Perlawanan Erdogan dan Rasisme Trump
Dua sosok presiden menjadi fokus ulasan tiga koran ternama di Amerika Serikat edisi 15 Agustus 2018, yaitu The New York Times, The Washington Post, dan The Wall Street Journal. Kedua presiden adalah Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Presiden AS Donald Trump.
Perbedaannya, dua presiden ini disorot dalam dua isu yang berbeda. Isu pertama adalah lanjutan perseteruan perang tarif impor barang antara AS dan Turki, sedangkan isu lainnya adalah pernyataan bernada rasis Donald Trump terhadap mantan ajudannya.
Surat kabar The Wall Street Journal menampilkan kembali respons keras Erdogan pascakrisis mata uang lira dan penerapan tarif impor barang yang dikenakan Washington.
Jika sebelumnya Erdogan mengecam AS yang ditudingnya berada di balik krisis moneter Turki, kali ini Erdogan menyerukan pembalasan berupa pemboikotan terhadap Iphone dan produk barang elektronik asal AS.
Kedua sikap tersebut menggambarkan pesan yang jelas, yaitu makin renggangnya hubungan AS dengan Turki. The Wall Street Journal mencermati, makin tebalnya perubahan pola hubungan diplomatik Turki yang pada saat sama justru bergeser semakin dekat dengan Rusia. Sebelumnya, Rusia juga mengkritik sanksi-sanksi Barat ke Turki.
Langkah Erdogan itu dinilai sangat berani, di mana ia berani mengambil risiko sekalipun selama ini Turki telah menjalin kerja sama erat dengan AS di NATO. Turki juga merupakan mitra dagang strategis bagi AS, sebagai pasar keempat terbesar bagi produk Amerika, sedangkan Amerika adalah pasar kelima terbesar bagi produk Turki.
Namun, kali ini eratnya hubungan yang telah terjalin tidak menjadi pertimbangan bagi Erdogan. Ia tegas menolak kerja sama ekspor-impor, khususnya barang-barang elektronik.
Trump menerapkan kebijakan penggandaan tarif baja dan aluminium atas produk-produk asal Turki yang masuk ke pasar AS. Tarif impor aluminium akan meningkat menjadi 20 persen dan tarif baja menjadi 50 persen.
Sebagai balasan atas langkah AS, Turki juga menggandakan besaran tarif atas barang-barang impor asal AS. Rangkaian sikap keras Erdogan tidak muncul dengan tiba-tiba. Sebelumnya, gejolak mata uang menimpa Turki, lira.
Nilai tukar lira berada di bagian rekor terendah terhadap dollar AS sejak 1 Agustus 2018. Tentu kondisi ini berdampak pada tingkat kepercayaan investor atas stabilitas keuangan negara. Peluang kerugian finansial pun sudah di ambang pintu.
Apalagi muncul kebijakan Trump yang memperburuk situasi dengan memberlakukan sanksi ke Turki karena tidak membebaskan Andrew Brunson, seorang pendeta AS, yang dituduh terlibat dalam aktivitas terorisme ala Fethulah Ghulam.
Rasisme Trump
Selain sikap keras Erdogan, pemberitaan lain yang muncul adalah kontroversi penyataan Presiden Donald Trump terkait isu rasisme terhadap mantan ajudannya di Gedung Putih, Omarosa Manigault Newman. Sebelumnya, Omarosa merilis rekaman percakapan pribadinya dengan Trump.
Ucapan Trump yang merendahkan Omarosa ini mendapat kritikan dari harian USA Today, yang tegas menyatakan konsekuensi pernyataan tersebut akan memperdalam perseteruan rasial di AS. Dampak lain yang diungkapkan adalah munculnya rasa tidak hormat kepada Trump dari warga Afrika-Amerika. Sebagaimana diketahui, Omarosa berasal dari warga kulit hitam.
Tidak hanya sekali, sebelumnya Presiden AS ini juga sering menyerang orang-orang Afrika-Amerika dengan mempertanyakan tingkat intelegensi mereka. Dia menggambarkan orang kulit hitam sebagai sebuah pencemaran sejarah yang sangat buruk di tanah Amerika.
Trump juga pernah dikritik karena membuat kebijakan yang memarginalkan kelompok lain. Ia membangun tembok di perbatasan untuk mencegah imigran Meksiko masuk ke AS, selain melarang sejumlah negara Muslim masuk ke AS atas alasan menangkal terorisme.
Kekhawatiran yang diangkat USA Today adalah bahasa yang dilontarkan Donald Trump dapat menciptakan iklim intoleransi. Selain itu, dampak politik bagi Trump juga diulas. Blunder yang dilakukan Trump terus-menerus dapat meningkatkan popularitas partai pesaingnya, Demokrat.
Isu lain yang juga mengemuka selain Erdogan dan Trump adalah dugaan pelecehan seksual di lingkungan Gereja Katolik Amerika yang kembali terbongkar. Harian The New York Times dan The Washington Post menyoroti laporan investigasi dugaan kejahatan asusila terhadap anak oleh para imam di Negara Bagian Pennsylvania. Laporan ini juga menyebutkan para uskup dan pemimpin gereja dituduh menutupi kasus tersebut.
Laporan penyelidikan kejahatan seksual dikeluarkan oleh Grand Jury pada Selasa, 14 Agustus 2018. Tercatat sekitar 1.000 anak yang menjadi korban. Ini adalah salah satu penyelidikan terbesar di Amerika terhadap pelecehan seksual di gereja dalam sejarah.
Investigasi menyebutkan, ada tindakan membujuk para korban agar tidak melapor kepada pihak berwajib. Selain itu, ada indikasi penegakan hukum tidak berjalan dengan semestinya sehingga tindakan penyelidikan tidak pernah tuntas. (YOESEP BUDIANTO/LITBANG KOMPAS)