Drama Lanjutan Brexit
Negosiasi Inggris-Uni Eropa tentang syarat dan ketentuan Brexit hingga 26 Agustus 2018 kemarin, belum mencapai kata sepakat. Dengan tenggang waktu saat pelaksanaan Berxit sampai dengan 2019, masih banyak pekerjaan pemerintah Inggris yang belum selesai.
Oleh karena itu, pemerintah Inggris mulai menyusun berbagai skenario untuk mengantisipasi gagalnya kesepakatan Brexit dengan Uni Eropa. Dalam pembicaraan menyangkut bidang ekonomi, Inggris bertahan dengan proposal Brexit yang disebut dengan Chequers.
Apabila tidak tercapai kata sepakat, keluarnya Inggris dari Uni Eropa akan terjadi tanpa kata sepakat atau no-deal. Keteguhan pemerintah Inggris tampak dari pernyataan bahwa lebih baik keluar tanpa kata sepakat daripada keluar dengan kesepakatan yang merugikan (bad deal). Kemungkinan "tanpa kata sepakat" ini menimbulkan konsekuensi besar baik bagi Inggris maupun Uni Eropa.
Harian The Observer mengangkat isu tersebut dengan judul "No-deal Brexit risks break up of UK, former EU chief warns". Mantan Presiden Dewan Uni Eropa, Herman Van Rompuy menganggap bahwa isu "tanpa kata sepakat" Inggris-Uni Eropa merupakan suatu ancaman eksistensial yang akan membawa Inggris menjadi terpecah belah.
Van Rompoy menduga isu "tanpa kata sepakat" merupakan gertakan pemerintah Inggris sebagai taktik dalam menjalin kesepakatan dengan Uni Eropa. Akan tetapi, gertakan tersebut dianggap akan lebih merugikan Inggris daripada besarnya keuntungan yang akan didapatkan dari Uni Eropa.
Tanpa adanya kesepakatan, Inggris akan diuntungkan karena tidak perlu membayar ‘uang perpisahan’ dengan Uni Eropa. Akan tetapi, Inggris juga akan menghadapi tekanan langsung terkait isu kemerdekaan Skotlandia.
Pendapat Van Rompuy di atas didukung oleh pernyataan PM Skotlandia Nicola Sturgeon yang menyatakan bahwa isu "tanpa kata sepakat" ini merupakan suatu bencana besar bagi kesatuan Inggris.
Dalam voting saat menentukan keluarnya Inggris dari Uni Eropa, Skotlandia lebih memilih Inggris tetap bergabung dengan Uni Eropa dengan hasil voting 62% tetap tinggal dan 38% berpisah. Dengan demikian, masyarakat Skotlandia lebih mengharapkan suatu kesepakatan yang lunak dalam proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau bahkan akan meminta suatu pemilu baru.
Konsekuensi
Dengan pernyataan yang bernada ancaman tersebut, bagi Inggris, konsekuensi Brexit "tanpa kata sepakat" dapat memunculkan pemilu baru. Hal tersebut dapat menghambat proses legal keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Pemilu baru selama proses Brexit menjadi hal yang dihindari oleh pemerintah karena Inggris kemudian akan dianggap sedang tidak memiliki pemerintahan yang sah. Akibatnya, Inggris tidak dapat melanjutkan kesepakatan dengan Uni Eropa.
Peringatan dari Van Rompuy tersebut terjadi di tengah negosiasi yang akan kembali digelar pada bulan Oktober 2018 mendatang. Sejauh ini, posisi Inggris dalam bidang perdagangan menjadi isu yang dianggap akan menggagalkan kesepakatan dengan Uni Eropa.
PM Theresa May mengusulkan bahwa Inggris dan Uni Eropa tetap merupakan satu pasar yang sama bagi peredaran barang, tetapi pasar yang berbeda bagi perdagangan jasa. Hal tersebut dianggap cukup sulit mengingat distingsi macam itu sulit dipraktikkan dalam perdagangan saat ini.
Dalam negosiasi awal Brexit, Inggris akan benar-benar keluar dari Uni Eropa pada 29 Maret 2019 pukul 23.00 waktu Inggris. Jangka waktu tersebut merupakan pemenuhan artikel 50 hukum Uni Eropa tentang tata cara keluar dari Uni Eropa. Negara anggota Uni Eropa yang akan keluar dari Uni Eropa, pasca pengajuan proposal, diberi waktu dua tahun untuk mencapai kata sepakat atau lebih apabila disetujui oleh setiap pihak.
Kesepakatan awal Brexit antara Inggris dan Uni Eropa telah menyetujui untuk membicarakan tiga hal, yaitu jumlah utang Inggris pada Uni Eropa sebagai “biaya perceraian”, perbatasan Irlandia bagian Utara, dan nasib warga negara Inggris yang tinggal di Uni Eropa dan sebaliknya. Dalam pembicaraan lanjutan juga telah disepakati adanya periode transisi selama 21 bulan, yang dimulai dari 29 Maret 2019 sampai 31 Desember 2020.
Selama periode tersebut, warga negara Inggris di Uni Eropa dan sebaliknya akan mendapatkan hak dan jaminan sama seperti sebelum Brexit. Selama transisi, Inggris masih terkait dengan perjanjian dagang Uni Eropa dengan negara lain yang telah terjadi sebelumnya. Selain itu, Inggris dapat mulai membuat perjanjian perdagangan sendiri.
Antisipasi
Ketika kesepakatan mengarah pada isu Brexit “tanpa kata sepakat”, Inggris mulai menyusun berbagai skenario antisipasi. Minggu lalu, Departemen Urusan Brexit menerbitkan 24 makalah teknis tahap pertama menyangkut persiapan pemerintah bila tak terjadi kata sepakat.
Beberapa hal yang diatur di dalamnya termasuk munculnya pajak Brexit bagi pengguna kartu kredit, perlunya tiap produsen obat untuk menyimpan persediaan untuk kebutuhan enam minggu, maupun tentang hilangnya uang pensiun bagi warga Inggris yang tinggal di wilayah Uni Eropa.
Munculnya 24 skenario tahap pertama ini, dan akan segera menyusul 56 yang lain, menimbulkan kepanikan bagi masyarakat Inggris. Suasana ini disorot tajam oleh surat kabar The Independent. Dalam headline-nya, surat kabar ini menulis "Heseltine: Britain must have a Final Say of Brexit". Michael Heseltine, mantan wakil PM dalam pemerintahan PM John Major, meragukan kemampuan PM Theresa May mengawal kesepakatan yang dapat memuaskan berbagai pihak.
Terhadap isu "tanpa kata sepakat", Heseltine menyerukan bahwa pertama-tama, Inggris perlu mencapai satu kata sepakat dalam menghadapi isu Brexit. Bagi Haseltine, perlu diadakan jajak pendapat kembali untuk mengetahui opini publik. Hal tersebut dapat ditempuh dengan cara pemilu maupun referendum baru.
Di tataran praktis, konsekuensi Brexit juga mulai terasa. Proyek-proyek kerja sama Uni Eropa yang melibatkan Inggris mulai direvisi. Setelah Brexit dituduh sebagai faktor penyebab turunnya pendapatan di area industri pacuan kuda, sekarang muncul akibat di bidang komunikasi dan keamanan.
Komisi Eropa tidak menyetujui Inggris tetap terlibat dalam proyek sistem navigasi satelit Galileo milik Uni Eropa. Keterlibatan Inggris dalam proyek Galileo pasca Brexit dianggap sebagai sebuah ancaman bagi keamanan Uni Eropa. Padahal, kontribusi Inggris dalam proyek Galileo, yang merupakan saingan Global Positioning System (GPS) milik AS dan GLONASS milik Rusia.
Menanggapi hal tersebut, Perdana Menteri Theresa May secara resmi telah memerintahkan memulai proyek sistem navigasi satelit sendiri. Surat kabar The Sunday Telegraph menampilkan isu tersebut dengan judul "May orders space race with EU after Brexit".
Dengan kucuran dana awal sebesar 100 juta ponsterling, Inggris segera memulai sebuah proyek sistem navitasi satelit mandiri di luar proyek Galileo. Proyek tersebut direncanakan selesai sekitar tahun 2026, hampir bersamaan dengan rencana pengoperasian penuh proyek Galileo. (Mahatma Chryshna/Litbang Kompas)