Mengikis Tabu Menstruasi
Menstruasi atau haid acapkali tidak dibicarakan secara cukup memadai (terbuka) dalam percakapan keseharian masyarakat. Akibatnya, anak-anak perempuan usia pubertas seringkali menjalani periode awal haid mereka dalam kebingungan.
Dalam keheningan komunikasi sosial semcam itu, banyak diantara mereka yang tidak tahu proses perubahan biologis yang terjadi pada dirinya. Terkadang, sangat sedikit informasi yang diberikan kepada anak-anak perempuan yang mengalami pubertas ini, tentang bagaimana menjaga higienitas saat haid menghampiri.
Kebanyakan anak perempuan mengalami menstruasi untuk pertama kalinya antara usia 10 hingga 17 tahun. Saat ini, bahkan ada yang mengalami haid pertama kali saat usia di bawah 10 tahun. Waktu dimulainya haid pertama kali yang bervariasi memang dipengaruhi berbagai faktor, seperti genetik, lingkungan (status sosial ekonomi keluarga), gizi, aktivitas fisik, dan lainnya.
Sayangnya, memperbincangkan tentang haid secara terbuka kerapkali dipandang sebagai tabu dalam sistem sosial masyarakat kita. Ke-"tabu"-an itu pada akhirnya menghambat anak perempuan menjelaskan kebutuhan mereka.
Jajak pendapat Litbang Kompas 4-5 Juni 2018 menunjukkan separuh responden (52,1 persen) mengaku tidak pernah menjelaskan tentang hal ikhwal haid terhadap anak atau keponakan mereka baik kepada anak perempuan maupun laki-laki.
Tabu bagi anak perempuan membicarakan tentang haid.
Data lembaga Plan Internasional Indonesia malah mengungkapkan sebanyak 63 persen orangtua tak pernah memberikan penjelasan secara benar dan utuh mengenai haid pada anak perempuannya.
Padahal, saat pertama kali haid, kebanyakan benak anak perempuan dipenuhi rasa takut dan khawatir. Namun, karena dianggap tabu, tak jarang mereka merasa malu ketika harus membicarakannya di depan umum.
Kurangnya informasi tentang proses menstruasi, perubahan fisik, dan psikologis yang terkait dengan pubertas, serta kebersihan saat haid membuat anak-anak perempuan terkadang tertekan. Kian parah jika mereka pun masih harus menghadapi perundungan dari anak laki-laki di sekolah.
Hasil survei daring yang dilakukan oleh wadah advokasi UNICEF bernama U-Report Indonesia pada 8 Mei 2017 mengungkap sekitar 18 persen perempuan dari 996 responden menyatakan pernah mengalami perundungan saat menstruasi atau haid.
Selain karena sedang mendapat haid, perundungan juga disebabkan baju perempuan yang kotor dengan darah (tembus). Pengalaman tersebut dikuatkan oleh pengakuan 21 persen dari 529 responden laki-laki bahwa mereka pernah mengejek teman perempuannya yang menstruasi.
Selain respon negatif dari orang lain, sebagian perempuan juga harus mengalami sakit saat haid datang. Sekitar 27 persen responden perempuan pernah membolos ketika haid.
Mayoritas responden di antaranya menyebut sakit sebagai alasan utamanya sementara sisanya beralasan ketiadaan toilet ataupun pembalut di sekolah dan takut bocor.
Pendidikan Haid
Publik menyadari pentingnya memberi pendidikan mengenai haid kepada anak-anak perempuan dan laki-laki. Hampir seluruh responden (91,5 persen) mengakui perlunya memberikan pendidikan mengenai haid (secara lebih terbuka).
Namun, masih ada 5 persen yang memandangnya tidak perlu dengan alasan anak akan mengerti dengan sendirinya, tabu atau tidak sopan untuk diperbincangkan, bahkan ada yang menilai ada orang lain yang akan mengajari pada waktunya.
Edukasi tentang haid sebagai siklus biologis yang wajar terjadi pada tubuh perempuan belum menjadi sesuatu yang lumrah.
Pendidikan terkait haid menjadi isu penting karena terkait dengan kesehatan dan martabat anak-anak perempuan. Pendidikan tentang haid membantu mereka mewujudkan potensi dirinya tanpa harus terganggu dengan perubahan yang terjadi di masa pubertas.
Orang tua, guru, dan kalangan medis memiliki peran penting dalam memberi pendidikan haid yang benar dan ilmiah terhadap anak perempuan maupun laki-laki. Persoalan soal apa itu haid, apa saja yang akan terjadi saat haid menghampiri, dan bagaimana menghadapi haid adalah pengetahuan dasar yang wajib diberikan.
Demikian juga tentang bagaimana menjaga kebersihan saat haid menghampiri, bagaimana menyikapi perubahan hormon yang terjadi saat haid, dan bagaimana bersikap terhadap anak perempuan yang sedang haid.
Hal tersebut menjadi pokok-pokok yang harus dibahas dalam memberi pendidikan soal haid terhadap anak perempuan dan juga laki-laki. Penjelasan yang tidak benar disertai mitos ataupun ketidaktahuan bisa menyebabkan anak secara keliru mengaitkan haid dengan penyakit atau sesuatu yang memalukan.
Penjelasan tentang haid kepada anak perempuan dan laki-laki dinilai oleh 87 persen publik akan membawa dampak positif dalam menyikapi haid.
Anak laki-laki harus diberikan pendidikan tentang haid supaya perundungan terhadap teman-teman perempuannya dapat diminimalkan. Selain itu, anak laki-laki pun belajar menjaga sikap dan kata-kata sehingga mereka belajar menjaga martabat perempuan semenjak usia dini.
Sarana Sekolah
Informasi tentang haid dinilai oleh 40 persen responden paling cocok diberikan pada rentang usia 11-13 tahun. Sementara, ada 26 persen yang menilai paling cocok diberikan pada usia lebih awal yakni 8-10 tahun mengingat semakin majunya menstruasi awal anak-anak perempuan di masa sekarang.
Bahkan, ada sekitar 5 persen yang menilai harus diberikan pada usia kurang dari 8 tahun. Ada yang berpendapat pendidikan soal mentruasi lebih baik diberikan pada rentang usia 14-15 tahun dan lebih dari 15 tahun.
Selain memberikan pendidikan tentang haid kepada anak perempuan dan laki-laki, prasarana di sekolah juga harus mendukung.
Data Pokok Pendidikan (Dapodik) tahun 2017 menyebutkan sekitar 12 persen sekolah di Indonesia tak memiliki jamban dan air bersih. Hanya ada satu dari setiap empat toilet sekolah dalam kondisi baik, dan baru 67 persen sekolah SD dan SMP yang menerapkan toilet terpisah menurut gender.
Rasio toilet laki-laki dan perempuan secara nasional adalah 1:122 untuk siswa, dan 1:117 untuk siswi. Kondisi ini dianggap kurang menunjang siswi-siswi untuk menjaga kebersihan saat haid di sekolah.
Jika kebersihan saat haid tidak terjaga, risiko kesehatan seperti infeksi, sistitis, endometriosis, bahkan karsinoma serviks akan meningkat.
Masih menjadi tantangan bagi anak-anak perempuan mendapatkan privasi, dan menerapkan prinsip higienis saat haid menghampiri di sekolah. (SUSANTI AGUSTINA S. /LITBANG KOMPAS)