan dan masih lebih tinggi daripada rata-rata persentase penduduk miskin di Sumatera Selatan, 13,54 persen.
Artinya, persentase penduduk miskin di Muara Enim lebih banyak daripada rata-rata kabupaten/kota lain di Sumatera Selatan.
Kabar senada dapat dilihat dari sisi Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM Kabupaten Muara Enim 2016 menempati urutan ke-6 di Sumatera Selatan dengan angka 66,71.
Angka ini lebih rendah dari rata-rata IPM Sumatera Selatan sebesar 68,24. Di tingkat nasional, angka tersebut menempatkan Muara Enim di urutan ke-290 dari 522 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Dari data di atas tampak jelas bahwa ketimpangan, terutama kemiskinan, menjadi persoalan besar di Muara Enim. Persoalan ini, di samping isu lingkungan, menjadi materi visi-misi-program yang diusung oleh keempat pasangan calon bupati Muara Enim.
Berbeda dengan tiga pasangan lain yang memaparkan visi-misi-program dengan sangat umum, pasangan nomor urut empat merespons persoalan kemiskinan dengan program yang sangat operasional dan dekat dengan kehidupan seluruh rakyat Muara Enim.
Program merakyat
Terhadap persoalan kemiskinan, pasangan calon ini menawarkan program yang disebut program Merakyat. Program itu dikonkretkan dalam bentuk kartu rakyat. Dengan kartu itu, setiap penduduk Muara Enim akan mendapatkan jaminan pelayanan dari lahir sampai sampai mati.
Konkretnya, dengan kartu itu, setiap penduduk Muara Enim akan menikmati pelayanan pembuatan akta kelahiran, kartu keluarga, kartu tanda penduduk, serta akta kematian secara gratis dan cepat. Kartu itu juga dapat digunakan untuk mendapatkan fasilitas sekolah gratis di tingkat SD dan SMP. Selain gratis, setiap peserta didik akan mendapatkan seragam gratis.
Bagi lansia, kartu itu berguna untuk mendapatkan bantuan langsung tunai. Ketika meninggal, pemegang kartu itu juga akan mendapatkan santunan kematian sebesar Rp 2,5 juta. Di bidang kesehatan, dijanjikan program satu desa satu mobil ambulans.
Selain itu, patut digarisbawahi bahwa bagi pasangan calon Ahmad Yani-Juarsah, persoalan kemiskinan (dan setiap persoalan yang muncul) di Muara Enim berimbas positif bagi pencalonan mereka.
Sentimen positif yang didapatkan dari persoalan kemiskinan di atas adalah bahwa Ahmad Yani dan Juarsah dianggap tidak terlibat dengan persoalan kemiskinan di Muara Enim karena mereka merupakan ”pemain baru” di tingkat kabupaten.
Selain merepresentasikan new kids on the block yang tak harus menanggung ”dosa” dari pendahulu, pasangan calon nomor empat juga memosisikan diri sebagai putra daerah. Melalui sentimen kesukuan, asal-usul sang calon wakil bupati, Juarsah, ditonjolkan untuk meraih simpati pemilih di Muara Enim.
Sang calon wakil bupati, Juarsah, memang merupakan tokoh asli daerah Muara Enim. Ia merupakan tokoh masyarakat Semende. Suku Semende, yang masuk dalam rumpun suku Pasemah, menjadi salah satu dari empat suku utama yang bermukim di Muara Enim selain suku Lematang, Enim, dan Belide.
Sebagai putra daerah Semende, Juarsah dikenal sebagai pengusaha sukses asli Semende. Pencalonan dirinya memberikan harapan bagi masyarakat Semende untuk mengatasi persoalan kesejahteraan di Semende.
Keterwakilan masyarakat Semende dalam pemerintahan di Muara Enim diharapkan dapat terwujud dengan tampilnya Juarsah sebagai calon pemimpin Muara Enim.
Sentimen kesukuan menjadi keunggulan dan salah satu strategi ampuh yang ditempuh oleh pasangan calon nomor urut empat. Harapannya, dukungan dari suku Semende diperoleh untuk memimpin Muara Enim.
”Money politics”
Pasca-keunggulannya diumumkan berdasarkan hasil hitung cepat, Ahmad Yani-Juarsah diterpa isu miring. Ketiga pasangan calon yang lain menengarai bahwa pasangan nomor urut empat ini melakukan money politics untuk mendongkrak perolehan suara.
Kompak, pendukung ketiga pasangan menuntut pembatalan hasil pilkada di Muara Enim. Para pendukung pasangan calon nomor urut satu, dua, dan tiga bersama-sama berunjuk rasa di depan kantor Panwaslu Kabupaten Muara Enim menuntut dilakukannya pemungutan suara ulang (PSU) di Muara Enim.
Terhadap isu ini, Ahmad Yani-Juarsah harus segera membuktikan bahwa mereka bebas dari tuduhan yang dialamatkan kepada mereka.
Dengan demikian, persaingan dan perselisihan yang muncul sepanjang pilkada diharapkan dapat diubah menjadi semangat untuk kompak membangun Muara Enim. Seperti slogan Muara Enim, Serasan Sekundang, kompak bergotong royong dalam memajukan Muara Enim.
Kemenangan pasangan calon Ahmad Yani-Juarsah yang di luar perkiraan pengamat menunjukkan keinginan pemilihnya. Dengan menempatkan diri sebagai ”pemain baru” di perpolitikan Muara Enim, pasangan ini berhasil mengambil jarak dari kekuasaan dan terbebas dari ”dosa sejarah” para pemimpin Muara Enim.
Strategi pemain baru yang memberikan optimisme perubahan ditambah dengan sentimen putra daerah menjadi kunci pasangan ini meraih simpati pemilih di Muara Enim.
Memang belum ada angka dan bukti bahwa pasangan calon nomor urut empat ini akan membawa penduduk Muara Enim lebih sejahtera, tetapi kemunculan pasangan ini menegaskan adanya harapan untuk suatu perubahan.
Menurut Pasal 107 UU No 10/2016, pasangan calon bupati dan wakil bupati yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan calon bupati dan wakil bupati terpilih. Pada Juli 2018, bila tak ada halangan perselisihan hasil pemilihan (PHP), Ahmad Yani-Juarsah akan ditetapkan menjadi bupati dan wakil bupati Muara Enim.
Ada banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh kepala daerah terpilih. Selain persoalan ketimpangan, masih ada persoalan besar seperti isu lingkungan, sebagai konsekuensi sebagai daerah penghasil migas dan batubara.
Masyarakat Muara Enim tentu mengharapkan bahwa kepala daerah pilihan mereka akan dapat segera mewujudkan janji-janji kampanye mereka. (LITBANG KOMPAS)