Tradisi Melawan Kemenangan di Sampang
Kabupaten Sampang di Pulau Madura, Jawa Timur, merupakan salah satu relung politik yang banyak mengguratkan warna kontestasi keras dalam perjalanan politik Indonesia.
Wilayah ini kerap kali menyisakan pertarungan susulan, membuat sebuah kemenangan tak berlangsung mudah. Hari ini pun lintasan sejarah politik Sampang kembali ke titik ulang.
Mahkamah Konstitusi ( MK) kembali dipaksa menggelar sidang perkara perselisihan hasil pemilihan (PHP) kepala daerah, Jumat (27/7/2018). Salah satu perkara yang diajukan gugatannya adalah Pilkada Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur.
Permohonan gugatan diajukan oleh pasangan calon Hermanto Subaidi-Suparto. Permohonan gugatan tersebut terdaftar dengan nomor perkara 38/PHP.BUP-XVI/2018.
Penggugat menengarai banyak terjadi kecurangan dalam pelaksanaan Pilkada Sampang, baik dalam tahapan maupan pada saat menjelang pencoblosan. Di antaranya terjadi di Kecamatan Omben, Kedungdung, Torjun, dan Ketapang.
Di Ketapang misalnya, pihak penggugat menyoroti kejanggalan berupa partisipasi pemilih yang mencapai 100 persen. Menurut kuasa hukum pasangan tersebut, pemungutan suara tidak dilaksanakan sesuai peraturan.
Ada pemilih yang tidak diberikan kartu undangan memilih atau form C6, ada penggandaan daftar pemilih tetap (DPT), dan terdapat tendensi KPUD dan panitia pengawas menunjukkan keberpihakan terhadap pasangan calon nomor 1, yaitu Slamet Junaidi-Abdullah Hidayat.
Konflik politik yang harus diputuskan oleh MK tak hanya terjadi kali ini. Sidang perkara perselisihan hasil pilkada seolah sudah menjadi tradisi yang melekat dengan proses politik dan peralihan kekuasaan di Kabupaten Sampang.
Kecurangan selalu menjadi tema utama yang mengemuka dari tiap pentas politik di wilayah ini. Dalam pelaksanaan pilkada 2018 lalu, Sampang termasuk wilayah dengan katagori rawan kecurangan pemilu.
Sebelum pilkada kemarin berlangsung, Bawaslu Jatim melansir data kerawanan 160 TPS di Kabupaten Sampang yang terindikasi memiliki kecenderungan akan terjadi praktik mempengaruhi pemilih untuk memilih atau tidak memilih calon tetentu berdasarkan Agama, Suku, Ras, dan Golongan (SARA).
Kecurangan selalu menjadi tema utama dari setiap pentas politik Sampang.
Selain itu, juga terindikasi 48 TPS yang punya kecenderungan menjalankan praktik menghina di antara sesama pemilih terkait isu tersebut. Pada variabel integritas penyelenggara, di Jawa Timur tercatat tingkat kerawanan tinggi di Kabupaten Sampang (dan Kabupaten Madiun) dengan nilai 3,0.
Di Kabupaten Sampang pada penyelenggaraan Pemilu 2014, ada satu putusan pemberhentian tetap terhadap KPU Sampang oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Selain itu, variabel kekerabatan juga menduduki tingkat kerawanan tinggi dengan nilai 3,0 di Sampang, demikian juga dengan variabel kontrol masyarakat.
Sejumlah kerawanan itu memang kemudian seolah menemukan momentumnya usai pengumuman hasil pilkada. Unjuk rasa oleh pendukung pasangan calon Hermanto Subaidi-Suparto di kantor panwas setempat berakhir ricuh, Senin (9/7/2018).
Ribuan orang mendatangi kantor Panwaslu dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sampang, menuntut pelaksanaan pilkada ulang dari hasil pilkada 27 Juni 2018. Mereka memadati jalan raya di Kota Sampang, mengakibatkan arus lalu lintas penghubung empat kabupaten di Pulau Madura itu lumpuh total.
Hasil Rekapitulasi
Hasil rekapitulasi KPU Sampang menyebutkan, pasangan Slamet Junaidi-Abdullah Hidayat (Jihad) unggul dengan meraih suara 257.121 atau 38,04 persen, menang tipis atas pasangan Hermanto Subaidi-Suparto (Mantap) yang memperoleh dukungan 252.676 suara atau 37,39 persen. Kemudian, pasangan nomor urut 3 yakni Hisan dan Abdullah Mansyur (Hisbullah) meraih dukungan 166.059 suara atau 24,57 persen.
Hasil rekapitulasi perolehan suara itu hanya ditandatangani oleh saksi dari dua pasang calon, yakni Hisbullah dan Jihad. Sedangkan saksi dari pasangan Mantap menolak menandatangani. Dengan tipisnya jarak kemenangan Jihad atas Mantap, hanya selisih 4.445 suara atau 0,66 persen, maka terbuka peluang terjadinya gugatan ke MK.
Hasil rekapitulasi suara pilkada Kabupaten Sampang memang menunjukkan kerawanan perselisihan, karena selain perbedaan suara sangat tipis, dari segi penguasaan wilayah pada dua pasang kandidat juga nyaris seimbang.
Bahkan, pasangan Mantap mendapat kemenangan yang lebih banyak, yaitu menang di tujuh kecamatan. Kecamatan-kecamatan itu adalah Jrengik, Sreseh, Tambelangan, Karang Penang, Banyuates, Robatal, dan Omben.
Sementara, pemenang pilkada, Jihad, hanya menguasai suara di enam wilayah kecamatan, yaitu Pangarengan, Torjun, Camplong, Kedungdung, dan Ketapang. Adapun pasangan Hisbullah hanya menang di Kecamatan Sampang.
Tradisi Menggugat
Sampang adalah salah satu kabupaten di Madura yang acapkali bermasalah dalam setiap kali pelaksanaan pemilihan umum. Kecurangan pemilu di Sampang memiliki akar sejarah yang tidak pendek. Setidaknya terdapat sejumlah peristiwa politik terkait pemilu di Sampang yang bisa dirujuk sejak tahun 1997, ketika pemilu terakhir Orde Baru.
Dalam Pemilu 1997, satu-satunya daerah tingkat II di Indonesia yang melakukan pemilu ulang adalah kabupaten Sampang. Praktik-praktik rekayasa dan manipulasi suara oleh penguasa untuk memenangkan Golkar dilakukan oleh panitia pelaksana pemilu di beberapa TPS dan PPS di seluruh kecamatan Kabupaten Sampang kala itu.
Praktik-praktik seperti mencoblos surat suara oleh petugas, banyaknya warga yang tidak didaftar sebagai pemilih, dan tidak diberikannya form CA/CA-1 ke saksi-saksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) telah memicu kemarahan sebagian besar kyai dan masyarakat Sampang.
Praktik kecurangan pemilu sudah berlangsung di Sampang sejak lama.
Situasi ini menyulut kerusuhan massal pada tanggal 29 Mei 1997. Massa yang marah di kota maupun desa membakar kotak suara dan tempat-tempat lainnya untuk menuntut pemilu ulang di Sampang. Kerusuhan ini menyebabkan banyak korban luka dan meninggal. Pemilu ulang pada akhirnya digelar pada 4 Juni 1997.
Kemudian, dalam Pemilu 2004, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) melaporkan adanya penggelembungan suara di Kabupaten Sampang. Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian memerintahkan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Sampang melakukan pengecekan ulang terhadap sertifikat penghitungan suara.
Penghitungan ulang pun dilakukan terhadap enam kecamatan di Sampang, yaitu Robatal, Sampang (TPS khusus di Gunung Maddah), Kedungdung, Banyuates, Sokobanah, dan Ketapang. Kotak suara dibawa dari Madura ke Jakarta untuk dihitung ulang. Hasilnya, isi kotak suara tidak utuh, separuhnya hilang.
Praktik kecurangan juga mencuat saat pelaksanaan Pemilihan Gubernur Jawa Timur tahun 2008. Di Sampang (dan Bangkalan) pemilihan gubernur sampai berlangsung tiga putaran karena adanya sengketa pilkada terkait indikasi kecurangan.
Sengketa pilkada ini diputuskan oleh MK. Putusan MK Nomor 41/PHPU-D-VI/2008 menyatakan bahwa terjadi bentuk pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan massif dalam pilkada gubernur di Kabupaten Sampang.
Pihak cagub-cawagub Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono (Kaji) menemukan adanya penggelembungan suara di Sampang (dan Bangkalan serta Pamekasan) untuk kemenangan Soekarwo – Saifullah Yusuf (Karsa).
Saat itu selisih suara antara kedua pasangan di seluruh Jatim relatif sangat tipis, hanya 60.223 (0,40 %) suara bagi kemenangan pasangan Karsa. Kaji memperoleh sejumlah 7.669.721 suara (49,80 persen) dan Karsa 7.729.994 suara (50,20 persen). Di Sampang, Kaji memperoleh 181.698 (43,03 persen) suara dan Karsa 240.552 suara (56,97 persen).
Dalam kesaksiannya, Abdul Wasik (Ketua Tim Sukses Kaji di Kabupaten Sampang) menyampaikan beberapa pelanggaran, di antaranya, banyak teman-teman muslimat NU (pendukung Khofifah) dan masyarakat yang tidak mendapat kartu undangan untuk memilih dan sekitar 90 persen saksi-saksi Kaji di TPS tidak pernah diberi salinan formulir C1 tanpa alasan, padahal saksi hadir. Selama proses penghitungan manual di KPU, saksi juga tidak diundang secara kelembagaan oleh KPU.
Saksi lainnya, Saidi Rahmat menuturkan bahwa di TPS 3 Kecamatan Karang Penang, Kabupaten Sampang, kartu undangan banyak yang tidak diedarkan oleh KPPS. Termasuk undangan untuk saksi, sehingga tidak mencoblos.
Di Kecamatan Karang Penang, menurutnya, pemilih yang hadir di TPS sejumlah 30 persen, tetapi surat suara tercoblos sebanyak 95 persen. Dan, Saksi Muyes Saroh (Korcam di Kecamatan Burneh) melaporkan adanya perbedaan hasil perolehan suara antara form C-1 saksi Kaji dengan form C-1 versi PPS.
Di TPS 1 Desa Alas Kembang misalnya, Kaji memperoleh 440 suara dan Karsa memperoleh 48 suara. Tetapi rekapitulasi PPK menunjukkan perolehan Kaji menjadi 84 suara, sedangkan Karsa 440 suara.
Di TPS 3 Desa Alas Kembang, hasil suara Kaji adalah 41 suara, dan Karsa 39 memperoleh 442 suara, tetapi rekapitulasi PPK menunjukkan perolehan Kaji tetap 41 suara, sedangkan Karsa memperoleh 483 suara.
Selain itu, saksi Dahrul Ulum (Ketua TPS 7 Alas Kembang) menuturkan terjadinya intimidasi oleh aparat desa di TPS tujuh, Desa Alas Kembang, Kecamatan Burne. Beberapa saksi Kaji juga diancam akan dibunuh di Desa Omben, Kecamatan Omben.
Dalam putusannya, MK menyebutkan bahwa bukti-bukti surat dan keterangan saksi-saksi yang diajukan oleh Pemohon tersebut tidak dapat terbantahkan kebenarannya.
Keterangan 125 saksi yang diajukan oleh termohon mengenai sejumlah pelanggaran, seperti Kontrak Program bertanggal Surabaya, 15 Juni 2008, yang berisi perjanjian antara Sukarwo sebagai Calon Gubernur dan Moch Moezamil, Sekjen Asosiasi Kepala Desa Jawa Timur.
Perjanjian itu berisi nilai uang yang disepakati antarkeduanya, bahwa Calon Gubernur akan memberi bantuan kepada Pemerintah Desa mulai dari Rp 50.000.000,- sampai dengan Rp 150.000.000,- berdasarkan jumlah pemilih yang memilih pasangan Karsa.
Calon Gubernur Sukarwo juga menjanjikan bantuan pemberdayaan desa, dana stimulan, dan pengembangan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), serta alokasi dana pada pos Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
Semuanya untuk peningkatan kesejahteraan Kepala Desa dan Perangkat Desa dalam bentuk Tunjangan Pendapatan Aparat Pemerintah Desa (TPAPD). Meskipun kontrak program tersebut dibuat bertanggal 15 Juni 2008, implikasinya dinilai tetap berlangsung pada Pemilukada Provinsi Jawa Timur Putaran II.
Selain itu MK juga tak membatah kebenaran fakta adanya surat pernyataan dari 23 Kepala Desa di Kecamatan Klampis tentang kesiapan mendukung dan memenangkan pasangan Karsa dalam Pilkada Provinsi Jawa Timur Putaran II.
MK juga menyatakan keterangan dari Hamid dan Baidhowi tentang kecurangan yang terjadi karena anggota KPPS melakukan sendiri pencoblosan terhadap surat-surat suara yang tidak terpakai, sebagai keterangan yang tak terbantahkan.
Atas dasar itu, MK memerintahkan KPU Provinsi Jawa Timur untuk melaksanakan pemungutan suara ulang Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur Putaran II di Kabupaten Sampang (dan Kabupaten Bangkalan).
Kecurangan dalam pemilu tak berhenti sampai di situ. Setahun kemudian, pada pelaksanaan Pemilu Legislatif tahun 2009, mencuat kasus penggelembungan suara DPD.
Adalah Abdul Jalil Latuconsina, salah seorang kontestan yang menggugat perolehan tidak wajar calon lainnya yakni Haruna Soemitro yang memperoleh 119.000 suara dan Badruttamam yang memperoleh 135.448 suara di Kabupaten Sampang sedangkan di daerah lainnya mereka hanya mampu mengumpulkan 3.000 an suara.
Diduga Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) memainkan peranan penting terhadap penggelembungan suara keduanya.
Latuconsina menunjukkan adanya pesan singkat (sms) yang ditengarai dari anggota PPK Kabupaten Sampang kepadanya yang meminta uang sebesar 15 Juta guna menambah suara. Tuntutan itu akhirnya kandas di MK. Praktik-praktik manipulasi suara di Sampang pun terus berlanjut.
Di tahun 2013, saat pelaksanaan Pilgub Jatim, Tim pasangan Khofifah Indar Paranwasa - Herman (Berkah) menemukan kecurangan tidak disebarkannya undangan pada pemilih secara merata terutama di kantong-kantong pendukung pasangan ini.
Di salah satu desa di Kabupaten Sampang, Tim Berkah menemukan tidak disebarnya undangan sebanyak 12.000 kepada pemilih. Di samping itu, indikasi kecurangan juga didapat dari temuan perolehan suara nol untuk pasangan ini di sejumlah desa di Kabupaten Sampang.
Konflik terkait perolehan suara tidak hanya terjadi pada level pemilihan gubernur, tetapi juga pada tingkat pemilihan bupati. Selain gugatan yang saat ini sedang berlangsung ke MK, pada Pilkada 2012 juga terjadi konflik serupa.
Paslon Khofifah Indar Parawansa -Herman memperoleh suara nol.
Ketika itu, pasangan Hermanto Subaidi - Djafar Shodiq menggugat perolehan suara ke MK. Mereka mempersoalkan pembukaan 80 kotak suara oleh KPU Sampang secara sepihak tanpa sepengetahuan timnya.
Selain itu, juga ditemui pelanggaran berupa pencoblosan lebih dari satu kali. Pelanggaran ini dilakukan oleh tim pasangan lain setelah pemilih pendukung Hermanto-Djafar dicegat agar tidak mencoblos ke TPS.
Selain itu, penutupan TPS juga dilakukan sebelum waktunya, yakni sebelum pukul 10.00 WIB, padahal dalam jadwalnya pukul 13.00 WIB. Mereka juga mencurigai adanya politik uang yang dilakukan salah satu pasangan calon saat pemungutan suara.
Pilkada Kabupaten Sampang 2012 diikuti enam pasangan calon. KPU menetapkan Fanna Hasib-Fadhillah Boediono sebagai pemenang dengan raihan 163.483 suara atau 31,44 persen. Kemudian diikuti pasangan Hermanto-Djafar dengan 160.899 suara atau 30,94 persen, pasangan Noer Tjahja-Heri Purnomo dengan 88.044 suara atau 16,93 persen.
Selanjutnya, pasangan Haryono-Hamiduddin dengan 87.438 suara atau 16,81 persen, pasangan Yahya-Faidhol dengan 15.936 suara atau 3,06 persen dan terakhir pasangan Faishol-Triyadi dengan 4.249 suara atau 0,82 persen.
Dengan bekal selisih 2.584 suara atau 0,5 persen, pasangan Hermanto-Djafar menggugat hasil pilkada ke MK. Namun, gugatan itu pada akhirnya ditolak oleh MK karena kurangnya alat bukti, meskipun praktik politik uang yang dilakukan oleh pasangan Fannan Hasib dan Fadhillah Budiono, menurut Mahkamah memang terungkap dalam persidangan. Namun, Mahkamah berpendapat, hal ini tidak terbukti mempengaruhi perolehan suara antara pemohon dengan pihak terkait.
Konflik perselisihan hasil pemungutan suara kembali terjadi. Pada Pemilu Legislatif 2014, penghitungan suara ulang terpaksa dilakukan di sembilan desa di Kecamatan Kedungdung, Sampang.
Penghitungan ini berlangsung ricuh, karena para saksi dari beberapa partai politik menggelar protes menyusul banyaknya kotak suara yang tidak tersegel.
Penghitungan ulang yang digelar oleh KPU Sampang di sembilan desa ini sebagai bentuk pelaksanaan atas keputusan MK Nomor: 01-01-16/PHPU-DPR-DPRD/XII/2014 yang memerintah agar KPU melakukan penghitungan karena ditemukan adanya bukti-bukti penyimpangan.
Terdapat 156 kotak suara di sembilan desa di Kecamatan Kedungdung yang melakukan penghitungan suara ulang. Selain itu, pemungutan suara ulang juga terpaksa dilakukan di 19 TPS di Dua Kecamatan yakni Kecamatan Robatal dan Ketapang setelah hasil investigasi Bawaslu menemukan sejumlah kejanggalan.
Tak hanya di Pemilu Legislatif, pada Pemilu Presiden 2014 KPU Sampang juga terpaksa melakukan hitung ulang perolehan suara di delapan TPS di Kecamatan Ketapang dan Banyuates.
Hitung ulang ini berdasarkan hasil rekomendasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jatim ke KPU Jatim karena ditemukan adanya indikasi pelanggaran dalam pelaksanaan pemungutan suara pilpres 9 Juli 2014.
Perolehan Suara Jokowi-Jusuf Kalla, Nol.
Sebelumnya, tim pemenangan Joko Widodo-Jusuf Kalla juga melaporkan adanya 17 TPS di Kecamatan Ketapang yang diduga bermasalah, yakni TPS 1 hingga TPS 17 di Desa Ketapang Barat, Kecamatan Ketapang. Ke-17 TPS tersebut diketahui semua pemilihnya mencoblos Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan tidak satu pun yang mencoblos Jokowi-JK.
Total perolehan suara Prabowo Subianto-Hatta Rajasa di 17 TPS ini adalah 7.134 suara, sedangkan perolehan suara Jokowi-Jusuf Kalla nol. Pemungutan suara ulang pun kemudian dilakukan di 17 TPS tersebut.
Gugatan 2018
Gugatan terhadap hasil Pilkada Kabupaten Sampang 2018 telah mulai di sidangkan. Tuntutan tim pemenangan pasangan calon Hermanto Subaidi-Suparto ini meliputi gugatan terhadap hasil di 27 TPS yang tersebar 5 kecamatan.
Dalam laporan perkara itu, tim pemenangan mereka menyertakan bukti-bukti kecurangan dalam proses penghitungan suara dan pencoblosan. Di antaranya, bukt-bukti kecurangan yang terjadi di beberapa TPS Desa Ketapang Timur, Desa Nipah di Banyuates, Desa Patarongan di Torjun, Desa Pamolaan di Camplong, serta Desa Angsokah dan Desa Temoran di Omben.
Sebagai alat bukti, mereka menyertakan 53 keping CD berbentuk video, 27 berbentuk dokumentasi foto, dokumen C6 yang terpakai sebelum pemungutan suara, dan 137 saksi dari sejumlah TPS serta berkas pendukung lainnya.
Akankah putusan MK berujung pada terjadinya pemungutan suara ulang, ataukah gugatan itu bakal kandas dengan alasan kurang bukti, keduanya memiliki rujukan dalam sejarah pemilu Sampang. (BAMBANG SETIAWAN/LITBANG KOMPAS)