Metamorfosis Film Anak Indonesia
Tak hanya jumlah produksi yang meningkat, tayangan film dengan genre anak di layar lebar kian variatif. Tema yang disajikan semakin beragam, seperti petualangan, fiksi, dan biografi. Variasi tema ini menjadi penanda kebangkitan film anak-anak sepanjang sejarah film Indonesia.
Selama tiga periode rezim kekuasaan, produksi film Indonesia bergenre anak terus meningkat. Sejak era Orde Lama hingga saat ini, terdapat 93 film dengan genre anak yang tayang di layar lebar. Berdasarkan data dari laman filmindonesia.or.id, jumlah film anak terus tumbuh secara perlahan sejak tahun 1951. Saat itu, industri film mulai bergeliat setelah Indonesia melalui gejolak revolusi.
Jumlah film anak-anak yang diproduksi sepanjang era Orde Lama belum terlalu signifikan dibandingkan genre lainnya. Hingga tahun 1966, hanya terdapat 10 film bergenre anak yang tayang di layar lebar. Jumlah ini hanya 1,9 persen dibandingkan produksi film layar lebar selama era Orde Lama yang berjumlah 538 film.
Memasuki era Orde Baru, produksi film dengan genre anak sempat mengalami mati suri. Hingga tahun 1972, film anak masih belum menghiasi bioskop-bioskop di Indonesia. Padahal, pada rentang waktu yang sama, terdapat 154 film di layar lebar dengan berbagai genre, seperti drama dan komedi.
Pemerintahan Soeharto kemudian memberikan kebijakan khusus untuk meningkatkan jumlah film bergenre anak. Salah satunya adalah kewajiban bagi pengusaha mengimpor satu film anak-anak untuk setiap sepuluh film impor. Aturan ini dikeluarkan Direktorat Film, Departemen Penerangan, pada tahun 1972.
Meskipun tidak sepenuhnya terlaksana, aturan ini turut memberikan dampak bagi peningkatan produksi film anak nasional. Setelah hampir sepuluh tahun tidak diproduksi, film anak kembali menghiasi layar lebar di Indonesia pada tahun 1973. Hingga pemerintahan Soeharto berakhir, terdapat 23 film anak-anak bertema sosial, keluarga, dan nasionalisme.
Meskipun secara jumlah mengalami peningkatan, persentase produksi film anak mengalami penurunan dibandingkan dengan jumlah film lainnya. Hingga akhir 1998, produksi film anak hanya mencapai 1,3 persen dibandingkan total film layar lebar. Hal ini tidak terlepas dari banyaknya film layar lebar produksi dalam negeri yang mencapai 1.722 film.
Memasuki era reformasi, jumlah film anak mengalami peningkatan lebih dari dua kali lipat dibandingkan era Orde Baru. Total produksi film anak yang tayang di layar lebar mencapai 60 film. Jika dibandingkan dengan genre lain, persentase film anak juga mengalami peningkatan. Produksi film anak mencapai 4,9 persen dibandingkan dengan film bergenre drama, horor, dan komedi. Persentase ini adalah yang tertinggi dibandingkan era Orde Lama dan Orde Baru.
Kehidupan sosial keluarga
Peningkatan produksi film anak juga diikuti munculnya tema-tema yang beragam. Berdasarkan sinopsis dari laman filmindonesia.or.id, lebih dari separuh film anak bercerita tentang kehidupan sosial pada era Orde Lama. Anak lebih ditonjolkan sebagai sosok yang perlu beradaptasi dan mengenal lingkungan sosial.
Potret kehidupan sosial yang coba diungkap di antaranya tentang kemiskinan dan pendidikan. Hal ini tidak terlepas dari keadaan sosial dan ekonomi Indonesia saat itu yang belum merata setelah gejolak revolusi.
Produksi film bergenre anak pertama kali dapat dinikmati masyarakat Indonesia pada tahun 1951. Film besutan Kotot Sukardi ini rilis di layar lebar dengan judul Si Pintjang. Bisa dikatakan film ini menjadi pelopor film anak di Indonesia. Film tersebut bercerita tentang perjuangan seorang anak difabel yang harus mencukupi kebutuhan hidupnya dalam situasi perang.
Film ini kemudian ikut serta dalam Festival Film Internasional di Karlovy Vary, Ceko, pada tahun 1952. Setelah Si Pintjang, muncul film anak lainnya dengan latar belakang cerita beragam, seperti Mardi and the Monkey (1952), Kunang-Kunang (1957), Djendral Kantjil (1958), dan Bintang Ketjil (1963).
Di masanya, film Djendral Kantjil termasuk film anak-anak yang cukup banyak ditonton. Film besutan sutradara Nya Abbas Akup ini menampilkan aktor Achmad Albar yang di kemudian hari menjadi salah satu pendiri grup musik rock legendaris Indonesia, God Bless.
Cerita film berkisar pada upaya beberapa anak menggagalkan aksi sekelompok pencuri di lingkungan rumah mereka. Seperti halnya film anak-anak lainnya di periode tersebut, Djendral Kantjil menampilkan kehidupan anak-anak di dalam lingkungan sosialnya. Meski anak ditampilkan dalam sebuah keluarga, narasi utama tentang tokoh anak berkaitan dengan relasinya dengan kehidupan sosial di sekitarnya.
Memasuki era pemerintahan Soeharto, film anak-anak mengalami metamorfosis dari sisi penonjolan anak. Anak-anak ditonjolkan sebagai sosok dalam kehidupan berkeluarga. Film anak bertema keluarga pun meningkat dari tiga film pada Orde Lama menjadi sembilan film pada Orde Baru.
Salah satu film anak bertema keluarga pada era Orde Baru adalah Anak Bintang (1974). Film ini bercerita tentang perjuangan anak untuk bertemu dengan orangtuanya. Selain itu, juga terdapat film Ira Maya dan Kakek Ateng (1979) yang menonjolkan kedekatan seorang anak dengan sang kakek.
Relasi di dalam keluarga bisa dibilang menjadi kunci narasi dalam banyak film Indonesia yang diproduksi di masa Orde Baru, termasuk di dalamnya adalah hubungan anak dengan anggota keluarga. Beberapa film anak yang diproduksi masa Orde Baru berhasil menyabet penghargaan ataupun masuk nominasi dari Festival Film Indonesia (FFI), sebuah institusi pemberi penghargaan tertinggi bagi film nasional.
Film Harmonikaku (1979) karya Arifin C Noer masuk nominasi film terbaik dalam FFI 1980 seperti halnya film Langitku Rumahku (1989) besutan sutradara Slamet Rahardjo Djarot yang juga memperoleh banyak nominasi di FFI 1990. Sementara itu, film Si Badung (1989) karya Imam Tantowi memperoleh piala Citra dalam FFI 1989 sebagai film anak dan cerita terbaik.
Meski tak ada catatan resmi, beberapa film anak dilaporkan cukup laris. Film Ratapan Anak Tiri (1973) karya Sandy Suwardi Hassan mendapat sambutan luar biasa sehingga dibuat lanjutannya Ratapan Anak Tiri II (1980) dan Ratapan Anak Tiri III (1990). Harmonikaku, Si Badung, ataupun Langitku Rumahku dikabarkan juga mampu meraih cukup banyak penonton.
Meskipun secara jumlah produksi film anak masih jauh lebih sedikit dibandingkan genre lainnya, cukup tingginya jumlah penonton ataupun pemberian penghargaan kepada beberapa film anak menunjukkan bahwa film anak telah digarap dan memperoleh perhatian serius dari kalangan perfilman nasional ataupun penonton pada umumnya.
Kebangkitan film anak
Memasuki era reformasi, film anak di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat. Perkembangan ini terlihat dari variasi tema yang tayang di berbagai bioskop. Kebebasan hingga ekspresi anak ditonjolkan dalam berbagai cerita. Tema baru pun muncul, seperti petualangan, biografi, olahraga, pendidikan di Papua, dan fiksi ilmiah.
Film anak pertama bertema petualangan disutradarai Riri Reza berjudul Petualangan Sherina (2000). Film ini sangat sukses di pasaran dan berhasil menggaet 1,1 juta penonton. Apresiasi ini tidak terlepas dari tema petualangan dan musikal yang disuguhkan. Produksi film ini berhasil menggairahkan kembali film bertema anak-anak di bioskop Tanah Air.
Apresiasi publik juga terlihat pada film Laskar Pelangi (2008) yang juga besutan Riri Riza. Film ini berhasil mencatatkan rekor jumlah penonton film anak dalam satu dekade terakhir dengan memikat 4,7 juta penonton dari berbagai usia. Capaian ini menjadikan Laskar Pelangi sebagai film dengan penonton terbanyak ketiga selama 10 tahun terakhir.
Kebangkitan film anak-anak juga ditandai dengan hadirnya animator lokal yang berhasil memproduksi film anak berkelas internasional. Film yang berhasil diproduksi adalah Sing to The Down (2008) dan ditayangkan di Singapura hingga Rusia. Film ini kemudian dapat dinikmati versi bahasa Indonesia dengan judul Meraih Mimpi (2009). Film ini merupakan karya kolaborasi anak bangsa dengan sutradara Kanada, Phil Mitchell, dan dibiayai Infinite Frameworks, rumah produksi yang dimiliki pengusaha Indonesia di Singapura, Mike Wiluan.
Film animasi lainnya adalah Petualangan Si Adi (2013) yang merupakan karya dari 10 sekolah menengah kejuruan di Pulau Jawa yang memiliki program khusus animasi. Selain itu, film omnibus khusus untuk anak-anak pertama kalinya dapat dinikmati pada 2014. Film tersebut menggabungkan beberapa tema yang menonjolkan anak-anak sebagai tokoh utama. Film dengan judul Princess, Bajak Laut & Alien mengangkat cerita tentang keluarga dan pertemanan. Sayangnya, film ini belum mampu menembus 15 besar jumlah penonton terbanyak di bioskop.
Media belajar
Munculnya film anak-anak dengan berbagai tema dapat dimanfaatkan orangtua sebagai sarana pembelajaran bagi anak. Pasalnya, selain buku dan radio, film juga dapat memberikan pengaruh bagi anak dalam memahami berbagai konsep (Hurlock, 1978).
Beberapa dekade sebelum film anak-anak mengalami kebangkitan, tokoh pendidikan Soerjono telah memberikan kriteria ideal mengenai film anak-anak. Tokoh yang dikenal dengan panggilan Pak Kasur ini menilai film anak idealnya berisi unsur pendidikan. Selain itu, film anak juga harus mengandung lelucon dan nyanyian yang menarik bagi anak-anak (Kompas, 30 April 1973).
Kriteria ini mulai terlihat pada beberapa film anak yang telah tayang di layar lebar. Dalam dua dekade terakhir, terdapat banyak pilihan film yang dapat menjadi media pembelajaran. Budaya, rasa nasionalisme, dan persahabatan menjadi bagian cerita yang dapat mengasah pola pikir anak.
Di Timur Matahari (2012) adalah salah satu film yang dapat menjadi sarana pembelajaran. Kisah pertemanan yang juga berbalut dengan semangat menempuh pendidikan dapat meningkatkan semangat belajar bagi anak.
Fungsi film lainnya bagi anak adalah sebagai pengembangan bakat, salah satunya pada bidang olahraga. Hingga saat ini, terdapat beberapa film yang menceritakan tentang olahraga, seperti Garuda di Dadaku (2009) dan King (2009). Film-film dengan tema ini juga dapat menjadi stimulus bagi anak-anak untuk mengembangkan bakat sejak dini.
Batasan anak
Meskipun dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembelajaran, orangtua harus selalu mendampingi anak saat menonton film. Pasalnya, perkembangan tema pada film anak belum diikuti konsistensi aturan tentang adegan yang tidak boleh ditampilkan.
Saat ini, Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia memberikan syarat khusus bagi film yang dapat ditonton anak-anak. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film.
Dalam aturan ini, terdapat larangan adegan kekerasan hingga adegan yang bertentangan dengan norma agama. Film dapat disaksikan semua umur jika mengandung unsur pendidikan, budaya, dan budi pekerti. Film juga harus mampu mendorong rasa ingin tahu penonton mengenai lingkungan.
Namun, masih terdapat beberapa film untuk kategori semua umur yang dibumbui dengan adegan kekerasan, seperti perkelahian. Salah satunya adalah film Bombe’ Dua: Dumba’-Dumba’ (2016). Film ini menampilkan adegan tawuran dan perkelahian meskipun dapat ditonton oleh semua umur.
Berdasarkan klasifikasi usia dalam PP Nomor 18 Tahun 2014, tidak terdapat pengelompokan khusus usia anak-anak untuk menonton film. Tingkatan usia hanya terdiri dari kategori semua umur, 13 tahun, 17 tahun, dan 21 tahun ke atas. Pengelompokan usia ini berbeda dengan pengertian anak menurut undang-undang.
Jika merujuk Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, usia anak dibatasi hingga 18 tahun. Artinya, remaja berusia 17 tahun masih termasuk kategori anak. Namun, dalam aturan LSF, adegan seksualitas dan kekerasan dapat disajikan secara proporsional dan edukatif untuk penonton berusia minimal 17 tahun.
Jika pengertian anak dilandaskan pada undang-undang, adegan seksualitas tidak dapat ditampilkan pada penonton usia di bawah 18 tahun. Hal ini sesuai aturan LSF tentang larangan film kategori semua umur untuk menampilkan adegan yang dapat mendorong anak meniru perilaku seks.
Penegasan tentang batasan kategori usia dalam film anak dibutuhkan seiring pertumbuhan film dengan genre anak. Penerapan aturan juga dibutuhkan agar film anak bebas dari unsur kekerasan dan seksualitas. Jika film anak-anak telah memenuhi unsur-unsur yang layak disajikan, metamorfosis film anak dalam dua dekade terakhir dapat dimanfaatkan sebagai media pembelajaran. (Dedy Afrianto/Litbang Kompas)