Aksi pembunuhan terhadap perempuan menjadi salah satu bentuk kekerasan yang menghantui negeri ini. Sebagian besar pembunuhan dilakukan dalam relasi intim. Data yang memadai dibutuhkan untuk memahami femisida demi pencegahan yang tepat.
World Health Organization mengakui sulitnya menghimpun data pembunuhan perempuan dari kepolisian dan petugas kesehatan. Minimnya data untuk memahami penghilangan nyawa perempuan berhubungan dengan identitas gendernya (femisida) di Indonesia mendorong lahirnya gerakan “Menghitung Pembunuhan Perempuan” (MPP) yang digagas oleh seorang aktivis perempuan dari Jakarta Feminist Discussion Group bernama Kate Walton. Ia terinspirasi dari gerakan Counting Dead Women di Australia ketika kesulitan mendapat data dan informasi tentang kondisi kekerasan perempuan di Indonesia.
Di negeri kangguru tersebut gerakan ini dipimpin oleh kelompok aktivis Destroy The Joint. Kegiatannya adalah mengumpulkan data dari korban dan memublikasikannya di laman Facebook Destroy The Joint untuk dimanfaatkan bagi media Australia. Selain itu, media sosial ini juga berguna bagi perempuan yang ingin mendapat informasi seputar kekerasan perempuan. Gerakan ini mampu meningkatkan kepedulian yang signifikan terhadap kekerasan domestik. Dikutip dari laman University of Technology Sydney, beragam kampanye yang dikeluarkan oleh Counting Dead Women mampu mengubah hukum dan kebijakan untuk menjamin perempuan memiliki hak dan perlindungan.
Di Indonesia sendiri gerakan MPP dimulai tahun 2016 dengan tujuan untuk menggali situasi kekerasan terhadap perempuan agar bisa mencari cara yang tepat untuk menyelesaikan dan menghapusnya. Meski Komnas Perempuan setiap tahun telah mengeluarkan catatan tahunan, namun data ini dirasa belum cukup untuk memahami akar dari kekerasan terhadap perempuan. Metode yang digunakan oleh MPP adalah melalui pencarian berita dalam jaringan (daring) dan tautannya diunggah di akun Facebook “Menghitung Pembunuhan Perempuan”.
Laporan MPP tahun 2016 menunjukkan terdapat 193 kasus pembunuhan perempuan yang terjadi di Indonesia, sekitar 18 persen korban berusia 18 tahun ke bawah. Sedangkan penelusuran sepanjang tahun 2017, MPP menemukan 168 pembunuhan perempuan dengan pola yang sama seperti di tahun 2016 yakni separuh pelakunya adalah pasangan intim.
Dalam laporan MPP diketahui rasio perempuan dibunuh adalah 0,32 jika dihitung per 100.000 jumlah penduduk perempuan di Indonesia. Sebenarnya angka ini tergolong kecil jika dibandingkan dengan negara lain seperti Amerika yang tahun 2015 mencapai 1,12 kematian per 100.000 perempuan menurut When Men Murder Women Report 2015. Akan tetapi, jumlah kasus pembunuhan yang berhasil dihimpun oleh MPP tidak mencerminkan realita di lapangan. Masih banyak yang tidak terungkap apalagi diberitakan oleh media massa.
Relasi Intim
Menurut Majelis Umum Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, femisida adalah pembunuhan terencana kepada perempuan yang disebabkan oleh kebencian, dendam, dan perasaan bahwa seseorang (biasanya lelaki) menganggap perempuan sebagai sebuah kepemilikan sehingga dapat berbuat sesuka mereka. Inilah yang membuat femisida berbeda dengan pembunuhan biasa.
Penekanan femisida terletak pada ketidaksetaraan gender dan kekerasan. Budaya patriarki yang memandang lelaki memiliki kedudukan yang lebih tinggi juga berpengaruh dalam aksi femisida. Menurut World Health Organization, femisida oleh rekan intim tidak hanya menjadi jenis femisida yang paling ekstrim, namun juga memiliki dampak yang paling kuat dan berkepanjangan.
Rekan intim ini termasuk suami, pacar, atau mantan suami dan pacar, serta pembeli seks. Jika ditelisik lebih jauh, berdasarkan laporan MPP 2017 sebanyak 26 persen kasus pembunuhan dilakukan oleh pacar. Kate Walton menyatakan angka ini menunjukkan kekerasan dalam pacaran juga menjadi masalah penting di samping kekerasan domestik. Angka tersebut sejalan dengan persentase di negara-negara lain yang memiliki statistik pembunuhan perempuan, yaitu 50 persen pelaku adalah pasangan intim.
Sejalan dengan itu, WHO melaporkan lebih dari 35 persen femisida dilakukan oleh rekan intim. Kate menambahkan, hal yang harus digarisbawahi bukan status pacaran, akan tetapi laki-laki yang tidak memahami cara menghormati perempuan sebagai pasangannya. Penghapusan pacaran dianggap tidak akan menyelesaikan masalah karena hanya mendorong ke dalam ranah pernikahan sedangkan masalah kekerasan tetap akan ada.
Motif terbesar yang mendasari pembunuhan, tertinggi karena percekcokan (22 persen) dan di urutan kedua adalah cemburu (19,75 persen). Kate menekankan motif tersebut sangat berbahaya karena laki-laki merasa berhak menghilangkan nyawa perempuan hanya karena cemburu.
Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan 2017 menilai terungkapnya kasus femisida oleh rekan intim sebagai indikasi memburuknya kekerasan dalam rumah tangga. KDRT ditengarai semakin parah karena poligami yang kian terbuka dan mudahnya perkawinan anak. Negara dan masyarakat memiliki andil besar dalam hal ini. Lebih jauh, Komnas Perempuan menilai negara melalui aparat hukumnya senantiasa mengutamakan mediasi, sedangkan publik kerapkali melakukan penghakiman sosial kepada korban dan bukannya pelaku.
Salah satu kasus femisida yang menggemparkan tahun 2017 adalah adalah penembakan dokter Lety Sultri (46) oleh suaminya sendiri karena kesal atas gugatan cerai yang dilayangkan. Pelaku telah bertahun-tahun melakukan KDRT kepada korban (Kompas 14/11/17)
WHO menyebutkan terdapat lima pendekatan untuk menghentikan femisida, Pertama, memperkuat pengumpulan data dan analisis kematian. Kedua, melatih kepekaan petugas kesehatan dan kepolisian. Ketiga, meningkatkan pencegahan dan riset mengenai pelaku. Keempat, mengurangi kepemilikan senjata api, dan terakhir adalah memperkuat hukum dan kepedulian tentang pembunuhan atas nama kehormatan.
Meski terbilang rendah jika dibanding negara lainnya, jumlah pembunuhan perempuan di Indonesia tetap tergolong mengkhawatirkan. Negara berperan besar untuk menjamin hak hidup setiap warganya, apalagi perempuan. Kita juga memiliki peran untuk menyebarkan pemahaman kesetaraan jender sebagai akar femisida. (Litbang “Kompas”/Ida Ayu Grhamtika Saitya)