Politik Ketertinggalan Parimo
Keindahan alam Parimo adalah salah satu potensi yang diakui banyak kalangan. Potensi ini kemudian sempat membuat nama kabupaten ini melejit lewat kegiatan berskala internasional yang diselenggarakan tiga tahun lalu, yaitu Sail Tomini 2015.
Acara tersebut dimaksudkan untuk mempromosikan pariwisata, sekaligus mempercepat pembangunan daerah tertinggal, pinggiran, dan kepulauan. Termasuk juga mempromosikan destinasi pariwisata di Sulawesi Tengah ke dunia internasional.
Sayangnya, pasca Sail Tomini terselenggara, tak banyak hal yang mengubah kondisi masyarakat sekitar Tomini yang miskin. Masalah kemiskinan masih menjadi momok dan sering menjadi isu yang dibahas para tokoh di kabupaten ini.
Jika dilihat dari data, jumlah penduduk miskin masih mencakup 80 ribuan orang atau 17 persen jumlah penduduk. Gini rasio sebagai indikator ketimpangan kesejahteraan memang relatif kecil, hanya 0,31, namun dengan Indeks Pembangunan Manusia yang berkisar skor 63 bisa dipastikan wajah daerah yang relatif belum sejahtera.
Dalam laporan Evaluasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) (Bappeda Parigi Moutong 2017), masalah kemiskinan ini mengemuka. Disebutkan bahwa hambatan utama pada masalah kemiskinan adalah program penanganan penduduk miskin yang belum optimal. Hal ini bisa dilihat antara lain dari masih tingginya jumlah penduduk miskin, akses terhadap pelayanan pendidikan dan kesehatan di daerah pegunungan yang masih buruk, ketidaksinkronan output program pendidikan dan keterampilan dengan ketersediaan lapangan kerja.
Menurut Bappeda Parimo, faktor kemiskinan juga terkait dengan kondisi sejumlah suku yang tinggal di daerah terpencil. Sejumlah suku asli menjadi ciri khas di Parimo, antara lain Suku Kaili, Tajio, Lauje, dan Tialo. Suku-suku tersebut menghuni wilayah Kecamatan Sausu Torue, Parigi, sebagian Ampibabo, Kasimbar, dan Tinombo Selatan. Sementara itu ada juga suku pendatang seperti Jawa, Bali, Bugis, Gorontalo, Mandar, Minahasa, dan Bajo.
Masalah kemiskinan ini sudah seringkali disinggung, termasuk oleh mantan bupati Sulawesi Tengah, Longki Djanggola. Menurutnya, masyarakat nelayanlah yang harus mendapat prioritas lebih dulu dalam program pengentasan kemiskinan, karena umumnya nelayan hidup miskin dan terbelakang. Baru sekitar 30 persen dari total kekayaan laut Parimo yang bisa dieksploitasi nelayan.
Di balik masalah kemiskinan, sebetulnya Parimo memiliki potensi untuk mendorong perekonomian daerah, yaitu dari komoditas beras dan kakao. Parimo dikenal sebagai salah satu sentra beras di Sulawesi Tengah. Namun, menurut Longki pontensi ini belum digarap optimal.
Masalah lainnya adalah pembangunan infrastruktur, yaitu masih tingginya tingkat kerusakan infrastruktur (terutama jalan, jembatan dan pengairan), tingginya abrasi pantai, dan sistem infrastruktur yang belum menunjang pelayanan sosial dan ekonomi secara optimal.
Aspek lain yang juga disinggung dalam RPJM itu adalah masalah kinerja pemerintahan yang belum optimal. Struktur kelembagaan atau perangkat daerah Parimo tergolong besar jika dibandingkan dengan kabupaten lain atau Provinsi Sulteng. Padahal, yang dibutuhkan sebetulnya tidak sebanyak itu.
Selain itu, persoalan lainnya adalah banyaknya program yang tidak berjalan efektif karena saling tumpang tindih. Satu program infrastruktur, misalnya, terintervensi oleh program lain yang sama yang juga mempunyai anggaran khusus. Kondisi ini berakibat pelaksanaan program yang tidak fokus atau berjalan optimal karena terbagi-bagi.
Selama dua dekade, terhitung sejak terpilihnya bupati definitif pertama tahun 2003 hingga selesainya periode kepemimpinan 2018-2023 hasil pilkada tahun ini, Parigi Moutong hanya dipimpin oleh dua bupati, yakni Longki Djanggola dan Samsurizal Tombolotutu.
Apakah ini berarti demokrasi di Parigi Moutong minim calon pemimpin atau faktor ketokohan yang begitu kuat yang menutup kesempatan bagi calon lain. Menurut HA Mattulada dalam tulisan “Sejarah Kebudayaan To-kaili”, wilayah Parigi Moutong (Parimo) dahulunya berada di bawah payung Donggala yang dikenal terbagi atas delapan kerajaan yaitu Palu, Sigi-Dolo, Kulawi, Biromaru, Banawa, Tawaeli, Parigi dan Moutong.
Bermula dari dua kecamatan, yaitu Kecamatan Parigi dan Moutong, Parimo yang berkembang resmi berstatus kabupaten otonom melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2002. Sebagai penjabat bupati sampai terpilihnya bupati definitif, diangkatlah Longki Djanggola. Sebelumnya, Longki Djanggola adalah birokrat karir di pemerintahan Provinsi Sulawesi Tengah.
Dua Periode Longki Djanggola
Pada penyelenggaraan pilkada pertama di Parimo tahun 2003, Longki Djanggola yang berpasangan dengan Asmir Ntosa terpilih menjadi bupati definitif pertama yang dipilih melalui sidang paripurna khusus DPRD Kabupaten Parimo. Sidang paripurna diikuti oleh 30 anggota dewan.
Longki Djanggola – Asmir Ntosa yang didukung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengalahkan pasangan Sutomo Borman – Nur Rahmatu (didukung Partai Golkar) dan pasangan Asikin Suyuti – Rafli Dg Rahmatu (didukung Partai Persatuan Pembangunan) dalam dua putaran. Pada putaran kedua, Longki Djanggola – Asmir Ntosa berhadapan dengan Sutomo Borman – Nur Rahmatu hingga akhirnya menang dengan suara 16-14.
Pada pilkada lima tahun sesudahnya (2008), Bupati Longki Djanggola kembali maju sebagai kandidat bupati dengan memilih calon wakil bupati yang baru, yakni Samsurizal Tombolotutu. Pasangan ini didukung oleh PDI-P yang berkoalisi dengan Partai Demokrat dan PPP. Pesaingnya ada dua pasangan.
Pesaing pertama adalah wakilnya saat periode pertama, yakni Asmir Ntosa yang berpasangan dengan Tasmin Borman. Mereka diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera. Pesaing kedua adalah pasangan Rustam Daeng Rahmatu – Thamrin Lebe Ntosa yang didukung oleh Partai Golkar.
Longki Djanggola – Samsurizal Tombolotutu menang dengan meraih 47,7 persen suara. Keduanya pun dilantik menjadi bupati dan wakil bupati Parimo untuk periode 2008-2013. Namun, pada 2011, Longki mundur dari jabatannya untuk maju sebagai calon Gubernur Sulawesi Tengah. Sehingga, Samsurizal naik menjadi bupati hingga 2013. Pada 17 Juni 2011, Longki terpilih sebagai Gubernur Sulawesi Tengah periode 2011-2016.
Pada pilkada selanjutnya tahun 2013, bupati petahana Samsurizal Tombolotutu menggandeng Badrun Nggai sebagai pasangannya untuk maju sebagai calon bupati-wakil bupati periode 2013-2018. Pasangan yang diusung oleh koalisi PDI-P, PKB, Partai Gerindra, PKPB, Partai Demokrat, dan Partai Hanura ini menghadapi tiga pasangan calon lainnya.
Ketiga pesaing itu adalah pasangan Taswin Borman – Kemal Natsir Toana yang diusung oleh PKS, PPP, PDK, serta PKPI, pasangan Awalunsyah Passau – Iskandar Lilimullah yang diusung oleh 13 partai di luar parlemen, dan pasangan M Nur Daeng Rahmatu – Usman Yami yang diusung oleh PBB, PDP, dan PPRN.
Samsurizal Tombolotutu – Badrun Nggai dapat memenangkan pilkada dengan perolehan 55,2 persen suara. Pesaing terdekat mereka adalah Taswin Borman – Kemal Natsir Toana yang memperoleh 38,85 persen suara.
Dalam pilkada 2018 kali ini, pasangan petahana yang solid antara Samsurizal Tombolotutu – Badrun Nggai kembali maju untuk mengejar jabatan periode kedua. Komposisi koalisi partai yang mengusung mereka sedikit berubah. PDI-P dan Partai Gerindra adalah dua partai yang tetap setia mengusung mereka, ditambah peserta koalisi baru yaitu PKS, PAN, PPP, dan PBB.
Adapun Partai Demokrat, PKB, dan Hanura yang mendukung Samsurizal Tombolotutu – Badrun Nggai di periode sebelumnya berpaling mendukung pasangan calon lain. Partai Demokrat dan Hanura kemudian mengusung pasangan Amrullah S Kasim Almahdaly – Yufni Bungkundapu. Sedangkan Partai Golkar dan PKB mengusung pasangan Erwin Burase – Rahmawati M Nur.
Hasil Pilkada 2018
Hasil rekapitulasi dan penetapan suara pilkada 2018 di Parimo mengukuhkan kemenangan Samsurizal Tombolotutu – Badrun Nggai untuk yang kedua kalinya. Pasangan ini mendapatkan 44,74 persen suara, jauh meninggalkan pesaing-pesaingnya. Pasangan Amrullah S Kasim Alhmahdaly – Yufni Bungkundapu memperoleh 34,25 persen suara. Sedangkan pasangan Erwin Burase – Rahmawati M Nur hanya meraih 21,01 persen suara.
Kemenangan petahana ini sudah diprediksi sebelumnya. Dilihat dari dukungan politik, enam partai pengusung Samsurizal Tombolotutu – Badrun Nggai menguasai hampir separuh kursi di DPRD, yaitu 19 kursi dari total 40 kursi. Modal politik yang cukup besar dibandingkan dengan dukungan politik ke pasangan Amrullah S Kasim Almahdaly – Yufni Bungkundapu (10 kursi) dan pasangan Erwin Burase – Rahmawati M Nur (9 kursi).
Staf pengajar Fisip Universitas Tadulako, Sulawesi Tengah, Slamet Riadi Cante menilai kedudukan petahana sangat jauh dibandingkan paslon lainnya. “Kekuatan petahana bisa dibilang mencapai 45 persen dan belum ada penantang yang serius,” kata Slamet Cante.
Menurut Soraya Sultan, salah seorang pengurus PDI-P di Palu, Sulawesi Tengah, pada awalnya PDI-P tidak mendukung petahana. Hanya saja harus diakui, petahana kuat dari segala sisi, baik partai maupun finansial. Selain itu, petahana memang mendapat dukungan dari partai-partai lain yang diyakini bisa meraih suara terbanyak.
Menurut Soraya, elektabilitas Samsurizal yang berlatar belakang militer ini di atas 50 persen, angka yang melebihi elektabilitas petahana daerah lain seperti di Donggala dan Morowali. “Meskipun permasalahan yang dialami Parimo juga mirip dengan Donggala, seperti kemiskinan, infrastruktur, akses kesehatan, dan lainnya,” kata Soraya.
Sebelum memberi dukungan kepada petahana, PDI-P sempat mencalonkan Sugeng Salilama yang juga Ketua DPC PDI-P Parigi Moutong untuk posisi wakil bupati. Setelah mencoba beberapa upaya untuk menaikkan elektabilitas calon melalui survei internal partai, hasilnya dianggap kurang memuaskan.
Dengan perkiraan elektabilitas kurang dari lima persen, akhirnya Sugeng Salilama diputuskan mundur dari pencalonan. Pencalonan kadernya tidak dilakukan untuk pemilihan tahun ini meski di DPRD Parimo PDI-P memiliki empat kursi.
Di luar faktor politik, petahana juga masih ada hubungan keluarga (sebagai ipar) dengan Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola yang juga mantan Bupati Parimo dua periode. Bisa jadi ini juga menjadi faktor untuk mendapat dukungan besar dari Partai Gerindra yang memiliki kursi terbanyak di legislatif (6 kursi).
Peluang Penantang
Dalam empat kali penyelenggaraan pilkada di Parimo, jumlah kontestan yang bertarung tidaklah minim. Terdapat tiga pasangan calon dalam setiap pilkada Parimo, kecuali pada tahun 2013 yang jumlah kontestannya berjumlah empat paslon.
Ketokohan dan kinerja petahana rupanya mendapat tempat di hati pemilih. Meski secara umum memang tak ada kritik keras terhadap kinerja petahana, bukan berarti pesaingnya berkualitas buruk.
Dalam pilkada 2018 ini, misalnya, kandidat Erwin Burase yang merupakan anggota DPRD cukup dikenal baik di kalangan politisi maupun warga Parimo. Adapun Rahmawati M Nur yang adalah sekretaris PKB juga sudah cukup dikenal masyarakat setempat.
Amrullah S Kasim Almahdaly dikenal sebagai anggota DPRD Provinsi Sulteng periode 2014-2019. Sementara pasangannya Yufni Bungkundapu merupakan puteri dari Asa Bungkundapu, seorang tokoh Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah yang memperjuangkan terbentuknya Provinsi Sulawesi Tengah.
Menurut Soraya Sultan, munculnya dua tokoh perempuan dalam pilkada Parimo menunjukkan antusiasme kaum perempuan untuk menjadi calon pemimpin. “Sekarang mulai terlihat ada perjuangan dan perlawanan kaum perempuan. Yang penting mau saja dulu, mereka punya modal dan matang dalam pengalaman birokrasi,” ujar Soraya
Kepala daerah Parimo sudah terpilih, menunggu untuk dilantik. Sejumlah permasalahan lama pun sudah menunggu untuk dibenahi. Waktu dua dekade memang belum cukup untuk memajukan daerah yang baru dimekarkan. Namun, waktu selama itu seharusnya sudah bisa memetakan persoalan daerah yang seharusnya menjadi prioritas untuk dijalankan. Manajemen sumber daya manusia dan pengelolaan sumber daya alam harus menjadi perhatian untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. (KRISHNA P PANOLIH/LITBANG KOMPAS)