Jaringan Pertemanan Penyebab Sikap Intoleran
Mengapa sikap intoleran yang seringkali diikuti oleh berbagai tindakan kekerasan muncul dalam kehidupan masyarakat? Berdasarkan hasil olahan data survei global, jaringan pertemanan religi (religious bonding) yang terbentuk menjadi penyebab signifikan. Dalam hal ini, semakin homogen jaringan pertemanan keagamaan yang dimiliki seseorang dalam dalam kehidupan bermasyarakatnya, maka semakin besar potensi intoleransi yang bakal terjadi.
Kesimpulan demikian merupakan salah satu temuan dari hasil analisis data survei Pew Research Center oleh Nathanael Gratias Sumaktoyo, postdoctoral fellow di Center for the Study of Religion and Society, University of Notre Dame, Amerika Serikat, yang didiskusikan di Saiful Mujani Reseach Center (SMRC), pertengahan Juli 2018 lalu.
Nathanael dalam diskusi tersebut terlebih dahulu menguraikan terjadinya jurang senjang toleransi (tolerance gap) yang terjadi di antara negara-negara di dunia, dengan variabel agama mayoritas yang dianut sebagai dasar pembeda.
Mengutip hasil survei Pew Research Center, bertajuk Social Restrictions of Religion dilakukan pada 198 negara (2014), berbagai sikap dan tindakan seperti permusuhan (hostility), hujat-menghujat (blasphemy), penyerangan (assault), penawanan (detention), hingga berbagai wujud kekerasan lainnya yang berlandaskan keagamaan cenderung berbeda derajatnya di antara negara-negara dengan penduduk mayoritas Islam dan bukan Islam.
Persoalannya, bagaimana menjelaskan adanya jurang toleransi yang berbeda pada kategorisasi negara tersebut?
Dalam kajian-kajian yang terkait dengan demokrasi, jurang perbedaan dapat dijelaskan dalam beberapa argumen popular. Setidaknya terdapat empat penjelasan, yaitu: faktor teologi, ketidakahadiran sekularisme, tidak adanya kebebasan kompetisi politik, dan rendahnya pembangunan ekonomi pada negara-negara tersebut.
Dalam aspek teologi, misalnya, sikap intoleran bukan menjadi suatu persoalan jika memang terakomodasikan dan dilegitimasikan dalam ajaran agama yang dianut. Hilangnya kebebasan dalam berkompetisi politik yang cenderung meniadakan perbedaan, menguatkan tindakan intoleransi. Begitu pula faktor-faktor lainnya. Tiap-tiap faktor tersebut secara tunggal ataupun bersama-sama dapat menjadi dasar argumen yang mampu menjelaskan sikap intoleransi yang terbangun.
Akan tetapi, Nathanael menampilkan sisi lain sebagai faktor penyebab. Kekuatan ikatan jaringan pertemanan menjadi variabel penyebab intoleransi. Argumentasinya, semakin rendah kadar toleransi dalam suatu negara ditengarai oleh semakin homogennya jaringan pertemanan yang berbasis keagamaan (religiously homogeneous friendship networks) yang terbentuk.
Membuktikan kekuatan argumentasinya, survei global “Pew’s 2013 The World’s Muslim Survey” yang dilakukan terhadap 17.000 responden di 17 negara-negara berpenduduk mayoritas Islam, termasuk Indonesia, dijadikan sandaran.
Derajat toleransi sebagai variabel akibat (variabel dependen) dirumuskan dalam beberapa indikator, antara lain “Persepsi terhadap kebebasan menjalankan ajaran agama”, “Sikap persetujuan terhadap kehidupan bersama antara umat beragama”, “Penerimaan terhadap perkawinan antaragama”, hingga “Persepsi-persepsi permusuhan atar umat beragama”.
Di sisi lain, “Ikatan keagamaan” (religious bonding) yang dielaborasikan sebagai derajat (jumlah) pertemanan sesama agama yang terjalin oleh setiap responden survei, ditempatkan sebagai variabel penyebab (variabel independen). Terdapat pula beragam variabel independen lainnya yang diikutkan, antara lain “Frekuensi Ibadah”, “Pendidikan”, “Usia”, “Jenis Kelamin (Perempuan)”, “Wilayah Pedesaan”, “Efikasi Politik”, “Kondisi Ekonomi Personal”, “Pilihan Demokrasi”, keyakinan “Islam True Faith”, dan derajat “Interfaith Activity” pada tiap-tiap responden.
Semua variabel yang tercermin dalam beragam indikator di atas diukur pada level individu. Sementara, pada level negara seperti “GDP per kapita”, “Persentase penduduk Muslim”, dan beberapa variabel lain juga diikutsertakan.
Hasil kajian menunjukkan, kausalitas antara intoleransi dan jaringan pertemanan signifikan terjadi dalam arah yang terbalik. Dalam hal ini, semakin homogen jaringan pertemanan keagamaan yang terbentuk maka justru semakin intoleran.
Sebenarnya, derajat toleransi yang ditunjukkan dalam survei ini tidak tunggal, semata-mata disebabkan oleh jaringan pertemanan. Analisis hasil survei menunjukkan, kadar toleransi juga dipengaruhi oleh beberapa variabel penyebab lainnya. Paling kuat pengaruhnya, variabel pandangan “Islam True Faith” yang juga berbanding terbalik dengan derajat toleransi. Sebaliknya, derajat “Interfaith Activity” yang dijalankan oleh tiap-tiap individu berbanding lurus. Artinya, semakin aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan antar-iman, maka semakin tinggi kadar toleransi individu tersebut.
Namun, temuan pengaruh jaringan pertemanan terhadap sikap intoleransi ini menarik, lantaran jaringan sosial menjadi semakin relevan saat ini. Terlebih kehidupan sosial kemasyarakatan belakangan ini yang menjadi semakin dinamis sejalan dengan kehadiran terknologi yang kian melintasi ruang dan waktu. Kecenderungan berinteraksi dalam kesamaan-kesamaan identitas semakin terasakan, sementara sejauh ini tidak banyak yang meneliti secara detil fenomena tersebut.
Selain temuan di atas, kajian Nathanael juga mengungkapkan kecenderungan jaringan pertemanan yang sama juga terjadi pada negara-negara yang mayoritas warganya selain agama Islam. Dengan menggunakan data survei di negara-negara mayoritas beragama Katolik di Amerika Latin, kecenderungan pertemanan berdasarkan ikatan keagamaan yang sama juga tergolong tinggi.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana dengan di Indonesia?
Temuan-temuan di atas terkonfirmasi dengan kondisi yang tengah berlangsung di negara ini. Potret pertemanan yang kini terbentuk pada tiap-tiap individu menunjukkan kecenderungan yang sama, semakin homogen.
Dengan menggunakan data hasil Survei SMRC, Oktober 2016, Nathanael menunjukkan bahwa lebih dari separuh (55 persen) responden di Indonesia membangun jaringan pertemanan semuanya dengan sesama agama (Grafik 1).
Grafik 1. Derajat Pertemanan Berdasarkan Kesamaan Agama
No | “How Many of Your Friends Are Muslim? | Proporsi (%) |
1 | None of Them | 6,5 |
2 | Few of Them | 2,8 |
3 | Some of Them | 6,8 |
4 | Most of Them | 27,1 |
5 | All of Them | 55 |
6 | Don’t Want to Answer | 1,7 |
Sumber: SMRC Survey Oct 2016 (Dikutip dari Materi Presentasi Faith and Friendship:Religiously Homogeneous Friendship and Religious Tolerance in Muslim-Majority Countries, Nathanael Gratias Sumaktoyo).
Data lain yang ditunjukkan terkait dengan pola interaksi yang terjadi di antara warga berlainan agama. Hasil survei SMRC yang dirujuk, dari sisi frekuensi interaksi menunjukkan hampir separuh responden mengaku jarang dan bahkan tidak pernah berinteraksi dengan kalangan di luar agamanya. Sebaliknya, jika dijumlah sebanyak 28,5 persen yang cukup sering ataupun secara regular berinteraksi (Grafik 2).
Grafik 2. Frekuensi Interaksi Warga dengan Berlainan Agama
No | Frekuensi of Interaction with Non-Muslim Neighbors | Proporsi (%) |
1 | Never | 15 |
2 | Seldom | 34 |
3 | Some of the Times | 23 |
4 | Quite Often | 25 |
5 | Regularly | 3,5 |
Sumber: SMRC Survey Oct 2016 (Dikutip dari Materi Presentasi Faith and Friendship:Religiously Homogeneous Friendship and Religious Tolerance in Muslim-Majority Countries, Nathanael Gratias Sumaktoyo).
Rangkuman data di atas, dapat diinterpretasikan beragam. Di satu sisi, temuan ini masih menyimpan fakta yang lebih optimistis. Masih dalam proporsi yang kecil (15 persen) warga yang membangun hubungan secara eksklusif, dengan menutup kemungkinan masuknya kalangan beragama selain dirinya.
Sekalipun diperluas, dengan yang kelompok yang “jarang” menjadi hampir separuh, masih dalam batas peluang yang sama besar. Besaran kuantitas (frekuensi) interaksi tidak selalu berkonsekuensi pada derajat kualitas hubungan.
Dapat saja di antara warga jarang berinteraksi dengan warga beragama lain disebabkan oleh kondisi yang tidak memungkinkan, di luar kehendak ataupun kesengajaannya. Namun di balik itu, sebenarnya terbangun derajat kualitas interaksi yang dalam.
Akan tetapi, data di atas dapat diinterpretasikan sebaliknya. Sudah sedemikian “jarang” dan bahkan tidak pernah warga berinteraksi dengan kelompok warga yang beragama lain.
Secara kualitatif, Nathanael sendiri mencoba mengamati dengan kecenderungan bertumbuhnya lingkungan eksklusif (gate communities) berdasarkan agama yang berimplikasi pada semakin homogennya interaksi sosial warga.
Selain itu, ia juga melakukan studi kuantitatif eksperimental terhadap 1.047 warga Muslim di DKI Jakarta. Salah satu hasil kajian tersebut menguatkan argumentasinya bahwa interaksi warga dengan identitas agama yang berbeda mempengaruhi sikap toleransi yang terbangun.
Sebagai implikasinya, ia merekomendasikan kini tidak lagi cukup pandangan-pandangan religious moderat yang perlu banyak dikenalkan dalam memupuk toleransi. Ikatan-ikatan dan interaksi sosial kini menjadi persoalan krusial yang membutuhkan lebih banyak intervensi-intervensi sosial.
Kajian ini membuka ruang lebih jauh terhadap faktor lain yang membentuk semakin homogennya jaringan pertemanan tiap-tiap individu. Sebagai contoh, selain semakin eksklusifnya lokasi pemukiman sebagai domisili, kecenderungan semakin ekslusifnya sekolah sebagai basis pendidikan juga menarik dicermati. Peningkatan jumlah beragam sekolah formal dengan berlabel agama menjadi fenomena kekinian.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, jika tahun 2005/2006 terdapat 4.918 sekolah dalam kelolaan Kementerian Agama, maka tahun 2015/2016 meningkat pesat menjadi 7.843, yang paralel diikuti peningkatan murid dan guru. Jumlah tersebut belum termasuk sekolah-sekolah umum yang berlabelkan keagamaan dalam kelolaan Kementerian Pendidikan, yang jumlahnya kian bertambah.
Dengan kondisi demikian, ruang pertautan plural menjadi semakin menyempit dan tanpa tersadari toleransi perbedaan menjadi semakin langka. (BESTIAN NAINGGOLAN/LITBANG KOMPAS)