Drama Kemenangan Kotak Kosong di Makassar (1)
Kemenangan Kotak Kosong pada Pemilihan Wali Kota Makassar 2018, menorehkan sejarah baru dalam pesta demokrasi di Indonesia. Kotak kosong yang awalnya bermakna pasif kini bisa juga menjadi “aktif”, yaitu sebagai bentuk perlawanan warga terhadap proses demokrasi yang ada. Legitimasi parpol sebagai wahana kaderisasi politik patut dipertanyakan ketika partai kalah melawan kotak kosong.
Kasus kemenangan kotak kosong di Makassar itu kini berada dalam proses persidangan di Mahkamah Konstitusi yang melibatkan dua pihak pemohon, yaitu antara M. Ramdhan Pomanto-Indira Mulyasari (DIAmi), dengan pasangan Munafri Arifuddin - Rachmatika Dewi Yustitia Iqbal (Appi-Cicu). Kedua pemohon ini merupakan pihak yang terkait langsung dengan pilwalkot Makassar.
Kemenangan kotak kosong adalah sejarah baru dalam pemilu di Indonesia.
Ramdhan Pomanto merupakan petahana walikota Makassar sedangkan Munafri merupakan penantang petahana. Perkara gugatan terhadap kotak kosong merupakan buntut dari peristiwa pemilihan yang tidak pernah diduga sebelumnya. Pasalnya, di awal masa pendaftaran calon, semua rangkaian proses pendaftaran berjalan normal setelah KPU memastikan jumlah peserta pemilihan sebanyak 2 paslon. Kondisi ini berjalan kurang lebih sebulan lamanya.
Peristiwa diawali dengan kontestasi pilkada antarkedua pasangan yang berlangsung sengit. Saat masa kampanye berlangsung di bulan Februari 2018, paslon Munafri - Rachmatika (Appi – Cicu) menggugat pasangan M Ramdhan Pomanto - Indira Mulyasari (DIAmi) ke Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kota Makassar.
Tiga masalah pokok digugat paslon Appi-Cicu terkait keputusan KPU Makassar, yaitu soal pengangkatan tenaga honorer, pembagian telepon genggam pada Ketua RT dan RW, serta penggunaan tagline “Dua Kali Tambah Baik” oleh Pemkot Makassar.
Dany sebagai wali kota dinilai menggunakan kewenangannya untuk kepentingan politik. Penggunaan tagline “Dua kali Tambah Baik” tersebut dinilai akan menguntungkan pasangan DIAmi, karena dalam urutan peserta, pasangan ini mendapatkan nomor urut dua.
Panwaslu Makassar memenangkan KPU Makasar pada 26 Februari 2018. Alasannya, tuduhan yang disebutkan dalam gugatan Appi – Cicu tidak terbukti, lantaran pengangkatan tenaga honorer dan pembagian telepon genggam adalah program pemerintah yang telah disusun sebelum masa pilkada.
Kedua program ini bahkan sudah disetujui oleh DPRD Kota Makassar. Terkait tagline, hal itu dinilai hanya sebagai kata penyemangat untuk warga Makassar dan juga telah lama digunakan sebelum proses pilkada.
Tanggal 27 Februari, tim dari pasangan Munafri - Rachmatika mengajukan gugatan lagi ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Makassar. Mereka menggugat KPU yang telah meloloskan pasangan Ramdhan - Indira dalam Pilwalkot Makassar 2018. Appi – Cicu juga meminta KPU Makassar membatalkan pencalonan DIAmi.
Bagi publik di Makassar, upaya hukum yang dilakukan Appi – Cicu ini dilihat sebagai motif untuk menjegal langkah Wali Kota Makassar petahana maju dalam pencalonan untuk periode kedua.
PT TUN Makassar kemudian mengabulkan gugatan paslon Munafri-Rachmantika pada 21 Maret 2018. PT TUN meminta KPU Makassar membatalkan pencalonan pasangan Ramdhan - Indira dalam Pilkada Makassar 2018. Ramdhan terbukti bersalah melanggar Pasal 71 ayat 3 UU No. 10/2015 juncto pasal 89 ayat 2 PKPU No. 15/2017 tentang penyalahgunaan kewenangan sebagai kepala daerah.
Pemicu Drama
Saat itu, putusan PT TUN memicu polemik dan menciptakan drama yang berkepanjangan dalam Pilwalkot Makassar. Amiruddin Ilmar, ahli hukum Tata Negara Universitas Hassanuddin Makassar menyebutkan, Hakim PT TUN terlalu menyederhanakan pelanggaran yang tertulis dalam UU dan PKPU.
Pasal 71 ayat 3 UU No. 10 tahun 2016 menyebutkan, “Kepala Daerah dilarang menggunakan kewenangan melaksanakan program dan kegiatan yang merugikan calon lain dalam jangka waktu 6 bulan sebelum penetapan”. Sementara PKPU No. 15 tahun 2017, Pasal 89 Ayat (2) menyebutkan, “Petahana dilarang menggunakan kewenangan untuk mengikuti pemilihan dalam jangka waktu 6 bulan”.
Mengacu pada aturan tersebut menurut Amiruddin Ilmar, yang disebut petahana setelah ditetapkan. Sebelum ditetapkan bukan petahana karena yang bersangkutan adalah pejabat yang melaksanakan program.
Pandangan yang sama juga diutarakan oleh Laode Husain guru besar Fakultas Hukum Univervisatas Muslim Makassar. Menurutnya, PT TUN salah dalam penerapan hukum karena kebijakan wali kota yang digugat tidak terkait dengan pemilihan.
Sebelum penetapan, wali kota berhak melaksanakan program yang sudah diprogramkan pada pemerintahannya. Singkatnya, menurut kedua pakar hukum dari Kota Makassar ini, putusan PT TUN tersebut keliru, sebagaimana dikutip dari laman Fajaronline.com.
Untuk mempertahankan putusannya, KPU Kota Makassar mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) terkait putusan PT TUN yang membatalkan pencalonan Ramdhan - Indira.
Namun upaya hukum KPU ini dipastikan kandas setelah MA menolak permohonan kasasinya pada 23 April. Kasasi MA justru menguatkan putusan PT TUN Makassar yang memerintahkan KPU Makassar untuk mendiskualifikasi pasangan Ramdhan - Indira.
MA menguatkan PTUN Makassar yang mendiskualifikasi Ramdhan-Indira.
Putusan kasasi ini membuat drama sengketa pilkada ini semakin seru. Publik Kota Makassar terutama para pendukung DIAmi langsung protes dengan berunjuk rasa ke PT TUN, KPU, dan DPRD Kota Makassar selama berhari-hari. Selain itu, aksi unjuk rasa juga terlihat di anjungan Pantai Losari, serta simpang jembatan layang di ujung jalan Tol Reformasi. Pengamatan Kompas yang berkunjung ke Makassar pertengahan April lalu, unjuk rasa yang melibatkan warga disertai aksi bakar ban ini memicu terjadinya kemacetan lalu lintas.
Drama politik ini semakin runyam bagi pasangan DIAmi ketika KPU Makassar memutuskan untuk menjalankan putusan kasasi MA pada 27 April. Pasangan Dany Pomanto – Indira yang maju melalui jalur perseorangan ini dianulir kepesertaannya dalam Pilwalkot Makassar 2018. Selanjutnya, KPU menetapkan pasangan Munafri – Rachmatika sebagai calon tunggal.
Otomatis, sesuai dengan UU No. 10 tahun 2016 tentang Pilkada, pemilihan kepala daerah dengan satu paslon harus melawan kolom kosong. Penetapan ini menjadikan Kota Makassar sebagai salah satu dari 16 daerah yang menyelenggarakan pilkada dengan kotak kosong pada 27 Juni 2018.
Kini, pasangan Appi-Cicu meminta MK agar menyatakan pasangan tersebut sebagai pemenang. Alasannya, kemenangan kotak kosong di Makassar sarat dengan pelanggaran dan kecurangan penyelenggaraan pilkada. Appi - Cicu mempersoalkan keterlibatan pasangan Danny-Indira yang dianggap turut mengampanyekan kemenangan kotak kosong.
Di lain pihak, pasangan Danny (Ramdhan) Pomanto-Indira meminta MK agar mengulang pilkada dengan hanya menyertakan Danny Pomanto- Indira sebagai kontestan melawan kotak kosong, karena Appi – Cicu terbukti tidak diinginkan oleh rakyat (kompas.id, 28/07). (M. PUTERI ROSALINA/LITBANG KOMPAS) (Bersambung)