Goncangan Kabinet Pasca Mundurnya Boris Johnson
Di tengah euforia lolosnya Inggris ke babak semifinal Piala Dunia, perhatian berbagai surat kabar di Inggris tersita oleh berita pengunduran diri Boris Johnson dari jabatan sebagai Menteri Luar Negeri Inggris.
Jika hari-hari sebelumnya, koran-koran Inggris banyak mengulas kebijakan pemerintahan Perdana Menteri Theresa May pasca pengumuman rencana perjanjian dagang Inggris dengan Uni Eropa, kini kritikan beralih ditujukan kepada Boris Johnson.
Menurut Johnson, ini merupakan bentuk tekanan terhadap pemerintahan Theresa May. Bagi Johnson, Brexit merupakan sebuah mimpi sekaligus harapan tentang kedaulatan warga Inggris agar dapat mengatur sendiri demokrasinya, terutama di bidang hukum, politik, dan ekonomi.
Menurut Johnson, saat ini pemerintahan Inggris akan dibawa dalam situasi semi-Brexit, yaitu tetap terkungkung dalam berbagai aturan yang disusun oleh Uni Eropa.
Lebih lanjut, Johnson menegaskan bahwa pengunduran dirinya merupakan sebuah bentuk protes. Ia menyebutkan bahwa rencana kerja sama dagang yang diajukan oleh Theresa May akan menempatkan Inggris semata menjadi koloni, jajahan dari Uni Eropa.
Pengunduran diri Menlu Inggris Boris Johnson merupakan bentuk protes Johnson.
Namun, penjelasan Johnson disambut respon negatif sejumlah koran Inggris edisi 10 Juli 2018.
Sorotan terutama melihat kekhawatiran mundurnya sang mantan Wali Kota London tersebut bagi keberlanjutan kabinet PM Theresa May.
Bahkan, loyalitas Boris Johson di tengah usaha PM Theresa May menepis isu ketidakkompakan di kabinetnya juga dipertanyakan.
Surat kabar Daily Express menilai mundurnya Johnson merupakan guncangan bagi kabinet PM Theresa May. Sementara surat kabar Daily Mirror menanggapi pengunduran diri Johnson dengan diksi yang cukup menohok, “Shameless” alias tidak punya malu.
Surat kabar ini menilai tindakan Johnson memalukan dan menyebutnya sebagai orang yang tak dapat dipercaya. Keputusan Johnson ini dinilai menempatkan pemerintahan Theresa May ke dalam krisis.
Mengutip surat pernyataan pengunduran diri Boris Johnson yang ditujukan kepada Theresa May, surat kabar Daily Telegraph menurunkan headline “The Brexit Dream is Dying”.
Dalam surat pengunduran dirinya, Johnson menyatakan bahwa mimpi tentang Brexit berada di ambang kematian karena telah dimatikan oleh Theresa May.
Reaksi serupa juga ditunjukkan harian Daily Mirror. Keputusan Boris Johnson digambarkan koran Daily Mirror sebagai sebuah tikaman dari belakang terhadap Perdana Menteri Theresa May.
Alasannya, Boris Johnson mundur di tengah strategi yang tengah dibangun oleh Theresa May. Surat kabar ini menggambarkan bahwa Boris Johnson telah mengobarkan perang terhadap Theresa May.
Tanggapan lebih frontal muncul dari surat kabar iPaper yang menurunkan judul berita utamanya “Et Tu, Boris?”. Kutipan tersebut mengingatkan kita pada dialog ikonik Julius Caesar dengan Brutus dalam drama Julius Caesar karya William Shakespeare.
Media Inggris melihat langkah Menlu Boris Johnson sebagai pengkhianatan.
Seperti dalam drama tersebut, surat kabar ini mempertanyakan loyalitas Boris sebagai bagian dari pemerintahan Inggris saat ini.
Kekompakan kabinet
Memang, saat ini kabinet Inggris di bawah Theresa May sedang diterpa isu ketidakkompakan. Para menteri di kabinetnya mundur rata-rata satu orang semenjak November 2017.
Terbaru, Menteri Urusan Brexit David Davis pada 8 Juli 2018 disusul Boris Johnson pada 10 Juli 2018. Keduanya meletakkan jabatan karena menilai skema Brexit yang disiapkan oleh London untuk dinegosiasikan dengan UE terlalu lunak.
Johnson menyebut model tersebut tak ubahnya koloni dari UE. Sebaliknya, bagi dunia bisnis, skema Brexit yang disepakati kabinet Inggris dinilai akan membawa negara itu pada arah Brexit lunak (soft Brexit).
Artinya, setelah resmi keluar dari UE pada tahun depan, perdagangan ataupun lalu lintas jasa antara negara itu dan Eropa tetap mudah. Situasi ini jelas menguntungkan dunia usaha.
Kebijakan soft Brexit PM Theresa May justru diapresiasi kalangan pebisnis Inggris.
Pengunduran diri Johnson dan Davis menunjukkan, selama ini ada perbedaan mendalam di kalangan Partai Konservatif dalam menghadapi isu Brexit. Setelah mundurnya Johnson, terbuka peluang terjadi upaya menggeser May sebagai pemimpin kubu Konservatif, yang berdampak pada pergantian perdana menteri.
Harian Daily Mail menuliskan bahwa karier politik Theresa May dipertaruhkan dan diperjuangkan mati-matian setelah mundurnya Boris Johnson.
Selain orientasi pemberitaan yang cenderung negatif kepada Boris Johnson, beberapa koran Inggris juga memberikan dukungan kepada Theresa May.
Harian Financial Times menurunkan analisis yang menyebutkan bahwa pemerintahan Theresa May akan lebih kokoh berkuasa setelah David Davis dan Boris Johnson keluar dari kabinetnya. Mundurnya David Davis dan Boris Johnson, membuat Theresa May akan lebih leluasa dalam membuat kebijakan.
The Guardian juga melihat mundurnya Boris Johnson membuat Theresia May untuk sementara waktu tak akan diganggu dengan protes keras pendukung Brexit garis keras.
Akan tetapi, The Guardian juga mengingatkan potensi melemahnya dukungan parlemen bagi Theresa May akibat mundurnya Johnson dari sisi.
Selama ini Johnson dipandang sebagai representasi dari kelompok yang menginginkan Inggris keluar dari Uni Eropa. Mundurnya Johnson berpeluang untuk menggoyang pemerintahan Theresa May dan memunculkan mosi tidak percaya dari parlemen.
Isu Boris Johnson berkembang jadi kontestasi politik internal partai Konservatif.
Kekhawatiran mundurnya Boris Johnson membuat kelangsungan langkah diplomasi Theresa May dengan para pemimpin Uni Eropa. Mereka sedang menimbang kesepakatan yang diajukan oleh Inggris tentang pelaksanaan Brexit.
Sebelumnya, pemerintahan PM Theresa May telah mengambil kebijakan yang dianggap lebih lunak tentang pelaksanaan Brexit.
Namun, berbeda dengan koran-koran lainnya, harian The Sun menggiring opini untuk fokus pada isu besar lain yang sedang menjadi perhatian seluruh warga Inggris.
Menampilkan halaman muka bergambar Boris Johnson menggunakan seragam timnas Inggris di Piala Dunia 2018, surat kabar ini malah mengingatkan politisi untuk berganti fokus pada timnas Inggris yang sedang bertanding di Rusia.
Kesuksesan Inggris melaju sampai babak semi final adalah sebuah pencapaian terbaik sepanjang beberapa dekade. Oleh karena itu, saat ini politisi diminta untuk ikut merasakan kecemasan dan kegembiraan warga Inggris pada umumnya mendukung timnya di Piala Dunia 2018. (MAHATMA CHRYSHNA/LITBANG KOMPAS)