Aras Bawah vs Politik Mabuk Popularitas di Pamekasan
Empat hari menjelang hari pemilihan kepala daerah 27 Juni 2018, semua wilayah Madura sedang merayakan Lebaran Ketupat. Tradisi ini biasa dilakukan selama tujuh hari setelah Idul Fitri. Namun, hari itu sepanjang jalan antara Kabupaten Bangkalan hingga ujung perbatasan Kabupaten Sampang tak terlihat kemeriahan. Hanya arus kendaraan saja yang padat melintasi pulau sejak dari Jembatan Suramadu, Bangkalan.
Tiba-tiba, suasana yang sangat berbeda langsung menyergap, manakala kendaraan yang saya tumpangi memasuki gerbang Kabupaten Pamekasan. Melintas masuk wilayah “Kota Gerbang Salam” itu udara kebebasan langsung terasa. Ingar-bingar suara musik dangdut di kiri dan kanan jalan menyambut laju kendaraan yang melintas.
Sepanjang lebih dari satu kilometer, jajaran rumah sepanjang jalan memasang pengeras suara besar-besar dan memutar musik kencang-kencang, bersaing satu dengan yang lain. Anak-anak muda duduk berkeliling di sekitar area pengeras suara dan sebagian menyanyi atau berjoget, meskipun hari masih siang. Suasana Lebaran Ketupat menjadi salah satu momentum meneriakkan kebebasan, menegaskan simbol keterbukaan di Pamekasan.
Kabupaten Pamekasan memang menjadi wilayah di Madura yang paling terbuka saat ini, geliat keramaian kota hingga pasar di desa terasa, hotel-hotel baru mulai bermekaran. Saat ini setidaknya terdapat 12 hotel dan penginapan di Pamekasan. Di sini juga menjadi satu-satunya kabupaten di Pulau Madura yang memperbolehkan kehadiran ojek online di kotanya.
Dengan nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 63,98 Pamekasan menjadi kabupaten dengan IPM tertinggi di Madura dibandingkan Sumenep, Sampang, dan Bangkalan. Persentase penduduk miskin di wilayah ini sebesar 16 persen dan Indeks Kedalaman Kemiskinan 1,66, terkecil dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lainnya di sini.
Tanda-tanda perkembangan yang cukup pesat juga terlihat dari pertumbuhan ekonomi Pamekasan. Rata-rata laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Pamekasan selama lima tahun terakhir jauh lebih besar daripada tiga daerah lain di Madura (Bangkalan, Sampang, dan Sumanep).
Pada tahun 2016, PDRB Kabupaten Pamekasan sebesar 9.815,8 miliar rupiah dengan laju pertumbuhan PDRB mencapai 5,35 persen (lebih tinggi dari laju pertumbuhan nasional yang 5,03 persen dan mendekati laju pertumbuhan Provinsi Jawa Timur yang 5,55 persen). Selama delapan tahun, penerimaan dari pajak daerah meningkat hampir tujuh kali lipat, dari 4.220.727.997 pada tahun 2008 menjadi 26.949.852.758 pada tahun 2016.
Sejarah Pilkada
Sejarah pilkada Pamekasan sejak era reformasi penuh dengan pertarungan ulang antarbupati yang pernah menjabat. Pada 1999, Dwiatmo Hadiyanto terpilih menjadi Bupati Pamekasan pertama yang menjabat di era roformasi. Ketika periode pemerintahannya selesai pada 2003, Ia harus menghadapi kenyataan tak dapat meneruskan kekuasaannya, karena dalam pilkada oleh anggota DPR 2003 Ia kalah dari penantangnya, Ahmad Syafi\'i.
Menjabat sampai dengan tahun 2008, Ahmad Syafii harus kembali bertarung untuk meneruskan periode kedua kepemimpinannya. Namun, kali itu kontestasi dilaksanakan dalam sistem politik baru, pilkada langsung. Dalam pilkada langsung pertama itu Ia kembali berhadapan dengan mantan bupati sebelumnya, Dwiatmo Hadiyanto. Perolehan suara Syafii berhasil mengungguli Dwiatmo, namun tak mampu mengungguli penantang baru, yaitu Kholilurrahman. Penantang baru itu pun menjadi Bupati Pamekasan.
Kholillurahman menjabat sampai 2013 dan harus berkontestasi lagi untuk jabatan periode kedua. Akan tetapi, yang dihadapi kali ini adalah mantan bupati pendahulunya, Ahmad Syafii. Syafii, yang selepas dari jabatan bupati sebelumnya kemudian menjadi anggota DPR RI dari Partai Demokrat itu memenangkan pilkada dengan perolehan suara 54,05 persen, mengungguli Kholillurahman yang perolehan suaranya 44,46 persen. Kholillurahman harus bersabar menunggu kesempatan berikutnya, dalam pilkada 2018. Akan tetapi, pilkada yang dilangsungkan 27 Juni lalu telah menghentikan ambisinya untuk kembali meraih kekuasaan sebagai bupati. Ia kalah dari penantang baru.
Pilkada 2018
Pilkada Kabupaten Pamekasan 2018 diikuti oleh dua pasang calon bupati dan calon wakil bupati, yaitu Baddrut Tamam - Raja’e dan pasangan Kholilurrahman - Fathor Rohman. Pasangan Baddrut Tamam - Raja’e diusung oleh Partai Kebangkitan Bangsa ( PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Gerindra, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan total dukungan 15 kursi DPRD. Sedangkan pasangan Kholilurrahman - Fathor Rohman diusung oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Demokrat, dan Partai Golongan Karya (Golkar) dengan total dukungan 22 kursi DPRD.
Pasangan Baddrut Tamam - Raja’e merupakan cerminan kekuatan koalisi tokoh selatan dan utara. Baddrut Tamam lahir dan besar di Pondok Pesantren Sumber Anyar, Kecamatan Tlanakan, Pamekasan bagian selatan. Sedangkan Raja’e merupakan Kepala Desa Bujur Barat, Kecamatan Batumarmar, Pamekasan bagian utara.
Baddrut Tamam (42) merupakan anggota DPRD Jawa Timur selama dua periode (2009-2014, 2014-2019). Sarjana Psikologi lulusan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) tahun 2004 ini pernah menjadi Ketua Ketua Umum Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PC PMII) Malang (2004), organisasi di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU). Pada tahun 2007 posisinya meningkat menjadi Ketua PKC PMII Jatim. Ia cukup banyak menulis artikel di Jawa Pos dan Koran Sindo.
Raja’e memimpin Desa Bujur Barat pada usia 32 tahun dan menjabat selama dua periode. Ia juga merupakan anggota IKASA (Ikatan Kepala Desa) Kecamatan Batumarmar (2008-2014). Lulusan STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) Pamekasan semasa kuliah menjabat sebagai Ketua HMI Pamekasan (2003-2004) dan Anggota PPK KPU (2004). Selepas kuliah, Ia bekerja di bank dan karirnya yang cemerlang membuatnya diangkat sebagai Direktur Bank Muammalat (2006-2007).
Sementara itu perpaduan antara kiai politisi dengan kepala desa menjadi ciri dari lawan mereka, Kholilurrahman dan Fathor Rohman. Kholilurrahman adalah Anggota DPR Rl (2014–2018) dan Fathor Rohman pernah menjadi Kepala Desa Potoan Laok (2003-2013). Sewaktu menjabat sebagai kepala desa, Fathor juga pernah menjadi Sekretaris Ikatan Kepala Desa (Ikasa) Palengaan (2005-2007).
Kholilurrahman merupakan mantan Bupati Kabupaten Pamekasan (2008 – 2013). Sebelumnya, Ia menjadi anggota DPRD Provinsi Jawa Timur (1999 – 2008). Setelah kalah dalam pilkada 2013 untuk memperebutkan jabatan periode keduanya, Ia ikut pemilu legislatif dan berhasil menjadi anggota DPR Rl (2014–2019) dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mewakili Dapil Jawa Timur XI.
Meskipun pernah menjabat sebagai Bupati Pamekasan, sebetulnya Ia bukan putra daerah. Kholillurahman lahir di Probolinggo 57 tahun lalu dan sekolah di Paiton (Probolinggo) hingga tamat SMA. Titel sarjananya Ia dapat dari Universitas Darul Ulum Jombang dan pascasarjana di Universitas 17 Agustus (UNTAG) Surabaya. Sekarang Ia menjajal kembali keberuntungannya dalam pilkada 2018. Kedudukannya sebagai kiai, Pengasuh Pondok Pesantren Matsaratul Huda Panempan Pamekasan dan dosen di beberapa perguruan tinggi Islam turut memperkuat posisinya di kalangan elite Pamekasan.
Pasangannya, Fathor Rohman (41), merupakan mantan Kepala Desa Potoan Laok (2003-2013). Lulusan STAIN Pamekasan tahun 2000 itu pernah menjadi anggota HMI STAIN Pamekasan (1996-1999). Selepas menjadi kepala desa, karir politiknya meningkat menjadi anggota DPRD Kabupaten Pamekasan (2014-2017). Saat ini menjabat sebagai Sekretaris Umum DPP Persatuan Alumni Darul Ulum Banyuanyar (Peradaban) untuk periode tahun 2016-2021.
Pamekasan adalah salah satu wilayah yang memiliki aras politik tak mudah ditebak dengan alat ukur popularitas. Terdapat pembelahan yang cukup tajam antara aras atas dan aras bawah yang membuat prediksi dengan skala popularitas tak mampu menembus realitas akhir.
Sementara aras atas mempertunjukkan ketokohan atas dasar popularitas yang dibangun oleh sejarah dan bangunan struktur sosial lama, aras bawah dikendalikan oleh jaringan riil yang lebih ekonomis dan kontekstual.
Kholillurahman merupakan tokoh yang popularitasnya tak diragukan lagi. Dengan berbagai latar belakang karir politiknya, figurnya lebih mudah menjadi rujukan kemenangan atas dasar popularitas. Terlebih, Ia adalah kiai, pengasuh pesantren yang dalam strata sosial Madura memiliki posisi simbolisme level atas.
Namun demikian, ia menghadapi pasangan Badrut Tamam - Raja\'e yang memiliki akar yang kuat di aras bawah. Terlebih pasangan ini didukung oleh dukungan materi yang lebih kuat. Jika dipadukan, pasangan ini memiliki total harta kekayaan senilai Rp 11.806.158.002,- atau tiga kali lipat dari pasangan Kholilurrahman-Fathor Rohman yang total hanya memiliki kekayaan senilai Rp 3.760.604.712,-.
Hasil pilkada memang kemudian membuktikan, Badrut Tamam - Raja\'e unggul atas Kholilurrahman - Fathor Rohman. Tamam - Raja\'e memperoleh suara 53 persen, sedangkan Kholilurrahman – Fathor mendapatkan suara 47 persen.
Meski terpaut hanya 6 persen, namun penguasaan elektoral Tamam – Raja’e jauh lebih luas. Tamam - Raja\'e menang di 11 kecamatan, meliputi Kecamatan Pamekasan, Tlanakan, Pademawu, Galis, Larangan, Proppo, Pakong, Kadur, Waru, Batumarmar, dan Pasean. Sedangkan Kholilurrahman - Fathor hanya menang di dua kecamatan, yaitu Palengaan dan Pegantenan. Kedua kecamatan ini terletak di bagian tengah barat, berbatasan dengan Kabupaten Sampang. Lokasi kemenangan mereka terkurung oleh wilayah –wilayah kemenangan Tamam – Raja’e.
“Sebelum Era Reformasi, kekuatan sosial sebetulnya ada pada tokoh ulama. Ketika itu ulama betul-betul sakral, betul-betul kuat. Perintah apapun akan diikuti, baik oleh alumni pesantren, santri, maupun masyarakat sekitar. Setelah Orde Reformasi, banyak kiai-kiai yang terjun ke politik, bahkan mencalonkan diri menjadi bupati. Ketika sudah menjadi bupati, ternyata tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Ini yang menyebabkan terjadinya pergeseran luar biasa. Yang dulunya kiai betul-betul dihormati, kemudian berubah. Terlebih, terjadi persaingan di antara sesama kiai, yang berakibat memecah masyarakat” kata Akhmad Mudzakkir, pemerhati politik Pamekasan.
Persaingan antarsesama kiai terjadi karena di Pamekasan tidak ada tokoh ulama besar seperti halnya di Bangkalan yang memiliki Kiai Syaikhona Kholil, ungkap Edi Setiawan, budayawan Madura. Sehingga, wajar jika nama kiai yang melekat pada Kholillurahman sekarang tak memiliki nilai politik yang tinggi, terutama di Pamekasan sebagai kabupaten yang paling terbuka di Madura.
“Sebaliknya, di tingkatan paling bawah Madura itu ada kelompok yang dinamakan “bajingan” (blater). Mereka punya peranan yang sangat penting di bawah. Jika dulu yang kuat ulama sehingga mereka melekat ke ulama, tetapi sekarang mereka berdiri sendiri, punya kekuatan sendiri. Kalau dulu mereka yang butuh kiai, sekarang kiai yang butuh mereka, khususnya dalam konteks politik pilkada atau pemilu.
Kalau dulu kiai bisa nyalon tanpa biaya pun pasti dicoblos, sekarang ini, sejak 2-3 pilkada lalu, terjadi perubahan yang luar biasa. Sekarang bukan ukuran besarnya tokoh yang menentukan, tetapi seberapa banyak mereka punya uang untuk membeli orang untuk menyoblos. Malah harganya tidak tanggung-tanggung. Tingkat kabupaten saja, pilkada sebelumnya harganya 50-75 ribu rupiah per suara,” ungkap Mudzakkir.
Ia dulu pernah menjadi pemain lapangan dan tim sukses salah satu kandidat dalam pilkada gubernur Jawa Timur, namun sekarang lebih banyak bergerak sebagai relawan di bidang sosial kemasyarakatan.
Blater dan kepala desa adalah operasional lapangan yang paling menentukan perolehan suara dalam kontestasi politik kontemporer Madura saat ini, termasuk Pamekasan. Sehingga, tak heran jika “membeli” dukungan dari mereka lebih diperhitungkan daripada mengandalkan dukungan kiai.
“Kiai, bagaimana pun masih memiliki pengaruh hingga saat ini. Mereka masih laku, tetapi tidak 100 persen seperti dulu. Tetapi secara ksatria, orang sini (Madura) lebih percaya pada blater karena perkataannya. Rakyat lebih yakin kepada ucapan mereka, karena kalau mereka bilang iya ya iya, kalau tidak ya tidak.
Tidak seperti politikus zaman sekarang ini, saat ini bilang iya besok ternyata tidak. Terutama bagi para pengumpul suara, mereka lebih percaya kepada blater dan kepala desa daripada kiai. Masyarakat juga demikian, karena duitnya sampai ke mereka. Sedangkan kalau kiai seringnya hanya sekadar memerintah (tetapi uang tidak sampai ke bawah). Cuma saya tidak suka blater karena cara-cara kekerasannya itu,” ujar Edi.
Ibnu Hajar, penulis buku Kiai di Tengah Pusaran Politik Antara Petaka Dan Kuasa (2009) mengungkapkan perubahan posisi kiai setelah Era Reformasi dan munculnya kekuatan politik baru yang berasal dari tataran bawah kelas sosial di Madura. Ia menandaskan, “Di Pamekasan, Raja’e (calon wakilnya Badurut Tamam), itu kan kepala desa yang menguasai blater pantai utara Pamekasan. Raja’e itu Ketua AKD (Asosiasi Kepala Desa). Ia ditarik Badrut Tamam ya karena itu.” Kekuatan ini menjadi salah satu faktor kemenangan pasangan Badrut Tamam – Raja’e dalam pilkada Pamekasan.
Dengan kekuatan dana dan jaringan sosial aktual yang dimiliki oleh pasangan Badrut Tamam dan Raja\'e, kemenangannya dalam pilkada Pamekasan seolah mengonfirmasi tata baru sistem politik Madura saat ini. Pamekasan, mungkin menjadi sebuah contoh dari banyak fenomena dalam pilkada serentak 2018 yang memperlihatkan pergulatan aras bawah dalam merebut wacana aras atas yang sudah terlalu mabuk popularitas. (BAMBANG SETIAWAN/LITBANG KOMPAS)