Bangkalan (1): Dalam Cengkauan Kiai, Blater, Klebun, dan Fuad Amin
Membaca politik Bangkalan adalah membaca kisah tentang Fuad Amin Imron, figur paling menentukan dalam perjalanan politik kontemporer. Peranannya yang sangat dominan dalam mempengaruhi pergerakan bandul kekuasaan, membuat namanya tetap abadi, meskipun Ia kini berada di Penjara Sukamiskin Bandung.
Ibarat monster raksasa Leviathan (Thomas Hobbes,1651), kekuasaannya bersifat menyeluruh, ke berbagai aspek kehidupan warga. Kemampuannya tak hanya menahan kemenangan dan memberi kekalahan, tetapi juga menahan laju pertumbuhan ekonomi wilayahnya dengan kontrolnya yang ketat. Kini dengan tangannya yang mencengkau, Ia menahan perpecahan dan konflik sosial.
Memasuki wilayah Kabupaten Bangkalan setelah menyeberang lewat Jembatan Suramadu, kita dihadirkan pada jalan lebar dan mulus, yang langsung mengarahkan kita ke sisi timur Pulau Madura, Pamekasan atau Sumenep.
Demikian banyak arus kendaraan yang mengalir ke Pulau Madura setelah jembatan penghubung antarpulau itu difungsikan, namun sebagian besar seolah berpaling dari arah menuju Kota Bangkalan yang muram. Mereka lebih suka menyongsong harapan pada segarnya peluang dan kehidupan sosial yang lebih terbuka di bagian timur pulau.
Bangkalan memang menjadi wilayah bagian barat Pulau Madura yang lebih tertinggal, walaupun jaraknya paling dekat dengan Ibukota Jawa Timur, Surabaya. Sebagai sebuah kotra transit, Kabupaten Bangkalan memang sebuah anomali, karena biasanya kota transit menjadi kota yang berkembang lebih cepat di banding wilayah setelahnya.
Selama lebih dari 10 tahun, nyaris tak ada perkembangan yang signifikan pada wilayah Bangkalan, pun dengan hadirnya Jembatan Suramadu. Prasarana kota tak banyak berubah, hotelnya masih tetap hanya satu dengan penginapan sederhana berjumlah dua buah. Sementara, wilayah di timurnya, terutama di Pamekasan dan Sumenep, jumlah hotel dan sarana kota sudah lebih berkembang.
Sejumlah indikator menunjukkan Kabupaten Bangkalan dalam posisi stagnasi pembangunan. Dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang rendah, Produk Domestik Regional Daerah (PDRB) yang melemah, dan tingkat kemiskinan yang tak berubah, Bangkalan berada dalam titik anjak yang berat.
Selama lebih 10 tahun, tak ada perkembangan signifikan kemajuan Bangkalan.
Ranking IPM Kabupaten Bangkalan termasuk kelompok daerah yang paling rendah di Provinsi Jawa Timur, kedua terbawah dari 38 kabupaten/kota. Dengan nilai IPM (2016) sebesar 62,06, posisinya terpaut jauh dari rata-rata IPM Jatim yang 69,74.
Bangkalan juga di bawah IPM Kabupaten Pamekasan dan Sumenep yang sama-sama berada di Pulau Madura. Selain itu, perbaikan IPM di Bangkalan juga berjalan lebih lambat dibanding tiga daerah lain di Madura.
Stagnasi dalam perekonomian menjadi soal yang kian menekan perkembangan kualitas penduduk Bangkalan. Tanda-tanda itu terekam dalam pertumbuhan PDRB Kabupaten Bangkalan yang cenderung stagnan, bahkan sempat menurun.
Pada tahun 2014 PDRB Bangkalan sebesar Rp 17.369,23 miliar, kemudian turun menjadi Rp 16.906,84 miliar pada tahun 2015 atau mengalami penurunan 2,66 persen. Meskipun kemudian naik lagi di tahun 2016, namun belum melampaui posisi 2014.
Bangkalan juga termasuk ke dalam kelompok daerah yang memiliki persentase penduduk miskin yang paling tinggi di Jawa Timur, jumlahnya dua kali lipat daripada rata-rata persentase penduduk miskin Provinsi Jawa Timur. Dengan jumlah penduduk miskin 21,32 persen (2017), posisinya di Madura hanya sedikit lebih baik dari Kabupaten Sampang. Meski demikian, dalam kurun 2016-2017 pengurangan penduduk miskin di Sampang, Pamekasan, dan Sumenep lebih besar daripada Bangkalan.
Bangkalan juga memiliki Indeks Kedalaman Kemiskinan yang terbesar di antara empat kabupaten di Madura. Nilai indeksnya mencapai 3.49 pada tahun 2017. Indeks Kedalaman Kemiskinan merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan.
Sejumlah narasumber menilai, mandeknya perkembangan ekonomi di Kabupaten Bangkalan tak lepas dari pengaruh mantan Bupati Bangkalan Fuad Amin Imron. Keengganan para pengusaha untuk berinvestasi ke Bangkalan disebabkan faktor sosial, keamanan, dan “pajak” yang demikian tinggi dikenakan terhadap tiap usaha yang bernilai ekonomi.
Mandeknya perkembangan ekonomi tak lepas dari pengaruh Fuad Amin Imron.
Kekuasaan formalnya sebagai bupati selama 2003-2013 mampu memusatkan segala sumberdaya sosial ekonomi ke dirinya, dan pengaruhnya masih terasa meskipun periode kepemimpinannya telah habis.
“Fuad Amin Imron merupakan tokoh yang paling fenomenal. Ia memiliki tiga power yang tidak bisa ditandingi oleh tokoh manapun di tingkat nasional. Pertama, kekuatan trah Kiai Haji Syaikhona Kholil. Kedua, Ia dikenal cukup luas di sini sebagai tokoh sekaligus pemegang utama kendali kaum blater ( jawara, jagoan). Yang ketiga, Ia adalah tokoh yang menjalankan langsung pemerintahan Kabupaten Bangkalan. Tiga kekuatan ini dijabat sekaligus oleh satu orang,” papar Dosen Sosiologi Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Mohammad Ishaq Abdussalam.
KH Syaikhona Kholil atau disebut juga KH Muhammad Kholil Bangkalan atau Syek Kholil, merupakan ulama kharismatik dari Bangkalan dan kerap disebut sebagai waliyullah (wali) oleh masyarakat santri Bangkalan dan sekitarnya.
Di lingkungan masyarakat Madura, cerita tentang kelebihan atau keistimewaannya beredar dari mulut ke mulut. Sejumlah kiai terkemuka di Jawa, mulai dari Kiai Hasyim Asy\'ari, Kiai Ma\'shum – Lasem, Kiai Wahab Hasbullah, Kiai As\'ad, hingga Kiai Bahar Sidogiri diketahui pernah nyantri (belajar agama) ke Kiai Kholil.
“Berbicara tentang peranan kiai di Madura, khususnya di Bangkalan, Kiai Kholil menjadi patron yang utuh, tidak ada pesaingnya. Bani Kholil ini menguasai pesantren-pesantren hampir seluruh Bangkalan,” ungkap Edi Setiawan, budayawan Madura.
Fuad Ali Imron adalah cicit dari mendiang Kiai Kholil. Sejarah hidupnya mirip dengan Ken Arok di dalam membangun kerajaan di Jawa. Ia dikabarkan pernah merantau ke Jakarta. Menurut kisah yang banyak beredar di sini, Ia melanglang di wilayah-wilayah Jakarta yang keras, di sana ia menjadi tokoh penting di kalangan perantauan Madura yang ada di Jakarta dan banyak bergumul dengan dunia blater perantauan.
Ketika alam reformasi berembus di Indonesia, Ia kembali ke Bangkalan dan mencalonkan diri sebagai anggota legislatif pusat, cerita Ishaq yang penelitian tesisnya banyak bersinggungan dengan sosok Fuad Amin.
Fuad dikenal sangat pandai mengelola statusnya sebagai keturunan Syaikhona Kholil untuk meraih berbagai posisi politik. Ia berhasil menjadi anggota DPR RI pada pemilu 1999 lewat jalur PKB. Selanjutnya, pada Pilkada 2003 yang pemilihannya dilakukan oleh anggota DPRD Bangkalan, Fuad terpilih menjadi bupati.
Fuad pandai mengelola status sebagai keturunan Kiai kharismatis Syaikhona Kholil.
Jabatan ini berhasil dipertahankannya lewat pilkada langsung 2008. Ia memimpin sebagai kepala daerah sampai tahun 2013. Hasrat kekuasaannya Ia teruskan dengan menjadi Ketua DPRD Bangkalan selepas Pemilu 2014.
Lewat anaknya, Makmun Ibnu Fuad, yang kemudian didorong untuk maju menjadi bupati dalam Pilkada 2012, Fuad Amin membentuk dinasti.
Anaknya terpilih menjadi pemegang tampuk kekuasaan eksekutif dan Ia menjadi Ketua DPRD. Pelantikan ayahnya oleh Bupati Makmun pada 2013 menandai cengkeraman baru dinasti Fuad. Trah Bani Kholil pun dilanjutkan.
Fuad Amin dikenal sebagai penguasa politik dan jaringan sosial akar rumput Bangkalan.
“Di Madura, pemilu dan pilkada selalu tak lepas dari dua kelompok figur, kiai dan blater, yang mempengaruhi pemilih. Dua kelompok ini adalah penggerak atau mesin politik, baik di Madura Barat maupun Madura Timur. Blater adalah kaum preman yang dituakan di setiap desa yang ada di Madura. Blater ini memegang power, kekuasaan penuh di desa-desa tertentu, khususnya di Bangkalan dan Sampang Barat,” kata Ishaq.
Dengan penguasaan Fuad atas blater di seantero Bangkalan, mudah baginya mengendalikan arah kemenangan calon.
Dengan menarik garis keturunannya atas Kiai Kholil yang melegenda, sekaligus merapatkan barisan blater ke dalam genggamannya, Fuad mampu memegang kendali atas sebagian besar pesantren yang ada di Bangkalan. Dua entitas sosial ini, pada dasarnya memiliki simbiosis yang erat dalam budaya Madura.
“Hubungan antara kiai dan blater masih sangat kuat di Barat (Bangkalan dan Sampang) karena masing-masing saling membutuhkan. Dari sisi kiai, mereka ingin memperbaiki moral para blater, dan si sisi blater mereka membutuhkan kiai untuk menguatkan legitimasi dan eksistensi mereka. Mereka banyak belajar kepada kiai karena banyak kiai-kiai yang selain pandai mengobati juga pandai ilmu kanuragan. Sementara, bagi masyarakat, kiai juga merupakan sumber ilmu dan kesaktian. Ketergantungan mereka pada kiai sampai pada soal-soal sehari-hari, seperti ketika mereka akan menanam tanaman atau mencari kerja, tak jarang mereka menanyakan kepada kiai,” papar Edi Setiawan.
Selain itu, Fuad juga memegang dan mengendalikan para kepala desa, atau yang di Bangkalan disebut klebun, dengan caranya sendiri. Sejak menjabat Bupati Bangkalan (2003), Fuad mengisi jabatan klebun dengan mengangkat pejabat sementara. Ia pun terus menunda pemilihan langsung kepala desa oleh warga.
Setidaknya, 70 persen dari total kepala desa di Bangkalan diisi oleh pejabat sementara. Mereka sengaja tidak diangkat agar selalu bergantung kepada Fuad dan bila ada klebun yang membangkang, Fuad dapat memecat dan menggantinya.
Dengan cara ini, wajar jika kekuatan politik Fuad mendapat sokongan riil yang besar, bahkan terkadang dapat dipakai untuk tujuan-tujuan di luar kekuasaan Bangkalan.
Campur tangannya juga seringkali diharapkan oleh calon-calon yang hendak bertarung memperebutkan kursi legislatif, baik di level lokal maupun nasional. Dua kali Pilkada Jawa Timur, menurut perkiran sejumlah pengamat, sangat ditentukan oleh kekuatan Fuad mengendalikan suara di Bangkalan dan Sampang. Pertarungan sengit antara Soekarwo dan Khofifah dalam dua pilkada di Jawa Timur, memang akhirnya ditentukan di Bangkalan dan Sampang dengan skema pilkada ulang.
Namun, setahun setelah menjabat sebagai Ketua DPRD Bangkalan, pada Desember 2014 Fuad Amin ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kini mendekam di Penjara Sukamiskin Bandung akibat terjerat kasus dugaan suap dalam jual-beli gas alam dan pencucian uang. Berakhirkah dinasti Fuad Amin? (Bersambung) (BAMBANG SETIAWAN/LITBANG KOMPAS)