Kemenangan di Kota Sejuta Angkot
Komisi Pemilihan Umum Kota Bogor, Kamis (5/7/2018), menetapkan pasangan Bima Arya Sugiarto-Didie A Rachim sebagai pemenang pilkada. Pasangan tersebut berhak menduduki kursi Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bogor periode 2019-2024.
Pilkada kali ini menjadi ajang kedua Bima Arya berhadapan dengan Achmad Ru’yat dalam memperebutkan kursi Wali Kota Bogor. Bima Arya pada pilkada sebelumnya (2013) unggul tipis dari Achmad Ru’yat. Bima yang pada Pilkada 2013 berpasangan dengan Usman Hariman dan diusung oleh koalisi PAN, Demokrat, PBB, PKB, dan Gerindra berhasil meraih 132.835 suara (33,1 persen).
Adapun Achmad Ru’yat pada Pilkada 2013 yang berpasangan dengan Aim Halim Hermana dan diusung oleh PKS, PPP, Hanura berhasil meraih 131.080 suara (32,7 persen).
Hasil Pilkada 2018, Bima kembali berhasil mengungguli Achmad Ru’yat. Bima Arya yang kali ini berpasangan dengan Didie Rachim berhasil meraih 215.708 suara (43,6 persen). Pasangan ini diusung oleh koalisi Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Golkar, Partai Nasional Demokrat, dan Hanura. Kelima partai tersebut menduduki 19 kursi (42 persen) DPRD Kota Bogor.
Sementara itu, Achmad Ru’yat yang berpasangan dengan Zaenul Mutaqin serta diusung oleh koalisi PKS, PPP, dan Gerindra meraih 153.407 suara (31,03) persen. Adapun pasangan Dadang Iskandar Danubrata-Sugeng Teguh Santoso yang diusung koalisi PDI-P dan PKB, serta pasangan jalur perseorangan Edgar Suratman-Sefwelly Gynanjar Djoyodiningrat, masing-masing meraih 63.335 (12,81 persen) dan 61.871 suara (12,52 persen).
Tidak banyak perubahan politik di Pilkada Bogor.
Jika membandingkan peta distribusi perolehan suara Pilkada 2018 di setiap kecamatan di wilayah kota Bogor, tampak tidak banyak perubahan dari Pilkada 2013. Bima Arya kembali berhasil merebut mayoritas suara pemilih di semua kecamatan. Demikian juga Achmad Ru’yat berada di urutan kedua perolehan suara terbanyak di semua wilayah kecamatan. Hal ini boleh jadi penanda bahwa preferensi pilihan politik warga Kota Bogor cenderung solid.
Kontestan
Tiga dari calon wali kota Bogor yang bertarung pada Pilkada 2018 adalah politisi. Sementara satu calon dari jalur perseorangan berlatar belakang birokrat.
Bima Arya adalah sosok politikus yang tercatat sebagai salah seorang deklarator Partai Amanat Nasional dan sempat menjadi Sekretaris DPD PAN Kota Bandung periode 1998-2000. Selepas 2000 Bima lebih banyak bergelut di dunia akademisi dan pernah menjabat Asisten Rektor Bidang Kemahasiswaan Universitas Paramadina (2001-2002).
Popularitas Bima Arya meningkat setelah dia menyelesaikan studi doktoral di Australia pada 2006 dan membentuk lembaga konsultan politik Charta Politika Indonesia. Bima kerap muncul di media sebagai pengamat politik. Bima kembali aktif dalam kepengurusan DPP PAN pada 2010 dan menjadi peserta pemilihan wali kota Bogor pada 2013, dan menang.
Achmad Ru’yat adalah kader PKS yang merupakan mantan anggota DPRD Kota Bogor periode (1999-2004) dan Wakil Ketua DPRD Provinsi Jawa Barat (2004-2009). Pada 2008, Ru’yat mendampingi Diani Budiarto yang berhasil memenangi Pilkada Kota Bogor dan menjabat sebagai Wakil Wali Kota Bogor periode 2008-2013.
Ru’yat kembali menjadi peserta pilkada pada 2013 tetapi kalah dari Bima Arya. Peserta pilkada lain yang juga politisi adalah Dadang Iskandar Danubrata yang menjabat sebagai Ketua DPC PDI-P Kota Bogor.
Satu-satunya peserta yang maju sebagai calon perseorangan adalah Edgar Suratman dan juga menjadi satu satunya peserta pilkada yang berlatar belakang nonpolitisi. Erdan adalah pegawai negeri sipil yang sebelum mengundurkan diri pada 2017 menjabat sebagai Asisten Pemerintahan Sekretris Daerah Kota Bogor.
”Kota sejuta angkot”
Masalah penataan transportasi publik dan tata ruang kota selama ini menjadi persoalan utama Kota Bogor. Sebagai kota penyangga Jakarta, Bogor menjadi salah satu alternatif hunian kelas menengah yang bekerja di Ibu Kota.
Pertumbuhan jumlah penduduk dan perubahan tata ruang kota ini tampak pesat selama satu dekade terakhir. Kota Bogor yang luas wilayahnya 118,5 kilometer persegi dihuni oleh 1.064.687 jiwa. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, kepadatan penduduk di kota ini mencapai 8.985 orang per kilometer persegi.
Pekerjaan berat bagi pemerintah kota selama ini ialah mengembalikan identitas Bogor sebagai kota wisata yang asri dan nyaman. Identitas Kota Bogor sebagai kota taman nan asri dengan ikon hutan di pusat kota yang terkenal sebagai Kebun Raya Bogor ini seolah pudar oleh citra ”kota sejuta angkot” (angkutan kota).
Tak heran, karena kota ini identik dengan kemacetan dan semrawut oleh angkutan umum. Hasil survei yang dilakukan oleh penyelenggara aplikasi lalu lintas Waze tahun 2016 mengukuhkan Kota Bogor sebagai kota dengan pengalaman berkendara paling buruk setelah kota Cebu, Filipina. Bogor berada di urutan ke-185 dari 186 kota yang disurvei.
Sejumlah upaya penataan telah dilakukan pemerintah Kota Bogor di bawah kepimpinan Bima Arya pada periode sebelumnya. Tata kelola transportasi dengan konsep Bogor Transportation Program mulai menjadi prioritas utama dalam kebijakan tata kota sejak 2015.
Persoalan utama yang membuat semrawut transportasi publik di Bogor ialah tata kelola penyelenggaraan angkutan umum (angkutan kota/angkot) yang sebelumnya tak terkendali. Salah satu upaya yang dijalankan oleh pemerintah Kota Bogor untuk menata angkot adalah mewajibkan penyelenggara angkot membentuk badan hukum.
Aturan ini dituangkan lewat Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan. Perda ini meneruskan aturan terkait pengelolaan angkutan jalan yang ditetapkan secara nasional melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009.
Berdasarkan data Dinas Perhubungan Kota Bogor 2017, tak kurang dari 3.412 angkot beroperasi di kota yang berpenduduk sekitar satu juta jiwa tersebut. Sesuai aturan perda, seluruh angkot yang beroperasi di Kota Bogor tergabung dalam koperasi.
Sedikitnya ada empat jenis koperasi yang menaungi pengusaha angkot di Kota Bogor, yaitu Koperasi Pengusaha Angkutan, Koperasi Jasa Angkutan Usaha Bersama, Koperasi Duta Jasa Angkutan Mandiri, dan Koperasi Jasa Angkutan Mandiri.
Sejauh ini, angkutan penumpang dengan kendaraan kapasitas kecil masih menjadi andalan transportasi publik. Peralihan operasional angkot menjadi moda angkutan umum berkapasitas lebih besar secara perlahan mulai dilakukan, antara lain dengan memperbanyak moda angkutan bus. Solusi ini diambil berdasarkan perhitungan Dinas Perhubungan Kota Bogor yang mengonversi daya angkut penumpang tiga angkot setara dengan satu bus.
Selain pengaturan jumlah angkutan umum, upaya mengatasi kesemrawutan Kota Bogor adalah dengan penataan ulang jalur dan trayek angkutan umum. Perubahan trayek angkot mulai diberlakukan sejak Februari 2017.
Persoalan infrastruktur transportasi tampak menjadi persoalan yang cukup rumit bagi Kota Bogor. Hal ini tampak dari prioritas kebijakan pembangunan kota yang selalu terfokus pada persoalan ini selama beberapa periode pemerintahan terakhir. Tampaknya persoalan ini akan tetap menjadi prioritas program bagi petahana yang akan melanjutkan kepemimpinannya pada periode mendatang. (LITBANG KOMPAS)