Geliat Calon Perseorangan Melawan Dominasi Petahana (1)
Aceng Fikri dan Dicky Chandra akan selalu menjadi inspirasi bagi warga Garut yang ingin menjadi bupati tetapi enggan menggunakan partai politik sebagai kendaraan pengusung. Kemenangan Aceng Fikri sebagai calon perseorangan yang melawan petahana, Rudy Gunawan-Oim Abdurohim, menjadi legenda Garut modern dalam pemilihan bupati Garut.
Kesuksesan inilah yang hendak diulangi kembali oleh para tokoh atau elite di Garut yang berambisi menjadi bupati dengan dukungan warga secara langsung. Keperkasaan calon perseorangan meraih kemenangan di Garut baru bisa dinikmati oleh Aceng Fikri-Dicky Chandra pada pemilihan bupati (pilbup) Garut 10 tahun silam.
Tahun ini, popularitas dan kekuatan calon perseorangan hanya bisa ”menggeliat” alias tak berdaya dalam menghadapi dominasi calon petahana yang mendapat dukungan penuh dari parpol. Tingkat keterpilihan mereka semakin jauh tertinggal di bawah keterpilihan calon petahana dan calon-calon yang diusung oleh parpol.
Pilbup Garut 2018 kembali menghadirkan satu pasangan calon perseorangan, yaitu Suryana-Wiwin Suwindaryati. Menurut hasil penghitungan suara KPU Garut, pasangan nomor tiga ini menjadi juru kunci dalam peringkat perolehan suara. Dari 1.192.442 suara sah yang diakui KPU, pasangan Suryana-Wiwin hanya mampu meraih dukungan 11,18 persen atau 133.317 suara. Ini merupakan jumlah paling sedikit sejak Pilbup 2008.
Angka ini sangat jauh di bawah perolehan pasangan Rudy Gunawan-Helmi Budiman, pasangan petahana yang maju kembali secara bersama-sama untuk periode kedua. Bupati dan Wakil Bupati Garut ini tercatat berhasil menguasai 427.463 suara (35,83 persen). Pasangan yang diusung oleh PKS, Gerindra, dan Nasdem ini menjadi peraih suara terbanyak dan menjadikan mereka sebagai pemenang sekaligus bupati dan wakil bupati terpilih.
Perolehan suara dua pasangan lain, Iman Alirahman-Dedi Hasan dan Agus Hamdani-Pradana Aditya Wicaksana yang diusung oleh parpol, juga jauh di atas pasangan perseorangan. Iman-Dedi yang diusung Golkar, PDI-P, dan PKB memperoleh 391.393 suara (32,81 persen), sementara Agus-Adit meraih 240.702 suara (20,18 persen).
Menengok Pilgub 2013, nasib calon perseorangan lebih memprihatinkan lagi. Dari empat pasangan perseorangan yang diloloskan KPU Garut sebagai peserta pemilihan, tidak satu pun yang tampil meyakinkan. Alih-alih mengalahkan pasangan dari parpol, para calon perseorangan ini malah terpuruk dengan perolehan suara yang minim.
Pasangan Dedi Suryadi-Deddy Supriadi, Yamin Dede Kusdinar-Endang Suryana, dan Yamin Supriatna-Dadan Ramdani yang terbilang sebagai ”sosok-sosok yang beken” di Garut hanya mampu mendongkrak elektabilitas mereka mentok di angka 5 persen. Ketiga pasangan ini tak bisa mengungguli pasangan Nadiman-Holil Aksan yang diusung oleh koalisi 21 partai nonparlemen dan Ahmad Bajuri-An An Kusmaradian yang diusung Partai Demokrat.
Aceng Fikri
Pasangan Aceng Fikri-Dicky Chandra dalam Pilbup Garut 2008 dipandang sebagai pelopor yang membuka celah kemenangan bagi calon perseorangan yang modal politiknya masih jauh di bawah parpol. Kemenangan mereka selalu meninggalkan harapan bagi para pemburu jabatan bupati ketika musim pilkada tiba. Fenomena ini bisa dilihat dari munculnya sejumlah pasangan yang maju dalam Pilbup Garut 2013 dan 2018.
Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Garut hanya meloloskan satu pasangan dari dua pasangan perseorangan yang mendaftar dalam Pilbup Garut 2018.
Satu pasangan terpaksa dianulir oleh KPU lantaran terbukti menyuap penyelenggara pilkada, yaitu Ketua Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten Garut dan komisioner KPU Garut. Motifnya agar KPU Garut meloloskan mereka sebagai pasangan calon bupati dan wakil bupati.
Kasus suap ini bermula dari laporan masyarakat yang curiga dengan kejanggalan dalam penetapan pasangan bupati dan wakil bupati Garut pada Januari 2018. Satgas Anti Money Politics Bareskrim Polri dan Satgasda Polda Jawa Barat langsung bergerak dengan mengumpulkan bukti dan informasi tentang para pelaku.
Hasilnya, polisi berhasil menangkap Ketua Panwaslu Garut Heri Hasan Basari, komisioner KPU Garut Ade Sudrajad, dan pemberi suap dari tim pemenangan pasangan calon Didin Wahyudin. Dari penangkapan ini polisi juga berhasil mengamankan barang bukti berupa berupa satu mobil serta uang Rp 100 juta. Modusnya, Didin memberikan sejumlah uang kepada kedua pejabat penyelenggara pilkada tersebut agar meloloskan pasangan Soni Sondani-Usep Nurdin yang maju pilkada lewat jalur perseorangan.
Untuk memastikan pasangan Soni-Usep lolos, Didin juga sempat mencoba menyuap petinggi KPU Garut. Namun, mereka menolak. Hanya satu yang tergoda. Konsekuensinya, KPU Jabar langsung menganulir pasangan Soni Sondani-Usep Nurdin sebagai peserta pilbup. Sementara para pelaku suap menghadapi proses hukum yang sudah pasti akan menyeret mereka ke penjara.
Kasus suap yang menyertai pendaftaran bakal pasangan calon bupati Garut menunjukkan animo yang tinggi dari sejumlah tokoh untuk menjadi calon bupati melalui jalur perseorangan. Jalur ini relatif lebih mudah ditempuh karena mahar politik untuk parpol tidak perlu dikeluarkan terlebih dahulu. Yang terpenting, jalur perseorangan ini bisa meningkatkan status sosial kandidat jika berhasil memenangi pemilihan.
Keberhasilan Aceng-Dicky meraih jabatan tertinggi di Kabupaten Garut secara mandiri menjadi motivasi politik bagi warga Garut untuk meningkatkan posisi sosial mereka. Jabatan bupati juga menjadi akses untuk meraih jabatan-jabatan lain yang lebih ”prestisius”, baik di tingkat kabupaten, provinsi, maupun nasional.
Perubahan ”nasib” Aceng Fikri dari seorang pegawai koperasi di Garut menjadi pejabat negara dalam waktu yang relatif singkat juga menjadi landasan perjuangan untuk menggapai kursi bupati. Sebelum menjadi Bupati Garut, Aceng Fikri tercatat sebagai pengurus koperasi unggas, koperasi konfeksi, dan koperasi pondok pesantren di Garut.
Dalam politik, Aceng Fikri memiliki afiliasi politik yang dekat dengan PKB. Jejak politiknya bisa ditelusuri dari posisinya sebagai pengurus GP Ansor Kabupaten Garut, Garda Bangsa PKB, hingga aktif sebagai pengurus DPC PKB Kabupaten Garut. Aktivitas politik di PKB ini menjadi ”karier’ politik tertinggi Aceng dalam politik sebelum dirinya terpilih sebagai Bupati Garut.
Ketika menjadi bupati, Aceng langsung menjadi salah satu pengurus inti DPD Golkar Kabupaten Garut, lalu meningkat lagi menjadi pengurus DPD Golkar Provinsi Jabar. Kedua jabatan ini kemudian ditanggalkan lantaran kontroversi kelakuannya sebagai bupati.
Setelah itu, Aceng terpilih menjadi anggota DPD dari Jawa Barat pada Pemilu 2014. Jabatan politik saat ini yang diemban oleh Aceng adalah Ketua DPD Partai Hanura Provinsi Jabar. Jabatan yang cukup bergengsi karena bisa menjadi tiket untuk pencalonan kepala daerah dalam pilkada berikutnya.
Calon perseorangan
Seandainya Lalu Langgalawe tidak menggugat UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Aceng Fikri dan Dicky Chandra tidak akan bisa menjadi Bupati dan Wakil Bupati Garut. Anggota DPRD Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, ini mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi terkait pasal-pasal dari UU Pemda Tahun 2004 yang mengatur soal pencalonan kepala daerah.
Bagian yang disoroti oleh Lalu Langgawe adalah pasal yang mewajibkan pencalonan kepala daerah hanya melalui partai politik atau gabungan partai politik. Menurut Lalu, UU Pemda Tahun 2004 ini telah menghilangkan makna demokrasi yang memberi peluang yang sama kepada seluruh warga negara untuk berpartisipasi dalam pilkada sejak proses penjaringan.
UU ini dinilai tidak adil karena tidak memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada warga negara untuk ikut pilkada. Secara substantif UU ini juga telah menutup peluang bagi pasangan calon perseorangan dan pasangan calon yang tidak memiliki kendaraan politik berupa dukungan parpol atau gabungan parpol.
Menanggapi gugatan tersebut, MK mengeluarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi No 5/PUU-V/2007 yang mengabulkan gugatan Lalu terkait pencalonan kepala daerah melalui parpol atau gabungan parpol. Putusan ini membuka peluang pencalonan kepala daerah secara independen tanpa dukungan parpol.
Calon independen ini didefinisikan MK sebagai calon perseorangan yang dapat berkompetisi dalam rekrutmen pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah melalui mekanisme pilkada tanpa mempergunakan partai politik sebagai media perjuangannya.
Keputusan MK ini memicu lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang merupakan revisi atas UU No 32 Tahun 2004. UU baru ini memasukkan ketentuan baru, yaitu peserta pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Artinya, UU No 12 Tahun 2008 tersebut membuka jalur pencalonan peserta pilkada melalui partai politik atau gabungan parpol dan jalur independen atau perseorangan.
UU ini membawa berkah bagi perkembangan demokrasi di Indonesia dengan membuka peluang yang lebih lebar lagi kepada semua warga negara yang memiliki hak untuk dipilih sebagai bupati, wali kota, atau gubernur. UU ini mengakui persamaan hak para kepala daerah yang maju melalui jalur parpol atau jalur perseorangan. UU inilah yang memayungi hak Aceng Fikri-Dicky Chandra dan semua calon perseorangan untuk menjadi kepala daerah tanpa dukungan parpol. (SULTANI/LITBANG KOMPAS) BERSAMBUNG.