Resep Kemenangan Padangsidimpuan
Kemenangan Irsan Efendi Nasution-Arwin Siregar dalam Pilkada Kota Padangsidimpuan, Sumatera Utara, bukan sekadar kemenangan biasa. Pasangan yang ditetapkan sebagai calon perseorangan ini dalam satu putaran mampu menyingkirkan para pesaingnya yang dicalonkan partai-partai politik. Apa yang menjadi kunci kemenangan pasangan ini?
Hasil Pilkada yang sudah ditetapkan KPU menunjukkan, pasangan Irsan Efendi Nasution-Arwin Siregar yang mengusung slogan “bersinar” ini mampu meraih 44,26 persen dukungan.
Pada tempat kedua, diduduki pasangan Rusydi Nasution-Abd Rosad Lubis. Dengan mengusung slogan “bisa” (Bahagia, Inovatif, Sejahtera, Asri) mengumpulkan dukungan 30,33 persen.
Pasangan Muhammad Isnandar Nasution-Ali Pada Harahap, dengan slogan “beres” (Berbudaya, Religius, Sejahtera) pada posisi terakhir, dengan penguasaan hingga 25,41 persen.
Jika dicermati, selisih perolehan suara di antara ketiga pasangan tersebut tidak terpaut jauh. Sekalipun kemenangan Irsan Efendi Nasution-Arwin Siregar sangat signifikan, namun kedua pasangan lainnya mampu mengumpulkan suara dengan jumlah yang signifikan pula.
Distribusi perolehan suara di tingkat kecamatan pun menunjukkan sebaran yang relatif tidak berbeda. Hampir semua kecamatan, kecuali Padangsidimpuan Selatan yang menunjukkan kemampuan Muhammad Isnandar Nasution-Ali Pada Harahap menyaingi Irsan Efendi Nasution-Arwin Siregar, urutan dan proporsi kemenangan relatif sama.
Kondisi demikian menunjukkan, kemenangan Irsan Efendi Nasution-Arwin Siregar terlegitimasikan di seluruh wilayah Padangsidimpuan (Grafik 1).
Legitimasi kemenangan semakin lengkap, jika dikaitkan dengan partisipasi masyarakat Padangsidimpuan dalam pilkada kali ini. Dari total 146.322 pemilih yang terdaftar, setidaknya sekitar tiga perempat pemilih yang menggunakan hak pilih mereka.
Proporsi ini tergolong tinggi. Pada Pilkada 2012, misalnya, angka partisipasi sekitar 68,56 persen. Selain kenaikan partisipasi pemilih, proporsi kemenangan Irsan Efendi Nasution-Arwin Siregar juga jauh di atas proporsi pemilih yang tidak menggunakan haknya. Artinya, legitimasi kemenangan politik pasangan calon perseorangan ini tidak terbantahkan.
Legitimasi kemenangan politik yang kuat dari pasangan calon perseorangan Irsan Efendi Nasution-Arwin Siregar menarik dicermati. Dalam sejarah pilkada di negeri ini, tidak banyak calon perseorangan yang mampu mengungguli calon-calon yang didukung oleh partai politik.
Semenjak ajang pilkada langsung digulirkan, mainstream perpolitikan menempatkan partai politik dan calon-calon yang diusung partai politik masih dominan. Itulah mengapa, jika kemenangan calon perseorangan menjadi kasus yang cukup unik dalam sejarah kontestasi pemilu di negeri ini.
***
Ada beberapa hipotesis membenarkan kemenangan calon perseorangan. Di antaranya, berpijak pada kekuatan sosok yang termanifestasikan dari besaran dan kelengkapan kapital yang dimiliki oleh sosok calon perseorangan tersebut.
Premisnya, semakin lengkap dan besar kapital yang dimiliki sosok calon perseorangan tersebut, maka semakin besar peluang kemenangannya. Begitu juga pada kondisi yang sebaliknya.
Apakah yang dimaksud kapital dalam kontestasi politik pilkada? Ada berbagai rujukan teoritis. Namun, kapital (modal) dalam konsepsi pemikiran teori-teori sosial, Pierre Bourdieu, layak digunakan. Modal dalam pemahaman ini lebih banyak didefinisikan sebagai kekuasaan yang melekat pada diri seseorang untuk mengontrol masa depannya sendiri ataupun terhadap orang lain.
Terkait dengan hal tersebut, sedikitnya terdapat empat jenis modal, yaitu modal ekonomi, modal sosial, modal simbolik, dan modal budaya. Keempat modal tersebut dapat diidentikkan sebagai “modal politik” yang dikuasai oleh tiap-tiap calon kepala daerah dalam mengontrol masa depannya atau menguasai orang lain (pemilih).
Modal ekonomi merujuk pada kekuatan material yang dikuasai oleh tiap-tiap calon. Modal ekonomi menjadi akar dari modal lainnya dan modal tersebut lebih mudah terkonversikan ke dalam bentuk-bentuk modal lainnya.
Modal sosial lebih merujuk pada penguasaan relasi sosial dan kekuatan ikatan-ikatan sosial yang berhasil dibangun oleh tiap-tiap calon di dalam lingkungannya. Di sisi lain, modal simbolik merujuk pada kekuatan simbol-simbol ketokohan yang terbangun selama ini pada tiap-tiap sosok-sosok yang bersaing.
Selanjutnya, modal budaya lebih sering didekatkan pada kualitas budaya yang terbangun pada tiap-tiap sosok. Jenjang pendidikan menjadi salah satu indikator kekuatan budaya setiap individu.
Pertanyaannya, jika modal politik yang menjadi penentu keunggulan pasangan Irsan Efendi Nasution-Arwin Siregar, seberapa besar kekuatan berbagai modal itu dikuasainya, hingga mampu memenangkan pertarungan?
Penelusuran terhadap latar kehidupan Irsan Efendi Nasution, menceritakan besaran dan kekuatan modal politik yang dikuasainya. Irsan Efendi Nasution dilahirkan dari keluarga petani 48 tahun lalu di Mandailing Natal, Sumatera Utara. Pendidikan terakhir yang tertera dalam biodatanya, Sarjana Hukum.
Masa mudanya terlibat dalam organisasi Pemuda Pancasila yang membuka jalan baginya sebagai pengurus KNPI Tapanuli Selatan. Selama tiga periode (9 tahun) ia menjadi ketua KNPI.
Jalan ini pula salah satu modal yang mengantarnya menduduki jabatan sebagai ketua DPD Partai Golkar Kota Padangsidimpuan. Pemilu 2014, Irsan Efendi Nasution menjadi anggota DPRD Padangsidimpuan, sekaligus Ketua Fraksi Golkar.
Istrinya, Derliana Siregar dikenal pula sebagai anggota DPRD Tapanuli Selatan. Sudah dua periode jabatan legislatif disandangnya. Sebagai anggota legislatif, ia juga mewakili Partai Golkar.
Partai Golkar di kawasan Tapanuli bagian Selatan, sudah sejak lama mengakar. Di Padangsidimpuan, pada Pemilu 2014 lalu tidak menjadi pemenang. Besaran kursi DPRD yang dikuasai Golkar tidak mampu mengantarkan Irsan Efendi Nasution dalam pencalonan walikota. Sekalipun mendapat tambahan dukungan Demokrat, tetap tidak mencukupi. Menjadi wajar, jika ia harus membangun dukungan melalui calon perseorangan.
Selain berkarir politik sebagai anggota DPRD, karir usahanya pun dikenal lancar. Irsan Efendi Nasution pernah menjalankan usaha kontraktor. Selain itu, ia juga dikenal memiliki usaha kebun kopi di wilayah Sipirok. Bergerak sebagai pengusaha, dunia organisasi pengusaha Kadin pun ia geluti.
Beberapa pemberitaan setempat juga menyebutkan jika Irsan Efendi Nasution juga pernah menjadi wartawan. Profesi ini pernah lekat pada dirinya, bahkan jika ditelusuri lebih jauh, ia pernah menjadi loper koran di Padangsidimpuan.
Dari sisi harta kekayaan materi, Irsan Efendi Nasution tergolong makmur. Ia memiliki harta total senilai Rp 41,8 milyar menjadi sosok paling kaya di antara semua pasangan calon walikota Padangsidimpuan (Grafik 2).
Wakil Irsan Nasution, Arwin Siregar, dikenal sebagai birokrat yang sudah malang melintang dalam pemerintahan daerah Tapanuli Selatan. Ia bekas Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Kabupaten Tapanuli Selatan.
Modal dari kedua sosok tersebut tampak signifikan besarannya. Secara materi, modal ekonomi yang dikuasai Irsan Efendi Nasution terbesar. Begitu pula untuk ukuran wakilnya, menjadi yang terbesar di antara calon wakil wali kota lainnya.
Dari sisi modal sosial, pasangan ini pun tergolong punya jaringan sosial maupun politik yang luas. Penguasaan organisasi sosial, ekonomi, hingga politik yang dimiliki Irsan Efendi Nasution merambah pada berbagai bidang.
Dengan modal politik yang dikuasai, tidak terlalu sulit bagi pasangan ini untuk mengumpulkan dukungan. Sebagai calon perseorangan, pasangan ini mampu mengumpulkan dukungan masyarakat sebesar lebih dari 20 ribu. Padahal batas minimal dukungan calon perseorangan di Padangsidimpuan 14.472.
Pada hari pencoblosan Pilkada, pasangan ini bahkan menunjukkan kepiawaiannya, dengan menggandakan dukungan hingga meraih 43.727 suara. Bagaimana dengan kekuatan calon lainnya?
Menjadi menarik jika setiap calon walikota di Pilkada Padangsidimpuan kali ini semua berasal dari satu marga Batak (clan) Nasution. Pesaing Irsan Efendi Nasution terdekat, sosok Rusydi Nasution (45).
Dari sisi pendidikan, anak guru yang dilahirkan di Padangsidimpuan ini lulusan sarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Ia juga menyandang gelar Magister Bisnis dari universitas yang sama. Saat mahasiswa ia aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Rusydi Nasution berkarir profesional dalam dunia perbankan nasional. Bank Danamon, Lippo Bank, hingga CIMB Niaga pernah dijajalnya. Jabatan yang ia pernah kuasai pun hingga posisi atas managemen, vice president. Ia juga lekat dengan dunia bursa pasar modal.
Setelah malang melintang secara nasional, Rusydi Nasution merasa terpanggil membangun tanah kelahirannya. Pilkada kali ini merupakan kali kedua ia mencalonkan diri. Saat ini, ia juga menjadi ketua DPC Partai Gerindra Kota Padangsidimpuan. Selain Gerindra, dalam Pilkada kali ini ia juga diusung PAN, Hanura, PPP, dan PKS yang secara keseluruhan menguasai 12 bangku DPRD.
Pasangannya, Abd. Rosad Lubis dikenal sebagai birokrat pemerintahan. Ia tercatat mantan Kepala Dinas Pendidikan Pemkot Padangsidimpuan.
Sisi lain, terdapat pula sosok calon walikota Muhammad Isnandar Nasution (54). Isnandar Nasution menjadi penantang yang juga punya modal sosial dan simbolik yang terbilang besar. Politisi PKB itu merupakan petahana wakil walikota dan dalam pilkada kali ini menjajal peluang menjadi walikota.
Pasangannya, Ali Pada Harahap (61) selain punya pengalaman birokrat, dikenal sebagai seorang akademisi. Penyandang gelar doktor itu pernah menjadi Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Tapsel. Selain menjadi dosen, ia juga pernah menjadi Ketua Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP) Tapanuli Selatan-Padangsidimpuan.
Pasangan ini diusung oleh PKB, PBB, PKPI, Nasdem, dan PDIP yang menguasai hingga 12 kursi DPRD.
***
Besaran dan kualitas modal politik yang dimiliki Irsan Efendi Nasution-Arwin Siregar memang relatif lebih kuat daripada pasangan lainnya. Berpijak dari kondisi demikian, menjadi relevan hipotesis besaran dan kekuatan modal menjadi kunci kemenangan.
Akan tetapi, kemenangan bukan hanya faktor kekuatan modal politik yang dikuasai oleh tiap-tiap calon walikota semata. Di luar faktor tersebut, Pilkada Padangsidimpuan menyiratkan pula keinginan warga akan terjadinya perubahan pada kehidupan kota tempat mereka bermukim.
Dalam perspektif demikian, persoalan-persoalan riil warga kota menjadi sentral. Kebutuhan akan perubahan dari kota yang dianggap dalam periode kepemimpinan sebelumnya tidak banyak berkembang, menuntut sosok pemimpin yang lekat dengan kehidupan warga dan diprospek mampu membawa perubahan.
Kemenangan Irsan Efendi Nasution-Arwin Siregar menjawab kebutuhan sebagian besar warga Padang Sidimpuan, yang memilihnya. Dalam perspektif demikian, modal politik yang melekat pada pasangan ini ditempatkan sebagai kekuatan yang melengkapi.
Apabila pijakan semacam ini yang dijadikan ukuran, pertanyaannya sudah sedemikian seriuskah perubahan itu diharapkan oleh warga kota? Apa yang terjadi selama ini di Padang Sidimpuan?
Bagi sebagian warga, perubahan fisik kota menjadi ukuran keberhasilan. Sayangnya, kepemimpinan periode sebelumnya yang dihasilkan melalui pemilihan langsung tidak menjawab banyak akan kebutuhan tersebut.
Pilkada langsung pertama di Padangsidimpuan berlangsung tahun 2007. Sebagai petahana walikota, Zulkarnaen Nasution memenangkan persaingan. Ia berpasangan dengan Maragunung Harahap. Pesaingnya kala itu, pasangan Amiruddin Lubis–Aswin Harahap, Harry L Siregar–Khoiruddin Rambe, dan terakhir pasangan Aspan Sofian–Ummi Kalsum.
Setelah periode kedua kepemimpinan Zulkarnaen Nasution berakhir, Pilkada Padangsidimpuan 2012 diramaikan enam pasangan calon. Wakil Zulkarnaen Nasution, Maragunung Harahap, maju sebagai petahana namun dengan posisi yang sama sebagai wakil walikota. Ia berpasangan dengan Chaidir Ritonga.
Pada Pilkada 2012, muncul pasangan calon yang diketahui putra-putra para pemimpin daerah sekitar Sumatera Utara, yakni: pasangan Andar Amin Harahap–Muhammad Isnandar Nasution dan Dedi Jaminsyah Putra–Affan Siregar.
Andar Amin Harahap merupakan putra Bachrum Harahap, bupati Padang Lawas Utara, yang berbatasan dengan Padang Sidimpuan. Sementara Dedi Jaminsyah Putra adalah anak dari Rahudman Harahap, menjabat sebagai Walikota Medan saat itu.
Terdapat pula pasangan Rusydi Nasution–Riswan Daulay. Di samping itu, kehadiran dua pasangan calon perseorangan: Amir Mirza Hutagalung–Nurwin Nasution dan Habib Nasution–Soripada Harahap, semakin memperketat persaingan di antara keenam pasangan.
Hasilnya, pasangan Andar Amin Harahap–Muhammad Isnandar Nasution unggul. Pilkada berlangsung dalam satu putaran saja, dengan proporsi penguasaan suara Andar Amin Harahap–Muhammad Isnandar Nasution sebesar 48,2 persen.
Menjadi persoalan jika kemenangan Andar Amin Harahap dalam Pilkada 2012 yang mampu menguasai hampir separuh bagian pemilih itu tidak banyak membekas.
“Tidak ada yang banyak bisa ditengok di kota ini, sama saja,” ungkap Lubis (58) pengemudi becak motor Padangsidimpuan. Ia menunjuk satu persatu bangunan kota, mulai dari Alaman Bolak yang berfungsi sebagai alun-alun kota, kantor walikota dan benteng yang cenderung suram, hingga tugu salak di Jl Sudirman yang dijadikan ikon kota.
“Nah, hanya lampu-lampu jembatan Siborang itu saja karya walikota,” tambah Lubis menunjuk sebuah jembatan tua di atas sungai Batang Ayumi yang dibangun era kolonial Belanda.
Pandangan Lubis terhadap kota Padangsidimpuan sepenuhnya dibenarkan Hasibuan (38), penjaja kaki lima panganan di sepanjang Jl Imam Bonjol. Ia justru balik bertanya, “Siapa orang sini yang bilang berhasil walikota sebelumnya? Kalau pun ada, kini sedikit jumlahnya“
Pasaribu (52), pemilik rumah makan di Padangsidimpuan, punya kalkulasi kritis terhadap cara padang masyarakat terhadap sosok-sosok pemimpin di daerahnya. Sekalipun kekuatan tradisi masih tampak kuat, masyarakat kota Padangsidimpuan dapat cepat menilai keberhasilan para pemimpin dan menjadikan rujukan bagi mereka dalam pemilihan walikota selanjutnya.
“Kalau tidak bikin perubahan, maju lagi dengan bawa nama marga percuma, tidak akan menang,” ungkap Pasaribu. Ia menunjuk para wakil wali kota petahana yang bertarung dalam dua pilkada terakhir yang terkalahkan.
“Kalau walikota sebelumnya (Andar Amin Harahap) pun maju lagi disini, yakin kalah. Baguslah ia diselamatkan, jadi Bupati Paluta (Padang Lawas Utara) ganti Bapaknya,” tambah Pasaribu.
Sisi demikian membuat warga menyambut antusias hasil Pilkada kali ini. Warga kota seperti Siregar (27), sopir travel antarkota, Ritonga (42) yang bekerja sebagai PNS, hingga Nasution (67), pensiunan yang kini berwirausaha, punya kesan yang sama.
Mereka kini menaruh harap pada walikota baru. “Kami senang dengan pergantian ini, Padangsidempuan dengan walikota baru (Irsan Efendi Nasution) harus menjadi bagus,” harap Nasution.
***
Kebutuhan perubahan Kota Padangsidimpuan bukan hanya persoalan fisik kota saja. Persoalan yang lebih krusial, menyangkut dinamika kota bersama warganya dalam menghadapi tuntutan jaman.
Kota Padangsidimpuan, merujuk pada pengertian hamparan luas dataran (lembah), yang berada di tempat tinggi, kaki Gunung Lubuk Raya dan Sibualbuali, memiliki sejarah panjang di negeri ini.
Kota berpenduduk 212.917 jiwa (2016) sejak lama sudah menjadi jalur persinggahan perdagangan, baik dari pelabuhan Sibolga, perdagangan dari jalur Sumatera Barat menuju Medan, hingga menghubungkan wilayah-wilayah sekitar, seperti Padang Lawas, Sipirok, dan arah Labuhan Batu, Pantai Timur Sumatera Utara hingga Riau.
Sebagai kota perlintasan, penduduknya relatif beragam, terutama oleh beragam kelompok etnis Batak. Hal yang sama juga dalam komposisi agama. Islam mayoritas. Namun, dibandingkan dengan penduduk wilayah Tapanuli bagian Selatan lainnya, di Padangsidimpuan relatif agak lebih beragam (Grafik 3).
Berada pada jalur yang sangat strategis saat itu, dibangun benteng oleh pasukan Paderi yang dipimpin oleh salah satu Panglima Paderi, Idris Nasution yang selanjutnya dikenal dengan gelar Tuanku Imam Lelo.
Basyral Hamidy Harahap, dalam buku “Pemerintah Kota Padangsidimpuan Menghadapi Tantangan Zaman” (2003), menguraikan tahun 1821 atas nasihat Tuanku Tambusai (juga salah satu Panglima Paderi) membangun benteng kukuh di desa Padangsidimpuan.
Penguasaan wilayah bangunan benteng dilakukan dengan paksa dan selanjutnya, di luar dugaan Tuanku Tambusai, Benteng Padangsidimpuan dijadikan pusat kezaliman, tempat eksekusi mati, dan pusat maksiat.
Perjalanan waktu selanjutnya menunjukkan berbagai perlawanan terhadap Tuanku Lelo berlangsung dan Benteng Padangsidimpuan dibumihanguskan. Kekuasaan Tuanku Lelo, runtuh. Tahun 1833, pemerintah kolonial Belanda membangun kembali Padangsidimpuan.
Wajah Padangsidimpuan tidak hanya sebagai perlintasan namun juga berkembang menjadi pusat pendidikan.Tahun 1862 didirikan sekolah guru (kweekschool) di Tanobato.
Perintisnya, Willem Iskandar, yang dinilai berjasa melahirkan banyak tenaga pendidik. Salah satu guru Belanda, Charles Adriaan van Ophuysen, dikenal selanjutnya sebagai ahli Bahasa Melayu, pernah pula menjadi kepala sekolah guru ini (1882-1890).
Ketersediaan tenaga pendidik selanjutnya memicu bertumbuhan sekolah-sekolah di Padangsidimpuan. Sebagai kota pendidikan dan punya sejarah yang panjang, berbagai tokoh nasional lekat dengan Padangsidimpuan. Adam Malik, misalnya, menurut Basyral Hamidy Harahap pernah merasakan penjara Padangsidimpuan (1934), akibat aktivitas politiknya.
Simbol-simbol pendidikan dengan kelahiran para intelektual Tapanuli Selatan yang bergelut dalam dunia penulisan (surat kabar) juga lekat dengan Padangsidimpuan. Parada Harahap, misalnya, membuat surat kabar “Poestaha” (Pustaka) semakin militan dan menyulitkan langkah-langkah pemerintahan kolonial Belanda di Padangsidimpuan.
Baik Adam Malik dan Parada Harahap selanjutnya melebarkan sayap nasional perjuangan mereka di Jakarta. Keduanya berhasil memberikan warna perjuangan politik bagi negeri ini.
Berlalunya waktu, dinamika Padang Sidimpuan seolah terlelap. Hingga kini, julukan kota pendidikan masih melekat. Bukti keunggulan warga kota ini dalam urusan pendidikan tidak terbantahkan.
Indikator kualitas pendidikan berupa lamanya jenjang pendidikan yang dinikmati warga masih lebih baik dibandingkan dengan warga kabupaten sekelilingnya.
Data BPS menunjukkan, rata-rata lama sekolah penduduk Padangsidimpuan (2016) sekitar 10,48 tahun. Jauh lebih tinggi dari Kabupaten Tapanuli Selatan (8,35 tahun), Padang Lawas Utara (8,91), Padang Lawas (8,35), dan Mandailing Natal (7,63).
Indikator pendidikan menjadi salah satu penopang kualitas warga Padangsidimpuan. Implikasinya, indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Padangsidimpuan berada di atas kabupaten lain dan di atas rata-rata penduduk Provinsi Sumatra Utara (Grafik 4).
Hanya saja, sejumlah persoalan yang menjadi bagian keseharian masyarakat relatif tidak beranjak. Sisi perekonomian, misalnya, menunjukkan perkembangan Padangsidimpuan tidak terlalu spektakuler. Sepanjang lima tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi di kota ini hanya berkisar 5 persen, dan berada di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara.
Jika acuannya segenap nilai total dari seluruh sektor lapangan usaha di kota ini dan dirata-ratakan terhadap jumlah penduduknya (Produk Domestik Regional Bruto per kapita), tahun 2016 lalu menurut catatan BPS sebesar Rp 17,1 juta saja. Nilai tersebut relatif rendah di antara sebagian besar kabupaten sekitar.
Sebagai kawasan kota, struktur PDRB bertumpu pada sektor-sektor sekunder dan tersier. Tahun 2016 lalu, PDRB berdasarkan harga berlaku tercatat sebesar Rp 4,9 trilyun. Distribusi PDRB berdasarkan lapangan usaha, menunjukkan sektor perdagangan menjadi terbesar, mengambil alih hingga 21,7 persen dari total PDRB.
Selain sektor perdagangan, sektor konstruksi juga tampak besar, mencakup 12 persen dari keseluruhan kegiatan ekonomi. Namun, jika ditelusuri, lima tahun terakhir cenderung menunjukkan penurunan porsi.
Padangsidimpuan yang dikenal sebagai daerah penghasil salak itu, faktanya tidak banyak bergantung dengan sektor pertanian. Sumbangan sektor pertanian hanya sebesar 11,3 persen.
Jika diamati, sepanjang lima tahun terakhir, distribusi PDRB tidak berubah. Perdagangan tetap menjadi sektor yang paling terbesar perannya. Besaran dan distribusi sektor-sektor usaha lainnya relatif tetap (Grafik 5).
Sebagai salah satu dari delapan kota pemerintahan di Sumatera Utara, kondisi perekonomian Padangsidimpuan menjadi semakin kurang spektakuler jika dibandingkan dengan kota-kota lainnya.
Paling mencolok, PDRB/kapita Padangsidimpuan paling rendah dibandingkan dengan kota lain di Sumatera Utara. Sementara indikator lainnya menunjukkan kota ini dalam posisi tengah diantara kota-kota lainnya (Grafik 6).
Dengan kondisi ekonomi kota semacam ini menjadi wajar jika warga berharap terjadinya perubahan di kotanya. Muara dari tuntutan perubahan lebih banyak tertuju pada sosok kepemimpinan kota. Sayangnya, kurun waktu lima tahun ekspektasi warga terhadap perbaikan kondisi kota tidak terwujud.
Pilkada kali ini, kemenangan calon perseorangan Irsan Efendi Nasution-Arwin Siregar tidak lepas dari tuntutan para pemilihnya terhadap perbaikan kota. Pada kedua sosok yang juga memiliki kelengkapan kapital politik inilah harapan perubahan dialamatkan.
Apalagi, sesuai dengan slogan dan janji kampanye, kedua sosok itu akan berupaya sekeras mungkin menjadikan Padangsidimpuan “bersinar”. (BESTIAN NAINGGOLAN/LITBANG KOMPAS).