Semakin dekatnya batas akhir waktu pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden membuat peta pergerakan koalisi partai tidak semakin mengerucut, tetapi justru makin melebar. Jika selama ini publik selalu disuguhi dua poros, antara poros Joko Widodo dan poros Prabowo Subianto, kini wacana poros ketiga atau poros tengah di antara keduanya justru mulai muncul.
Potensi munculnya poros ketiga atau poros tengah di antara dua poros yang sudah ada tersebut tidak lepas dari dinamika yang terjadi dalam poros Jokowi dan poros Prabowo. Di dalam poros Jokowi, keberadaan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang tetap berharap ketua umumnya, Muhaimin Iskandar, dipilih sebagai calon wakil presiden (cawapres) tensinya cenderung tinggi dibandingkan Partai Golkar dan PPP yang berharap sama.
Sinyal lebih kencangnya PKB berharap menjadi cawapres ini sebenarnya sudah diungkapkan saat Muhamin Iskandar menyatakan akan membentuk poros baru jika dirinya tidak dipilih menjadi cawapres. Gertakan politik PKB ini kemudian sedikit meredup dengan pernyataan Presiden Jokowi saat meninjau kesiapan Asian Games di Palembang yang didampingi Muhaimin Iskandar. Saat itu Jokowi menyatakan, nama Muhaimin menjadi salah satu nama cawapres yang ada di kantongnya.
Nama Muhaimin tidak saja diusung PKB, tetapi juga didukung Nahdlatul Ulama (NU). Belakangan, Pengurus Besar NU menyampaikan pesan kepada Presiden Joko Widodo terkait hasil pertemuan tertutup yang dilakukan para kiai. Hasil pertemuan ini menyebut aspirasi para kiai dari pesantren seluruh Indonesia yang mengusulkan kader NU, Muhaimin Iskandar, menjadi pendamping Jokowi (Kompas, 6/8/2018).
Gejala pilihan Jokowi yang cenderung memilih tidak berasal dari partai politik pengusungnya menjadikan sinyal dan harapan Muhaimin terpilih sebagai cawapres di kubu Jokowi semakin meredup. Inilah yang kemudian menjadi pintu bagi PKB untuk memikirkan poros baru.
Lalu, bersama partai apa jika wacana ini benar-benar diwujudkan? Mau tidak mau juga berharap dari partai-partai politik yang memiliki potensi yang sama dengan PKB dalam koalisi yang dibangunnya. Setidaknya dengan memiliki 47 kursi (8,4 persen) di DPR, PKB membutuhkan koalisi dengan partai politik lain untuk mencapai syarat 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional di pemilu sebelumnya.
Peluang PKB berkoalisi ada dari PAN dan PKS. Dua partai yang sebelumnya digadang-gadang dalam koalisi poros Prabowo ini belakangan cenderung menunjukkan sinyal ketidakpastian untuk bergabung bersama poros Prabowo.
Ketidakpastian itu terjadi sejak Partai Demokrat memutuskan mendukung Prabowo sebagai calon presiden (capres). Banyak pihak menilai keputusan Demokrat dan SBY ini tidak lain sebagai strategi menempatkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai cawapres mendampingi Prabowo. Sejumlah hasil survei menempatkan AHY sebagai sosok cawapres meskipun elektabilitasnya masih jauh dari nama-nama yang beredar selama ini.
Kondisi inilah yang kemudian membuat PKS sekaligus PAN belum memastikan kepada poros mana mereka akan berlabuh. Masuknya Partai Demokrat dalam poros Prabowo mau tidak mau akan mengurangi peluang kader PKS menjadi cawapres mendampingi Prabowo.
Apalagi, dalam Ijtima Ulama yang digelar Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama (GNPF) merekomendasikan Prabowo untuk berpasangan dengan Salim Segaf Al’Jufri atau ustaz Abdul Somad di Pilpres 2019. Salim Segaf Al’Jufri adalah Ketua Majelis Syuro PKS. Sementara PAN sendiri akan mengambil sikap setelah Rapat Kerja Nasional yang digelar sebelum masa akhir pendaftaran pasangan calon presiden-wakil presiden.
Poros Tengah
Potensi poros tengah sebenarnya bisa dibangun oleh PKB, PAN, dan PKS. Ketiga partai ini memiliki akumulasi jumlah kursi yang memenuhi syarat minimal pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Jika diakumulasikan, ketiga partai ini memiliki 135 kursi atau 24,2 persen dari total kursi DPR di periode sebelumnya. Jumlah ini cukup memenuhi syarat untuk membangun kekuatan poros tengah.
Kenapa poros tengah penting? Salah satunya dan paling krusial adalah untuk memecah persaingan dan ketegangan dua kubu yang sejak Pemilu 2014 masih tersisa aroma persaingannya. Ketegangan antara dua kubu, poros Jokowi dan poros Prabowo ini diyakini akan semakin memanas menjelang sampai tahun depan. Kehadiran poros tengah bisa menjadi alternatif untuk memecah ketegangan tersebut.
Hal ini tidak jauh berbeda dengan fenomena pemilihan presiden tahun 1999 ketika terjadi persaingan yang ketat antara pendukung Megawati dan BJ Habibie. Saat itulah kemudian gerakan poros tengah menyepakati mengusung Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden.
Dari 691 anggota MPR yang menggunakan hak pilihnya, Abdurrahman Wahid meraih 373 suara, mengalahkan Megawati 313 suara, dan 5 suara abstain.
Boleh jadi konfigurasi politik era 1999 dan saat ini jauh berbeda, namun jika melihat potensi ketegangan antara dua poros, belajar dari pengalaman Pemilihan Presiden 2014, poros tengah rasanya perlu dikuatkan gaungnya.
Apalagi merujuk hasil jajak pendapat Kompas, sebanyak 70,6 persen publik menginginkan ada tiga pasangan calon dalam pemilihan presiden tahun depan untuk menghindari ketegangan antara dua kubu yang selama ini menghiasi panggung politik nasional (Kompas, 16/8/2018).
Tentu saja, selain kepentingan memecah ketegangan, poros tengah juga tetap memiliki peluang untuk mendulang suara di pemilihan presiden tahun depan. Faktor sosok tetap menjadi pengaruh yang kuat untuk mencuri perhatian publik. Figur Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar tentu lebih berpeluang untuk maju, baik sebagai calon presiden maupun sebagai calon wakil presiden dalam poros ketiga atau poros tengah ini.
Semua peluang lahirnya poros ketiga ini akan ditentukan oleh kondisi di masing-masing poros yang sudah ada sejauh ini. Secara umum poros ketiga sulit untuk terwujud jika partai-partai politik pengusung di poros Jokowi legowo tidak dipilih sebagai calon wakil presiden Jokowi, terutama PKB yang selama ini gencar mengkampanyekan sosok Muhaimin Iskandar sebagai cawapres.
Poros ketiga juga tertutup peluangnya jika kemudian partai-partai di poros Prabowo, terutama yang selama ini dekat, yakni PKS dan PAN benar-benar bisa menerima kehadiran Demokrat dalam poros mereka dan legowo kehilangan peluang mendudukkan kadernya sebagai cawapres, terutama bagi PKS dimana kadernya, Salim Segaf Al-Jufri, diusulkan atas rekomendasi ijtima ulama menjadi cawapres untuk Prabowo.
Namun, jika "kelegowoan" itu tidak terjadi, poros tengah menjadi alternatif, bahkan bisa jadi sebagai kunci untuk memecah kebuntuan dan ketegangan politik yang selama ini terjadi. Apalagi jika kemudian mengusung sosok yang penuh kejutan. Jadi, mari kita tunggu saja sampai 10 Agustus nanti! (YOHAN WAHYU/LITBANG KOMPAS)