Geliat Calon Perseorangan Melawan Dominasi Petahana (2)
Mantan Bupati Garut Aceng Fikri pernah mengatakan bahwa biaya pencalonan kepala daerah melalui jalur perseorangan lebih murah ketimbang lewat partai politik.
Selain berbiaya murah, calon perseorangan juga memiliki waktu sosialisasi yang lebih panjang ke pendukung. Calon perseorangan lebih efektif dalam menggalang dukungan sejak proses pengumpulan KTP warga sebagai syarat pencalonan.
Karena itulah pencalonan melalui jalur perseorangan memiliki keuntungan yang lebih banyak ketimbang jalur parpol yang penuh dengan syarat administratif dan finansial. Salah satu syarat yang kerap menjadi polemik hingga sekarang adalah soal mahar politik untuk membeli kursi anggota dewan yang nilainya sangat fantastik.
Aceng Fikri yang sukses mengukir prestasi politiknya dengan membuka akses menjadi Bupati Garut melalui jalur perseorangan menjadi motivasi politik bagi para penerusnya di daerah yang terkenal dengan produk dodol ini.
Cerita kesuksesan Aceng melewati proses pencalonannya berawal dari proses pengumpulan KTP warga yang berbulan-bulan lamanya. Waktu itu Aceng dan Dicky berhasil mengantongi 74.810 KTP warga Garut yang siap mendukungnya.
Proses inilah yang menurut Aceng menjadi kelebihan calon perseorangan. Sejak awal pengumpulan KTP calon perseorangan sebetulnya sudah melakukan kampanye sekaligus sosialisasi pencalonan.
Waktu kampanye yang panjang ini tidak dimiliki oleh calon dari parpol. Pasalnya, untuk mendapatkan dukungan partai biasanya butuh proses panjang yang sudah menguras energi, biaya, dan waktu. Semua proses ini belum tentu berakhir dengan dukungan yang pasti.
Hadirnya calon perseorangan dalam pilkada tentu memilki imbas politik secara langsung kepada parpol. Calon perseorangan membuat kompetisi semakin kompleks dan ketat. Kompetisi ini bisa saja terjadi di internal partai yang mengusung kader sendiri, atau antarpartai yang berkoalisi, atau antara paslon yang diusung partai dengan paslon perseorangan.
UU No.12 Tahun 2008 yang langsung diterapkan dalam Pilkada 2008 memperlihatkan fenomena pertarungan yang meningkat dalam kontestasi politik lokal. Untuk Garut, meningkatnya tensi pertarungan terlihat dari animo masyarakat untuk mendaftarkan diri sebagai calon melalui jalur perseorangan.
Untuk diketahui, Pilbup Garut 2008 merupakan pemilihan bupati pertama yang dilakukan secara langsung oleh rakyat dengan jumlah peserta sebanyak 7 paslon. Paslon yang diusung parpol sebanyak 4 kandidat sementara 3 paslon lainnya merupakan calon perseorangan.
Komposisi paslon ini menunjukkan animo masyarakat Garut terhadap calon perseorangan cukup tinggi, hampir mengimbangi jumlah calon yang diusung partai.
Secara kuantitas, kekuatan pemilih dari parpol pengusung 4 paslon tersebut, hanya Golkar dan PDIP yang berpotensi unggul dalam pertarungan pilbup. Kedua parpol ini sudah memiliki sejarah yang panjang dan kenyang dengan semua dinamika politik Garut.
Basis pendukung kedua partai bentukan Orde Baru ini sudah luas dan cukup mengakar. Golkar dan PDIP dalam Pilbup Garut 2008 mengusung Rudy Gunawan - Oim Abdurohim.
Sebaliknya, 6 figur yang mengisi 3 paslon perseorangan berasal dari latar belakang profesi dan afiliasi politik yang bervariasi. Popularitas mereka boleh jadi cukup tinggi, namun ketiadaan mesin politik yang solid akan sulit meningkatkan popularitas mereka ke posisi yang lebih tinggi. Selain itu, basis dukungan yang akan menjadi sumber suara dukungan untuk mereka juga masih sangat cair sehingga sulit dipetakan.
Hasil Pilbup Garut 2008 menempatkan pasangan Rudy Gunawan - Oim Abdurohim sebagai pemenang dengan perolehan dukungan 237.454 suara atau 23,6 persen dari suara sah. Angka ini tidak serta merta menobatkan paslon nomor urut 2 ini sebagai pemenang kendati jumlah perolehan suara mereka paling tinggi. Pasalnya, proporsi kemenangan tersebut masih di bawah angka 25 persen yang ditetapkan KPU sebagai syarat minimal kemenangan paslon.
Konsekwensinya, pasangan Rudy – Oim harus bertarung lagi dengan peraih suara terbanyak kedua dalam putaran kedua. Pemenang kedua setelah Rudy – Oim adalah Aceng – Dicky yang berhasil meraih 206.150 atau 20,5 persen suara. Artinya, pasangan Rudy – Oim akan melawan Aceng – Dicky di putaran kedua untuk mencari pemenang sejati Pilbup Garut.
Hasilnya sangat mencengangkan. Tanpa diduga, pasangan Rudy Gunawan – Oim Abdurohim yang diprediksi pasti menang lantaran semua potensi politik dan dukungan massa sudah mereka kuasai, ternyata kalah.
Pasangan yang didukung oleh partai paling kuat di Garut ini hanya meraih 11.185 suara atau 43,6 persen dari 543.839 suara sah. Angka ini masih jauh di bawah perolehan Aceng Fikri – Dicky Chandra, yaitu 532.654 suara atau 56,4 persen.
Selisih suara yang cukup lebar ini membuat Rudy – Oim harus menerima kekalahan mereka.Selanjutnya, KPU menetapkan pasangan Aceng Fikri – Dicky Chandra sebagai pemenang sekaligus bupati terpilih menggantikan Agus Supriadi - Memo Hermawan.
Pilbup 2018
Sejarah Pemilihan Bupati Garut sejak tahun 2008-2018 ditandai dengan hadirnya calon perseorangan yang selalu mewarnai peta kontestasi pemilihan. Pada Pilbup 2008 KPU Garut meloloskan 3 calon perseorangan atau 43 persen dari 7 paslon. Pilbup 5 tahun berikutnya, animo masyarakat mendaftarkan diri untuk menjadi calon bupati periode berikutnya semakin tinggi.
Dari puluhan paket calon perseorangan yang telah menyerahkan berkas pendaftaran ke KPU Garut, yang dinyatakan lolos sebagai calon hanya 4 paket. Empat calon perseorangan ini membuat jumlah paslon yang mengikuti pilbup menjadi sangat gemuk, yaitu mencapai 10 kandidat. Jumlah ini menurut pimpinan KPU merupakan jumlah kandidat terbanyak se-Indonesia pada Pilkada 2013.
Animo masyarakat untuk mencalonkan diri sebagai bupati tetap tinggi, meskipun faktanya jumlah dukungan untuk calon perseorangan dalam pilbup (2013) tidak ada yang mencapai 10 persen.
Masyarakat masih saja nekat mendaftarkan diri sebagai calon bupati tanpa kalkulasi politik yang rasional. Bahkan, untuk bisa lolos menjadi cabup ada yang berani menyuap penyelenggara pemilu.
Fenomena inilah yang terjadi di Garut ketika Pilbup 2018. Para pendaftar dari calon perseorangan tetap banyak meskipun proses seleksi yang dilakukan KPU Garut sangat ketat. Dalam proses ini muncul kasus suap yang melibatkan Ketua Panwaslu Garut, komisioner KPU Garut, dan salah satu anggota tim pemenangan bakal paslon.
Buntutnya, ketiga oknum ini langsung ditetapkan sebagai tersangka atas tindak suap yang mereka lakukan. Sementara Soni Sondani – Usep Nurdin langsung dianulir dari proses pencalonan karena diduga kuat sebagai pihak yang berada di balik kasus penyuapan ini.
Dengan gugurnya pasangan Soni – Usep yang maju menggunakan jalur perseorangan ini, jumlah paslon yang maju tanpa dukungan parpol jelas berkurang. Hingga masa penetapan calon tiba, KPU Garut hanya meloloskan pasangan Suryana – Wiwin Suwindaryati sebagai satu-satunya calon perseorangan dari 4 paslon yang bertarung.
Naik turunnya jumlah calon perseorangan selama 3 periode Pilbup Garut menunjukkan dinamika politik yang terus menggeliat dalam menghadapi dominasi partai politik.
Hadirnya calon perseorangan bukan saja sebagai kandidat yang ikut meramaikan pesta demokrasi tingkat lokal. Esensi calon perseorangan di sini merepresentasikan politik alternatif yang hendak menawarkan perubahan paradigma dalam memilih kepala daerah.
Dominasi parpol dalam melahirkan pemimpin yang sudah mengakar, mulai mendapatkan perlawanan secara perlahan-lahan dari calon perseorangan. Fakta memang menunjukkan bahwa setelah kemenangan Aceng Fikri – Dicky Chandra pada Pilbup 2008, peluang kemenangan calon perseorangan dalam menghadapi kekuatan parpol terus menurun.
Kehadiran calon perseorangan akan selalu menjadi alternatif bagi rakyat ketika calon yang diusung parpol kinerjanya kurang memuaskan atau terlibat dalam kasus korupsi dan kejahatan lainnya.
Peta Kandidat
Nama Suryana dan Wiwin Suwindaryati dipilih oleh KPU Garut sebagai calon perseorangan yang diloloskan untuk mengikuti Pemilihan Bupati Garut 2018. Pasangan ini akan melawan 3 paslon lain yang diusung oleh partai politik. Suryana – Wiwin hanya mengandalkan kekuatan sosok mereka sebagai aktivis sosial dengan jaringan keluarga dan pertemanan mereka di Garut.
Nama Suryana bukanlah sosok baru bagi warga kota Intan. Pria yang akrab disapa Abah Isur ini menghabiskan waktunya dengan kegiatan agama, yaitu guru ngaji.
“Profesi” sosial ini berkaitan dengan posisinya sebagai tokoh NU di Garut. Pria kelahiran Garut tahun 1975 pernah menjadi Sekretari Tanfidz NU Kabupaten Garut pada 2010-2015. Posisi ini dipercayakan kepada Abah Isur setelah sukses mengemban posisi Sekretaris GP Ansor Kabupaten Garut.
Alumni Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta ini ternyata sudah memiliki pengalaman dalam pemilihan bupati. Pengalaman tersebut bukan sebagai calon bupati tetapi Ketua Tim Sukses Pasangan Aceng Firky – Dicky Chandra pada Pilbup Garut 2008.
Kali ini, Suryana maju sebagai cabup karena merasa optimis bisa mengulang sejarah menjadi bupati melalui jalur perseorangan. Abah Isur yakin bisa mengulang kembali sukses yang pernah dia raih ketika maju bersama tim pemenangan Aceng – Dicky.
Meski hanya seorang guru mengaji, Abah Isur berharap bisa mendulang suara dari mayoritas kaum perempuan di Garut. Karena itulah Suryana menggandeng Wiwin Suwindaryati sebagai wakilnya.
Wiwin yang dikenal sebagai pengusaha perempuan di Garut ini dianggap sebagai pasangan yang paling cocok karena memiliki tekad yang sama dengan Suryana. Wiwin merupakan satu-satunya kontestan perempuan sekaligus perempuan pertama yang maju melalui jalur perseorangan.
Meski sadar bahwa posisi calon perseorangan masih dipandang sebelah mata, Wiwin tetap optimis bisa meraih suara besar. Menurut Ketua Majelis Dzikir Annisa Nurussalam Jawa Barat ini, paslon perseorangan bisa lebih transparan dan tidak ada tekanan dari pimpinan partai politik.
Baik Suryana maupun Wiwin menjadikan pengembangan sumber daya manusia sebagai basis utama perjuangan mereka. Suryana lebih fokus kepada pendidikan agama sebagai titik tumpu karena menurutnya, pendidikan keagamaan masyarakat saat ini tidak kokoh sehingga gampang terprovokasi isu-isu yang terkait agama.
Sementara Wiwin akan lebih memperjuangkan hak perempuan dan anak dengan memantapkan peran dan fungsi lembaga perlindungan perempuan dan anak. Pendidikan informal seperti pengajian di majelis taklim akan dimajukan. Para kepala keluarga akan diedukasi melalui majelis-majelis ini sebagai upaya perlindungan terhadap perempuan dan anak sejak dini.
Nama Rudy Gunawan sudah sangat populer di Garut. Selain sebagai bupati terpilih sejak tahun 2013 sosok Rudy memang sudah lama malang melintang di sebagai seorang pengacara.
Melalui firma hukum Gunawan & Associates Law Firm yang dibentuk tahun 1985, Rudy mulai menapak popularitas melalui profesinya. Setelah mapan di dunia hukum, Rudy Gunawan ingin melebarkan kiprahnya di bidang lain, terutama bidang sosial, ekonomi, dan politik.
Kiprah Rudy yang bisa ditelusuri adalah jabatannya sebagai direktur utama di beberapa perusahaan, seperti PT Amyra Kreasitama, PT Agra Putri Wisata, dan direktur di PT Energi Putera Parahyangan.
Jabatan puncak di perusahaan-perusahaan tersebut dirintis sejak tahun 1991. Bahkan, tahun 2006 pria kelahiran Garut tanggal 4 Agustus 1964 ini tercatat sebagai Komisaris Utama PT Quatronics Indonesia. Setahun kemudian alumni Universitas Padjadjaran ini menduduki lagi posisi sebagai Komisaris Utama BPRS Dana Tijarah.
Selain jabatan-jabatan mentereng tersebut Rudy Gunawan juga tercatat pernah memimpin sejumlah organisasi penting di Jabar. Tahun 1997, Rudy Gunawan tercatat sebagai Ketua Kadin Bidang Pertanian. Jabatan ini diemban 10 tahun lamanya.
Pengacara gaek asal Garut ini juga dipercaya untuk memimpin Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia Jabar pada 2003. Di bidang pertanian, Rudy Gunawan juga pernah menjadi Ketua HKTI Jabar pada 2004. Terakhir, Rudy tercatat sebagai Ketua DPD Kongres Advokat Indonesia Jabar pada 2008-2014.
Posisi dan jabatan ini menjadi kekuatan utama yang menopang kualitas personal Rudy ketika maju sebagai Cabup Garut pada 2008. Kualitas ini juga yang membuat dua partai penguasa mayoritas suara warga Garut Pemilu 2004, Golkar dan PDIP memilih Rudy Gunawan sebagai cabup yang akan diusung bersama Oim Abdurohim sebagai wakilnya.
Meski gagal meraih kursi bupati pada saat itu, Rudy berhasil memperoleh kepercayaan yang cukup besar dari warga Garut lantaran bisa meraup suara terbanyak pada Pilbup Garut putaran pertama.
Nama Rudy muncul kembali pada Pilbup 2013 sebagai cabup yang dipasang dengan Helmi Budiman sebagai wakilnya. Pilbup kali ini Rudy – Helmi diusung oleh PKS, Gerindra, dan PBB.
Modal sosial yang sudah dibangun sejak lama oleh Rudy membuat sosoknya paling menonjol ketimbang 9 kandidat lainnya. Pesaing terberat pasangan Rudy – Helmi saat itu hanya Agus Hamdani - Abdusy Syakur yang diusung PPP dan PKB.
Rudy Gunawan – Helmi Budiman diusung kembali oleh koalisi PKS, Gerindra pada Pilbup Garut 2018. Kali ini mitra koalisi kedua partai ini adalah NasDem yang menggantikan posisi PBB.
Rudy Gunawan yang tercatat sudah menjadi politisi Gerindra ini tampil lebih percaya diri setelah sukses menaklukkan tiga paslon yang diusung oleh parpol yang memiliki pengaruh luas di Kabupaten Garut pada Pilbup 2013.
Pasangan tersebut adalah Agus Hamdani - Abdusy Syakur dari PPP dan PKB, Memo Hermawan - Ade Ginanjar dari Golkar dan PDIP, serta Ahmad Bajuri - An An Kusmaradian dari Demokrat. Pilbup 2018 Rudy dan Helmi maju kembali dalam format yang sama seperti Pilbup 2013. Konfigurasi petahana dan politisi ini membuat paslon dengan nomor urut 1 ini mengungguli tiga paslon lain.
Iman Alirahman adalah sosok calon Bupati Garut yang sudah merintis karirnya sebagai PNS dan birokrat di lingkungan Pemkab Garut. Selama mengabdi sebagai PNS Iman Alirahman telah memegang berbagai posisi di sejumlah instansi.
Jabatan tertinggi yang dipegang Iman adalah Sekretaris Daerah Garut selama 8 tahun. Bahkan, tahun 2013 ketika Bupati Garut Aceng Fikri dinonaktifkan, Iman Alirahman merupakan pejabat yang ditunjuk sebagai Pelaksana Harian Bupati Garut.
Iman Alirahman merupakan satu-satunya pejabat daerah yang menjadi Sekda untuk pemerintahan 3 bupati sekaligus, yaitu Aceng Fikri, Agus Hamdani, dan Rudy Gunawan. Iman harus berhenti dari jabatannya agar bisa mendaftarkan diri sebagai calon bupati. Harapannya untuk menjadi bupati adalah membawa kemajuan bagi kota berjuluk Swiss van Java ini.
Peluang Iman Alirahman untuk maju sebagai cabup terbuka setelah Golkar, PDIP, dan PKB memberikan tiket sebagai pengusung. Iman Alirahman dipasang bersama Dedi Hasan Bahtiar, anggota DPRD Kabupaten Garut dari PDIP. Posisinya di DPRD Garut bisa diurai lagi dari 2009, bahkan tahun 2004. Saat itu Dedi menjabat sebagai wakil ketua dewan.
Di PDIP jabatan Dedi terbilang tinggi setelah didapuk menjadi Ketua Baitul Muslimin Indonesia Jawa Barat hingga tahun 2021. Meskipun secara politis afiliasi Dedi lebih condong kepada aliran nasionalis, karakter dan personalitas Dedi sebetulnya sudah ditempa di pesantren.
Posisinya sebagai politikus seperti sekarang boleh dibilang sebagai kecelakaan sejarah, karena cita-cita Dedi sejak kecil adalah menjadi ustadz, seperti ayahnya yang jadi pengurus di Majelis Ulama Indonesia.
Kedekatannya dengan ideologi nasionalis diawali ketika menjadi aktivis Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI). Di organisasi mahasiswa nasionalis ini Dedi pernah menjadi Sekretaris DPC GMNI Garut pada 1999-2001. Pilihannya untuk terjun ke politik praktis dipicu oleh idealisme darah mudanya untuk mengabulkan aspirasi masyarakat Garut.
Pasangan terakhir adalah Agus Hamdani - Pradana Aditya Wicaksana yang diusung oleh PPP, PAN, dan Hanura. Pasangan yang memadukan sosok pengusaha dan politisi ini memiliki kekuatan pada kekayaan pengalaman figurnya dan soliditas mesin PPP sebagai partai Islam yang berpengaruh di Garut.
Agus Hamdani merupakan tokoh yang terbilang mujur ketika berada di Garut. Pria kelahiran Bandung ini banyak meraih sukses baik usaha maupun karir politiknya di Garut. Memulai usahanya sebagai pedagang di Pasar Limbangan. Di sini Agus berhasil mendapat kepercayaan untuk menjadi Ketua Penasihat Ikatan Warga Pasar.
Naluri politiknya mulai terasah seiring dengan aktivitasnya di organisasi yang menghimpun para pedagang di Pasar Limbangan. Kemampuan berpolitiknya semakin terasah seiring dengan meningkatnya posisi sosial Agus dalam berorganisasi. Tahun 2009 Agus berhasil menduduki posisi sebagai Sekretaris Umum Baitul Mal wa tanwil (BMT).
Pada waktu yang hampir bersamaan jejak karir politik mantan pengurus Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kecamatan Limbangan ini mulai tertulis dengan jelas. Agus didapuk sebagai Ketua DPC PPP Kabupaten Garut yang kemudian mengantarkan dia menjadi anggota DPRD Kabupaten Garut.
Ketika Wakil Bupati Garut Dicky Chandra mengundurkan diri pada 2012, DPRD Garut memilih Agus Hamdani sebagai wabup untuk mengisi kekosongan jabatan tersebut. Agus dilantik menjadi wakil bupati pada 12 Juni 2012 mendampingi Bupati Aceng Fikri.
Keberuntungan Agus Hamdani muncul lagi ketika DPRD Garut memakzulkan Bupati Garut Aceng Fikri karena kasus pernikahan siri kilat. Peristiwa yang terjadi tahun 2013 ini membuka peluang kepada Agus untuk memegang jabatan orang nomor satu di Garut.
Agus diangkat menjadi Bupati Garut menggantikan Aceng hingga masa jabatannya berakhir. Posisi ini membuat Agus Hamdani merupakan orang Garut yang pada awal karir politiknya menempati tiga jabatan publik sekaligus dalam satu periode, yaitu anggota DPRD, wakil bupati, dan Bupati Garut.
Pada Pilbup Garut 2018 Agus Hamdani maju bersama Aditya Wicaksana Pradana, seorang pengusaha muda di Garut. Sebagai mantan cabup dalam Pilbup 2013 nama Agus Hamdani sudah cukup populer untuk mendulang suara. Apalagi pengusungnya waktu itu adalah PPP dan PKB dua partai Islam yang sangat berpengaruh di Garut.
Aditya Wicaksana Pradana masih perlu memperkenalkan diri dan reputasinya agar lebih banyak dikenali oleh warga Garut. Sosok wakil bupati pendamping Agus Hamdani ini masih asing di tanah kelahirannya sendiri. Maklum, sejak kecil kehidupan pria yang disapa dengan Adit ini selalu melanglang buana mengikuti karir ayahnya sebagai perwira TNI Angkatan Darat.
Agus belum lama menapakkan kakinya di Garut. Karir dan profesinya yang lebih banyak berhubungan dengan bisnis membuat pria kelahiran Garut tahun 1987 ini harus belajar lebih banyak untuk mengenali karakter masyarakat dan potensi daerahnya.
Meski demikian, kehadiran sosok Adit dalam Pilbup 2018 ini ditargetkan untuk meraup para pemilih muda. Dari semua figur yang menjadi kandidat, hanya pasangan ini yang bisa merepresentasikan kelompok muda.
Demikianlah geliat pilkada kabupaten Garut masa kini yang menjadi sedemikian dinamis. Selepas era bupati Aceng Fikri banyak warga Garut melihat bahwa jabatan bupati adalah impian yang menarik untuk dicoba keberhasilannya melalui jalur non partai politik. (SULTANI/LITBANG KOMPAS)