Identitas dalam Politik (1): Prabowo, JK, dan Matahari Lain di Era SBY
Awal periode kedua kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono merupakan masa awal bagi Prabowo Subianto mendapatkan apresiasi publik sebagai tokoh yang paling layak menjadi presiden berikutnya.
Imajinasi masyarakat tentang ketegasan yang melekat pada sosok Prabowo menjadi identitas yang dibangun untuk melawan ketidakberdayaan yang ditunjukkan presiden ke hadapan publik.
Hasil Pemilu Presiden 2009 sebetulnya menunjukkan kepercayaan masyarakat yang sangat tinggi kepada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk kembali memimpin Indonesia. Modal politik pasangan SBY-Boediono yang meraih 60,8 persen suara pemilih jauh mengungguli dua pesaing lain, Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto yang hanya mendapatkan 26,79 persen dan Jusuf Kalla-Wiranto dengan 12,41 persen suara.
Namun, kepercayaan masyarakat kepada pemerintahan periode kedua SBY hanya berlangsung beberapa bulan. Mencuatnya skandal Bank Century dan terbentuknya Panitia Khusus Hak Angket Bank Century (Pansus Century) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 1 Desember 2009 dengan cepat mengikis kepercayaan publik.
Angket yang diusulkan oleh 503 anggota DPR dan didukung oleh seluruh fraksi yang berada di DPR tersebut mengulik sejumlah nama yang berada di lingkaran satu Presiden SBY, yaitu Menteri Keuangan sekaligus Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Sri Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia saat itu Boediono.
Keputusan yang diambil pada 3 Maret 2010 dalam Sidang Paripurna DPR dengan melalui sebuah proses voting terbuka menyatakan penalangan dana (bailout) Bank Century menyimpang. Meskipun tidak secara langsung disangkutkan dengan kasus ini, publik dapat membaca lewat persidangan yang berlangsung terbuka dan disiarkan di televisi nasional itu bahwa keterlibatan Presiden sulit disangkal.
Setelah dihantam kasus Bank Century, pemerintahan SBY terus mengalami kemerosotan kepercayaan publik. Jenderal yang demikian perkasa memenangi Pemilu 2009 dengan telak tiba-tiba menjadi sosok yang lunglai, serba perasa, dan tak jarang memperlihatkan sikap melankolisnya menghadapi sejumlah isu yang mengena pada pribadinya.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas mencatat penurunan drastis citra positif Presiden SBY di mata masyarakat, dari 75,4 persen saat tiga bulan pertama pemerintahan periode kedua menjadi hanya 37,3 persen pada dua tahun berjalan.
Selain aspek-aspek dalam negeri, sejumlah kejadian terkait provokasi negara tetangga dan penyadapan dari negara asing yang berdekatan dengan Indonesia juga kian menimbulkan kejengkelan. SBY dinilai tidak lagi memiliki kekuatan untuk mengendalikan negara ini dan menjaga harga diri bangsa.
Sikap SBY dalam menanggapi berbagai peristiwa atau kritik terhadap dirinya yang terkesan nyinyir dan kerap mengeluh juga makin menguatkan masyarakat untuk mencari figur lain, yang berbeda dengan SBY.
Prabowo dan Jusuf Kalla
Dalam situasi ketokohan nasional yang demikian, bandul politik dengan cepat bergeser kepada sosok lain. Masyarakat yang memerlukan identitas baru kepemimpinan mulai melirik tokoh yang memiliki ketegasan, keberanian, dan kecepatan bekerja dalam memimpin negara. Gambaran karakter itu pada akhirnya menjadi kata-kata yang membimbing orang pada dua sosok: Prabowo dan Jusuf Kalla (JK). Keduanya memenuhi syarat yang diperlukan oleh imajinasi kepemimpinan yang berkembang saat itu, imbas dari tanda-tanda kelemahan SBY dalam kendali pemerintahan.
Nama Prabowo pun mulai merangkak naik, menjadi matahari lain yang diharapkan mampu memberikan terang yang lebih, menggeser mentari yang meredup. Pada Senin, 10 Januari 2011, Litbang Kompas merilis hasil jajak pendapat yang menunjukkan posisi Prabowo yang berada di urutan pertama sebagai tokoh partai yang layak menjadi presiden RI dalam Pemilu 2014 dibandingkan dengan tokoh-tokoh partai lain. Dengan angka 45,9 persen publik perkotaan yang menilai layak, posisinya sudah cukup kuat sebagai calon yang berpeluang besar memenangi pemilu.
Arus pilihan masyarakat juga tertangkap dalam penelitian Litbang Kompas pada 2011 lewat diskusi kelompok terfokus (FGD) yang dilakukan di 10 kota besar di Indonesia.
Prabowo dinilai memiliki karakter yang tegas karena latar belakangnya dari militer, tahu caranya memimpin karena besar di lingkungan elite komando, memiliki pengalaman dalam medan peperangan (beda dengan SBY yang meskipun berasal dari militer, dipandang tidak memiliki pengalaman dalam medan pertempuran). Selain itu, sosok fisik Prabowo yang tegap dan gagah juga dinilai pantas menjadi pemimpin negeri ini. Kiprah Prabowo di HKTI juga cukup menarik simpati.
Sebelumnya, Prabowo tercatat pernah gagal dalam dua ajang kontestasi politik. Pertama, Prabowo kalah dalam konvensi Partai Golkar 2004. Konvensi dimenangi Wiranto yang kemudian menjadi calon presiden dari Partai Golkar berpasangan dengan Salahuddin Wahid. Kedua, ketika tahun 2009 ia menjadi calon wakil presiden mendampingi Megawati dan dikalahkan dengan telak oleh pasangan SBY-Boediono.
Sementara itu, sosok Jusuf Kalla (JK) dipandang memiliki komitmen dan jiwa kepemimpinan yang kuat, visioner-taktis-strategis, tegas dalam mengambil keputusan, berpikir cepat, dan berani untuk tidak populer dengan mendobrak sistem dan menanggung risiko. Sebuah program televisi bernama Jalan Keluar (JK) di Kompas TV kian memperkuat branding dia sebagai sosok yang mampu memberikan banyak jawaban atas berbagai persoalan bangsa.
Saat itu, nama Jokowi sudah mulai disebut tetapi belum sepopuler Prabowo dan JK. Nama Mahfud MD sebaliknya mulai mengemuka karena dinilai sebagai pribadi yang tegas. Kepemimpinannya di Mahkamah Konstitusi melambungkan namanya untuk diperhitungkan sebagai calon presiden.
Selain nama-nama tersebut, Dahlan Iskan juga termasuk tokoh yang mulai diperhitungkan setelah diangkat oleh SBY sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Kesederhanaan dan gayanya memimpin yang nonprotokoler mampu menyedot perhatian masyarakat, terlebih setelah ia tertangkap kamera sedang turun tangan membebaskan kemacetan di pintu masuk Jalan Tol Slipi, Jalan Gatot Subroto, Jakarta.
Kemunculan Jokowi
Dalam FGD November 2012, setahun setelah FGD pertama, nama Jokowi semakin diperhitungkan oleh kalangan elite. Ia masuk empat besar dalam penilaian kualitas kepemimpinan setelah Jusuf Kalla, Mahfud MD, dan Dahlan Iskan.
Adapun Prabowo dalam forum diskusi jarang disebut, tetapi dalam wawancara mendalam sebaliknya. Wawancara terhadap sejumlah tokoh dari kalangan akademisi, pengusaha, dan media massa justru menempatkan Prabowo berada di urutan teratas sebagai tokoh yang paling layak menjadi presiden RI mendatang.
Namun, apa yang dibayangkan oleh kalangan elite negeri ini tampaknya berbeda dengan respons akar rumput yang berpikir sederhana. Lewat sebuah survei nasional yang dilakukan Litbang Kompas pada Desember 2012, popularitas Jokowi untuk menjadi presiden sudah mengalahkan semua tokoh tenar yang ada di benak kalangan elite.
Terpilihnya Jokowi sebagai Gubernur DKI dalam sebuah pilkada yang cukup keras, soliditas dukungan para relawan pro-Jokowi, dan gebrakan awal masa pemerintahannya telah mengangkat popularitasnya semakin tinggi. Dalam survei yang dilakukan terhadap 1.400 responden di 33 provinsi itu, Jokowi menduduki urutan paling atas, disebutkan oleh 17,7 persen responden.
Berada di bawahnya, Prabowo dengan 13,3 persen, Megawati Soekarnoputri 9,3 persen, dan Jusuf Kalla 6,7 persen. Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakri hanya disebutkan oleh 5,9 persen responden.
Berbeda dengan skor kualitas kepemimpinan Jokowi yang hanya menuai rata-rata 6,7 dari kalangan elite, masyarakat umum justru menilainya dengan skor rata-rata 7,9. Kualitas kepemimpinan Jokowi mengalahkan Jusuf Kalla yang mendapat nilai 6,6. Prabowo, meskipun menempati urutan ketiga dalam top of mind popularitas calon presiden, dalam skala kepemimpinan mendapat penilaian yang lebih rendah daripada Jusuf Kalla.
Perhatian Jokowi kepada masyarakat menjadi alasan yang paling menonjol yang menjadikan publik jatuh hati kepada kepemimpinannya. Kesederhanaan, kejujuran, kinerja selama ini, dan ketegasan juga membuat masyarakat terkesan. Ia bahkan merupakan tokoh dengan tingkat resistensi terendah.
Hanya 2,9 persen responden yang menolaknya. Bandingkan dengan penolakan terhadap Megawati yang 18,4 persen dan terhadap Prabowo 8,2 persen. Meskipun berada di urutan ketiga, suara yang menolak Megawati dua kali lipat dari yang menginginkannya untuk menjadi presiden.
Meskipun namanya kian meroket di mata masyarakat, sejumlah elite dan pengamat politik masih meragukan Jokowi. Ia dipandang belum berpengalaman dan terlalu dini untuk memimpin negara ini. Bahkan, mantan wakil presiden Jusuf Kalla yang kemudian mendampingi Jokowi sebagai wakil presiden sempat melontarkan pernyataan yang meragukan kesiapan Jokowi.
”Bisa hancur negara ini jika mantan Wali Kota Solo itu menjadi capres. Jangan tiba-tiba karena terkenal di Jakarta dicalonkan presiden. Bisa hancur, bisa bermasalah negeri ini. Kalau sukses di DKI, ya, silakan,” demikian pernyataan JK dalam video wawancara dengan Bisnis Indonesia TV.
Lontaran pernyataan pedas juga disampaikan oleh mantan wakil gubernur era Fauzi Bowo, Prijanto, yang di antaranya menganggap Jokowi tidak paham persoalan administrasi dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah.
Bahkan, Guruh Soekarnoputra, adik kandung Megawati, meragukan kemampuan Jokowi dengan mengatakan bahwa Jokowi masih perlu waktu untuk banyak belajar.
”Gubernur ini baru setengah jalan saja belum. Mungkin baru 20 persen dari masa baktinya dia. Saya bilang bahwa Pak Jokowi masih harus perlu waktu untuk banyak belajar. Presiden harus wawasannya luas, tahu politik secara dalam, mau enggak mau harus dibawa ke alam dunia politik nasional dan internasional,” ujar Guruh.
Kritik tidak hanya berasal dari kalangan praktisi politik. Pengamat sosial politik pun terkesan menilai rendah kemampuan Jokowi. Pakar politik dari Universitas Parahyangan, Asep Warlan Yusuf, menilai, ”Fenomena Jokowi membuktikan masyarakat lebih suka terhadap pemimpin yang instan yang bermodal blusukan, padahal menjadi seorang pemimpin cara instan sangat riskan. Ngurus Jakarta aja belum terlihat perubahannya,” ujarnya.
Budayawan Betawi, Ridwan Saidi, juga menilai Gubernur DKI Jakarta Jokowi tak pantas dan tidak akan bisa menjadi presiden. Jangankan presiden, menurut Ridwan, Jokowi tak pantas untuk menjadi gubernur. Terkait elektabilitas Jokowi sebagai capres yang teratas dari seluruh survei, Ridwan menuding semua survei itu direkayasa dengan membayar lembaga survei. ”Jokowi jangan berharap jadi presiden. Jadi gubernur pun kagak bakal sampai dua tahun,” kata Ridwan.
Memang, pada akhirnya Jokowi hanya menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta selama dua tahun karena setelah itu ia menjadi Presiden RI. Kemenangan dalam pemilu presiden justru diraih oleh mantan Wali Kota Solo itu.
Pria tinggi kurus dengan penampilan ”ndeso” yang kerap memakai baju putih dengan lengan digulung dan bagian bawah tidak dimasukkan. Sosoknya sangat kontras dengan pesaingnya, Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto, mantan Pangkostrad yang menyiratkan ketegasan dan kerapihan. Mengapa Jokowi? (BAMBANG SETIAWAN/LITBANG KOMPAS) (BERSAMBUNG)