Capres Tunggal, Mungkinkah?
Tensi politik nasional diprediksi akan naik seiring dengan semakin dekatnya masa pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden pada 4-10 Agustus 2018. Hal ini tidak lepas dari dinamika partai politik dalam menggodok pasangan nama yang akan diusung di Pemilihan Presiden 2019.
Wacana soal koalisi dan sosok nama dalam bursa kontestasi politik ini akan meramaikan diskursus publik sepanjang satu tahun ke depan. Koalisi menjadi kata kunci dalam dinamika politik. Hal ini akan terjadi lebih kurang satu bulan menjelang pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Pasca-putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak uji materi terkait ambang batas pemilihan presiden (presidential threshold), kesempatan mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden pun hanya berlaku bagi parpol peraih kursi di Pemilu 2014.
Putusan MK No.53/PUU-XV/2017 itu menegaskan, ketentuan ambang batas pencalonan presiden tetap konstitusional. Artinya, partai-partai politik baru tidak memiliki kesempatan untuk terlibat aktif dalam mengajukan pasangan calon. Peluang mereka pun hanya sebagai partpol pendukung.
Jika merujuk penetapan Komisi Pemilihan Umum, ada 16 parpol peserta pemilu nasional, yakni 10 partai merupakan peserta Pemilu 2014 yang telah memiliki kursi di Senayan, empat partai politik baru yang pertama kali berkontestasi di Pemilu 2019, dan sisanya dua partai politik lama yang tidak memiliki kursi di DPR.
Sebelumnya, dua partai terakhir, yakni Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) serta Partai Bulan Bintang (PBB), ditetapkan menjadi peserta pemilu setelah melalui proses gugatan hukum terhadap hasil verifikasi KPU yang menyatakan keduanya tidak memenuhi syarat.
Dengan masih diberlakukannya ketentuan ambang batas pencalonan presiden dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya bisa diusulkan oleh partai politik atau gabungan parpol peserta pemilu.
Parpol dan gabungan parpol tersebut harus memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya (Pemilu 2014).
Merujuk Pasal 222 UU Pemilu di atas, maka dibutuhkan angka minimal untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden. Khususnya terkait syarat 20 persen dari jumlah kursi DPR (560), maka 20 persen dari total kursi itu adalah 112 kursi. Hal yang sama jika menggunakan mekanisme perolehan suara (25 persen dari total suara nasional).
Dari kedua syarat persentase minimal ini, praktis tidak ada satu partai politik pun yang memenuhi kedua syarat persentase minimal tersebut. Artinya, semua partai politik membutuhkan koalisi dengan partai lain untuk memenuhi syarat tersebut.
Mau tidak mau, suka tidak suka, koalisi menjadi ujian awal partai politik menjelang pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden. Hal ini menjadi krusial karena perhelatan pemilihan presiden untuk pertama kalinya digelar bersamaan dengan pemilihan legislatif. Pemilu serentak akan menuntut partai politik berhitung dan mengalkulasi tidak saja soal siapa pasangan calon yang diajukan di pemilihan presiden, tetapi juga dengan partai politik mana bisa berkoalisi.
Pertimbangan karakter partai, ideologi, kultur, dan pola kepemimpinan di partai politik menjadi deretan pertimbangan untuk menentukan partai politik mana yang dipilih sebagai sekondan di pemilu tahun depan.
Dua atau tiga kutub
Sejauh ini, yang berkembang dalam dinamika politik adalah adanya kutub yang pro terhadap eksistensi kekuatan yang sedang berkuasa saat ini dan kutub yang berharap ada perubahan pemerintahan. Dalam minggu-minggu terakhir ini, muncul juga kutub ketiga yang coba menjadi alternatif di luar persaingan di antara dua kutub yang selama ini berseberangan tersebut.
Kutub pertama adalah potensi koalisi yang dibangun dengan mendukung kembali Presiden Joko Widodo sebagai calon presiden di 2019. Sebagian besar anggota dari kutub ini adalah partai-partai politik pendukung Jokowi di pemerintahan, seperti PDI-P, Golkar, Nasdem, Hanura, PPP, dan PKB. Potensi koalisi ini mampu mengumpulkan 338 kursi DPR (60,35 persen).
Kutub pertama ini belum memutuskan siapa kandidat calon wakil presiden. Namun, dari kalangan partai pengusung, setidaknya ada tiga nama yang kerap muncul di permukaan publik dan berpeluang dipilih Jokowi sebagai calon wakil presiden.
Ketiganya adalah Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum PPP Romahurmuziy, dan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar. Belakangan, sebagaimana penuturan Romahurmuziy, nama-nama itu bertambah 7 nama lagi, termasuk Mahfud MD, Sri Mulyani Indrawati, Susi Pudjiastuti, Din Syamsuddin, KH Ma’roef Amin, hingga Jenderal Moeldoko.
Tentu saja, kutub ini masih bisa berubah jika pasangan calon wakil presiden pilihan Jokowi tidak disepakati oleh anggota koalisi.
Sementara itu, kutub kedua adalah potensi koalisi dari barisan partai politik yang selama ini memilih menjadi kekuatan oposisi di luar pemerintahan. Berada di potensi ini adalah Partai Gerindra, PKS, dan PAN yang mampu mengumpulkan 161 kursi (28,75 persen). PAN sejauh ini belum memastikan seberapa besar peluang mereka di kutub kedua ini mengingat partai ini secara politik berada pula dalam pemerintahan.
Sejauh ini, kutub kedua ini masih mengandalkan nama Prabowo Subianto sebagai bakal calon presiden yang diusung. Berbeda dengan kutub pertama yang sudah memastikan majunya Jokowi di pemilihan presiden tahun depan, Prabowo belum secara resmi menyatakan maju kembali di pemilu kecuali oleh Partai Gerindra. Namun, hal yang sama dengan kutub pertama, di kutub kedua ini, nama calon wakil presiden masih menjadi tanda tanya.
Di luar peta kedua kutub tersebut, Partai Demokrat berupaya membangun kutub sendiri dengan berharap pada masih cairnya potensi koalisi, khususnya di dua kutub di atas. Demokrat menanti ”durian runtuh” yang mungkin terjadi seiring dengan dinamika politik.
Posisi kutub kedua memang masih berpeluang berubah, khususnya terkait masih samarnya nama calon wakil presiden yang diusung. Sejumlah partai berpotensi bisa direbut masuk dalam kutub Demokrat ini, seperti PAN, PKS, bahkan PKB.
Tentu saja peluang kutub ketiga ini kini mengecil dengan pernyataan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar yang beberapa hari lalu menyatakan partainya mendukung Jokowi di Pilpres 2019. Praktis, pilihan bagi Demokrat adalah tersisa bergabung ke salah satu kutub, baik kutub Jokowi atau Prabowo, atau ”tidak berkutub” sama sekali seperti sikap yang diambilnya pasca Pemilu 2014.
Pendek kata, dinamika politik yang terjadi masih berpeluang untuk berubah. Tarikan kepentingan partai pun bisa lebih kental.
Jika melihat konstelasi kutub di atas, rasanya tidak mungkin calon presiden tunggal terjadi. Pertimbangan konstelasi politik lebih menguat jumlah pasangan calon presiden akan lebih dari satu pasangan calon. Namun, jika kita uji dan kaji dari sisi aturan main, calon presiden tunggal tetap dimungkinkan terjadi. Bagaimana bisa?
Calon tunggal pilpres
Secara regulasi, ada faktor yang menghambat tetapi juga ada faktor yang ”membuka peluang” munculnya calon tunggal di pemilihan presiden. Dari faktor penghambat, kita lihat Pasal 229 Ayat (2) UU No 7/2017 tentang Pemilu yang mengatur pembatasan pencalonan agar pasangan calon tidak melakukan aksi borong dukungan sehingga memunculkan calon tunggal presiden dan wakil presiden.
Di pasal ini disebutkan, KPU harus menolak pendaftaran pasangan calon yang diajukan oleh gabungan seluruh partai politik peserta pemilu dan atau diajukan oleh gabungan peserta pemilu yang mengakibatkan gabungan partai politik lainnya tidak dapat mendaftarkan pasangan calon. Pendek kata, dari pasal ini jelas modus memborong dukungan partai sudah tertutup untuk melahirkan pasangan calon tunggal di pemilihan presiden.
Meski demikian, Pasal 229 Ayat (2) ini mengandung kelemahan dan masih membuka peluang calon tunggal. Peneliti Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif Veri Junaidi menyebut, aturan pasal ini tidak memberikan jalan keluar, bagaimana jika setelah ditolak berkali-kali, koalisi tetap solid dan tidak akan mengubah dukungan, sehingga tetap muncul 1 bakal pasang calon saja.
”Padahal, tahapan pemilihan ada batasan waktu sehingga tidak terjadi kekosongan kekuasaan akibat belum terpilihnya presiden,” ungkap Veri. Dari fakta ini bisa dikatakan, secara politik bisa saja muncul pasangan calon dengan cara memunculkan calon bayangan (boneka). Artinya, secara de jure tidak ada pasangan calon tunggal, tetapi secara de facto pasangan calonnya tetap tunggal.
Selain mekanisme memborong dukungan partai, upaya penghambat lahirnya capres tunggal juga terbaca di Pasal 235 Ayat 5. Pasal ini berisi larangan bagi partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat mengajukan pasangan calon, tetapi tidak mencalonkan presiden dan wakil presiden. Salah satu konsekuensinya bagi partai politik yang memenuhi syarat tetapi tidak mengajukan pasangan calon adalah tidak bisa mengikuti pemilu periode berikutnya.
Sementara itu, peluang masih terbukanya calon presiden tunggal bisa dilihat dari sejumlah pasal di UU Pemilu, di antaranya Pasal 232 dan Pasal 233. Kedua pasal ini menyebutkan berisi tentang mekanisme pendaftaran pasangan calon. Terutama terkait jika ada dua pasangan calon yang mendaftar, tetapi salah satu pasangan calon yang diusulkan tidak memenuhi persyaratan.
Bagi yang tidak memenuhi syarat kemudian diusulkan pasangan calon pengganti dalam 14 hari. Jika pasangan calon pengganti tidak memenuhi kelengkapan persyaratan administrasi, gabungan parpol tidak dapat lagi mengusulkan bakal pasangan calon. Artinya, hanya akan ada satu pasangan calon.
Kemudian di Pasal 234 Ayat 1 juga disebutkan, jika ada dua pasangan calon yang mendaftar, tetapi salah satu pasangan calon berhalangan tetap (baik capres/cawapres/capres dan cawapresnya), maka partai punya kesempatan mengajukan pasangan calon paling lambat tujuh hari sebelum ditetapkan sebagai calon presiden dan wakil presiden.
Namun, jika sampai batas waktu parpol dan gabungan partai politiknya tidak mengusulkan kembali pasangan calon pengganti, otomatis yang ada tinggal satu pasangan calon. Pasal lainnya adalah Pasal 235 Ayat (4) di mana disebutkan setelah perpanjangan jadwal pendaftaran selama 2 x 7 hari, ternyata hanya ada satu pasangan calon yang mendaftar sebagai calon presiden dan wakil presiden, ya otomatis hanya calon tunggal.
Ketiga hal di atas membuka peluang terjadinya calon tunggal dalam pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden. Pendek kata, meski UU Pemilu menghendaki agar pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden lebih dari satu pasangan, harus diakui peluang calon tunggal tidak dapat terelakkan oleh penyelenggara pemilu.
Jadi, mungkinkah calon presiden tunggal terjadi di Agustus nanti? Secara regulasi sangat mungkin meski konstelasi politik sangat minim untuk membuka peluang tersebut. (LITBANG KOMPAS)